Mohon tunggu...
Umar Hapsoro
Umar Hapsoro Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bosan jadi pegawai, lantas berwirausaha. Senang baca, dan suka juga nulis, tapi kadang2. ~ "Pengetahuan tidaklah cukup, ..... karenanya kita hrs mengamalkannya. Niat saja tidaklah cukup, untuk itu kita harus melakukannya."

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

L/C Tidak Fiktif, tapi Bodong?

11 Maret 2010   05:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:29 2091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_91117" align="alignleft" width="211" caption="Persetujuan Pemberian L/C Usance Bank Century"][/caption] Misbakhun kembali membantah kalau perusahaannya, PT Selalang Prima Internasional (PT SPI) melakukan impor fiktif seperti yang dituding Andi Arief, termasuk impor tidak terdaftar di Bea Cukai. "Ya memang tidak terdaftar. Wong saya jual di Hongkong," katanya. Menurut Misbakhun, dia membelinya dari perusahaan pengeksport asing yang tujuannya tidak di Indonesia tapi Hongkong dan L/C untuk kondensat bukan gandum. Dia juga mengaku heran mengapa tuduhan L/C Fiktif itu dibeberkan oleh orang yang tidak paham soal L/C itu sendiri. Akibatnya, seolah-olah dirinya bersalah. (Rakyat Merdeka, 10/3/2010) Hasil audit investigasi BPK melambungkan nama PT. SPI. Perusahaan yang selama ini tak banyak dikenal itu kini menjadi sorotan, lantaran diduga menerima fasilitas kredit ekspor-impor dari Bank Century. Misbakhun pun lantas menjadi gunjingan lantaran perannya sebagai penggagas panitia angket Century di legislatif yang tentunya bertolak belakang dengan posisinya sebagai pemilik 99 persen saham PT SPI. Pada tulisan saya sebelum ini, "L/C Fiktif atau Gagal Bayar?" Selain PT SPI yang menerima fasilitas utang dagang dari Bank Century sebesar 22,5 juta dolar AS, masih ada 9 debitor lainnya yang mendapatkan fasilitas serupa, yakni; PT Energy Quantum mendapatkan aliran dana Bank Century sebesar USD 19,999, PT Trio Irama USD 10,999 juta, , PT Petrobas Indonesia USD 4,3 juta , PT Sinar Central Sandang USD 26,5 juta , PT Citra Senantiasa Abadi USD 19,9 juta, PT Dwi Putra Mandiri USD 9,999 juta, PT Damar Kristal Mas USD 21,499 juta, dan PT Sakti Persada Raya USD 23,999 juta. Total senilai 178 juta dolar. Mari kita tengok sejenak tentang istilah Letter of credit (L/C) yang belakangan mencuat. Mendadak jadi bahan obrolan di warung-warung kopi, pos Kamling, sampai di perkantoran. Padahal, moda pembayaran ini sudah biasa dipakai dalam mekanisme perdagangan internasional sebagai manifestasi dari kontrak dagang (sales contract) antara penjual dan pembeli. Sales contract sendiri adalah kesepakatan yang dibuat oleh penjual dan pembeli untuk melakukan jual beli barang atau jasa yang berisi butir-butir persyaratan yang mereka setujui. [caption id="attachment_91393" align="alignleft" width="300" caption="L/C Flow"][/caption] L/C sendiri merupakan perjanjian yang diterbitkan oleh suatu bank (issuing/opening bank) yang bertindak atas permintaan nasabahnya (importir/ applicant/ accountee) untuk melakukan pembayaran atas dokumen ekspor-impor yang dikirimkan oleh penerima L/C (eksportir/ beneficiary). Namun syaratnya, dokumen yang dikirimkan eksportir itu harus sesuai dengan syarat dan kondisi yang sudah ditentukan dalam L/C (complying presentation). L/C diterbitkan oleh issuing bank sebagai "jaminan pembayaran kepada eksportir." Karena itulah L/C disebut juga Documentary Credit (Kredit Berdokumen). Singkatnya, L/C merupakan perjanjian yang diterbitkan oleh suatu bank (issuing/opening bank) yang bertindak atas permintaan nasabahnya (importir/ applicant/ accountee) untuk melakukan pembayaran atas dokumen ekspor-impor yang dikirimkan oleh penerima L/C (eksportir/ beneficiary). Jadi, dalam konteks transaksi jual-beli dilakukan dengan letter of credit (L/C) sebagai instrumen pembayarannya, dalam konteks ini, kita harus menempatkan posisi kita di sisi importir (PT SPI). Ini karena L/C dibuka oleh pihak importir (PT SPI). Dan tentu saja juga banknya applicant (issuing bank/opening bank), dalam hal ini adalah Bank Century. Sederhananya, marilah kita tengok sejenak pihak-pihak yang terkait dari suatu transaksi (pelaku) L/C, yakni;

  • Applicant atau pemohon kredit adalah importir (pembeli) yang mengajukan aplikasi L/C.
  • Beneficiary adalah eksportir (penjual) yang menerima L/C.
  • Issuing bank atau opening adalah bank pembuka L/C.
  • Advising bank adalah bank yang meneruskan L/C, yaitu bank koresponden (agen) yang meneruskan L/C kepada beneficiary. Bank tidak bertanggung jawab atas isi L/C dan hanya bertindak sebagai perantara.
  • Confirming bank adalah bank yang melakukan konfirmasi atas permintaan issuing bank dan menjamin sepenuhnya pembayaran.
  • Paying bank adalah bank yang secara khusus ditunjuk dalam L/C untuk melakukan pembayaran dan beneficiary berkewajiban menyerahkan dokumen kepada bank tersebut.
  • Carrier adalah pihak pengangkut atas cargo dimaksud.

Barangkali, Misbakhun mungkin tak menyangka kegigihan rekan-rekannya di Tim Sembilan meminta BPK melakukan audit investigatif Century malah membongkar jati dirinya. Hasil audit investigatif BPK memang menunjukkan adanya kejanggalan pemberian L/C kepada 10 perusahaan, termasuk PT SPI dan Citra. Menurut BPK, keduanya mendapat perlakuan istimewa dalam memperoleh fasilitas L/C dari Century. BPK juga menyimpulkan, bahwa pemberian L/C kepada PT SPI dan sembilan perusahaan lainnya tak sesuai dengan aturan perkreditan Century dan Undang-Undang Perbankan. "Pemberian L/C itu merugikan Century dan harus ditutup oleh penyertaan modal sementara (PMS) dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)." Pemberian L/C kepada 10 perusahaan, termasuk kepada Selalang, memang sarat pelanggaran karena seluruhnya atas komando Robert (majalah Tempo edisi 26 Oktober 2009: "Kantor Kosong di Mal Ambasador"). Penelusuran Tempo lebih jauh menunjukkan memang ada komando agar 10 perusahaan penerima L/C membeli produk hanya dari dua perusahaan di luar negeri, yakni Bunge SA dan Grain and Industrial Product Trading. Keanehan lainnya, prasyarat L/C-nya tidak lazim karena importir (PT SPI) akan menerima bila ada kesalahan. Bagi pembeli atau importir, persyaratan ini tak mungkin diterima karena barang yang dikirimkan tak sesuai dengan yang dipesan, kecuali penjual dan pembelinya perusahaan yang sama. Analogi dari klausul L/C itu, kata sumber Tempo, bila Selalang memesan minyak mentah tapi yang dikirimkan air laut, harus tetap diterima lantaran syarat tadi. Persyaratan L/C juga sangat berisiko bagi Century, sehingga bank seharusnya meminta jaminan tunai 100 persen. Audit BPK menunjukkan PT SPI hanya menjaminkan dana deposito (surat gadai deposito) senilai US$ 4,5 juta atau 20 persen dari nilai L/C yang diberikan US$ 22,5 juta. Anehnya, surat gadai depositonya dibuat pada 22 November 2008, tapi persetujuan atas L/C Selalang pada 19 November 2008. "Harusnya surat gadai dulu diberikan. Kok ini belakangan," tutur sumber Tempo. Hal inilah rupanya yang menuai gugatan setelah ada dugaan kredit itu dipakai untuk transaksi fiktif. Sumber detikcom menjelaskan bahwa tidak ada dokumen asli yang diajukan oleh PT SPI dan CSA. Selain itu, barang yang dibeli ternyata tidak sesuai yang dipesan. Bentuk kejanggalan lainnya adalah fasilitas L/C PT SPI telah dicairkan sebelum analisis dilakukan. Kabarnya fasilitas L/C telah dicairkan tanpa didahului dengan analisis dan tanpa ada survei. Pelabuhan mana yang dituju untuk impor condensate juga tidak jelas dalam dokumen L/C. Dalam dokumen itu hanya dijelaskan 'any port in Indonesia'. Hal ini dinilai tidak lazim. Sehingga aparat Bea-Cukai pun kesulitan mendapat kejelasan soal keberadaan kondensat impor ini, karena di dokumen pengapalan tidak disebutkan secara spesifik pelabuhan yang dituju. Hanya dicantumkan keterangan "Any port (s) in Indonesia". Sejumlah dokumen lain menunjukkan, impor kondensat dari Bintulu, Malaysia, itu justru dilakukan oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), Tuban, sebelum PT Selalang mengajukan permohonan fasilitas L/C ke Century. Hal ini dibenarkan oleh Supervisor Ekspor dan Impor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Bojonegoro di Pelabuhan TPPI Tuban, Eko Martono. Di pelabuhan yang terletak di Tanjung Awar Awar, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, itu tak ditemukan namaPT SPI dalam daftar penerima barang impor sejak 2006. "Yang ada pada 2007 impor kondensat asal Bintulu merupakan pesanan PT TPPI," ujarnya. Kejanggalan-kejanggalan dari transaksi perdagangan impor tersebut, tercatat antara lain;

  • Pemberian fasilitas L/C diduga atas instruksi Robert Tantular. Kucuran L/C dicairkan sebelum ada analisis dan survei.
  • Persyaratan L/C tidak lazim dan berisiko tinggi (hanya didasarkan pada fotokopi dokumen L/C).
  • Dana jaminan L/C dari PT Selalang hanya US$ 4,5 juta (20 persen). Padahal yang dijaminkan Century ke bank koresponden National Commercial Bank (Jeddah) mencapai US$ 50 juta.
  • Sumber dana jaminan L/C bukan berasal dari PT Selalang, melainkan dari rekening atas nama Junty dan Tanety Solikin.
  • Dokumen L/C tidak menyebutkan pelabuhan yang dituju, hanya mencantumkan "Any port (s) in Indonesia".
  • Tidak jelas tujuan impor kondensat yang dibeli itu, misalnya kepada siapa akan dijual.
  • Dokumen pengapalan justru menyebutkan nama pengimpor kondensat PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (bukan PT SPI). Pengirimnya pun Java Energy Resources Ltd (Singapura), bukan Grains and Industrial Products Trading Ltd. (Singapura).
  • Dana L/C US$ 22,5 juta diinvestasikan PT SPI di perusahan investasi kontrak perdagangan berjangka (future trading) Kellet Investment Inc. (Hong Kong). (TEMPO, 05/3/2010)

Menjadi tambah ramai lagi kisah L/C-nya PT SPI, ketika Misbakhun mengatakan (seperti di uraikan diatas), bahwa penjualan kondensat tersebut tujuannya tidak di Indonesia tapi Hongkong? Padahal dalam di L/C yang dinyatakan janggal oleh BPK, dijelaskan 'any port in Indonesia'. Jadi, sudah syarat L/C-nya tidak lazim, membingungkan pula, .... alamak jang ..... Apakah ini bahasa perdagangan internasional yang di adopt ke bahasa politik? Dalam politik, persepsi memang kerap lebih penting daripada fakta. Karena itu, tidak heran bila di tengah meningkatnya konflik politik, intensitas produksi persepsi pun juga turut meningkat. Untuk itu, sebaiknya bila hanya ingin sekedar mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi disekitar ranah perpolitikan di negeri ini, kita jangan ikut-ikutan latah bermain dengan persepsi, mendingan cari fakta, pelajari dan ungkapkan ke publik secara terang bederang. Pasalnya, Indikasi itukan bahasa politik, karenanya siapa pun bisa berasumsi dan mengeluarkan opini ini-itu. Sedangkan fakta hukum, itu kan bisa dijadikan bukti di pengadilan. Jadi singkatnya, L/C-nya Tidak Fiktif, sebab kalau L/C-nya fiktif berarti uangnya tidak bisa dicairkan. Jadi masalahnya, apakah barang (kondensat) tersebut, benar-benar dikirim atau tidak? Nah, ini yang "harus benar-benar diselidiki !..." Kalau terbukti tidak pernah ada pengapalan atas barang tersebut, atau dokumen pendukung pengajuan "Permintaan Pembukaan L/C"-nya palsu. Itu baru namanya 'Bodong' alias ... "Bohong dong?"... (HUH, 09/3/2010)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun