Kajian mengenai pergeseran kewenangan Mahkamah Konstitusi dari negative legislator menjadi positive legislator merupakan hal yang tak kalah menarik untuk dikaji secara akademis.Â
Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law menjelaskan konsistensi lembaga peradilan (courts) yang tugasnya sebagai negative legislator-The annulment of a law is a legislative function, an act-so to speak-of negative legislation.Â
A court which is competent to abolish laws - individually or generally - functions as a negative legislator. Dengan demikian, dari pernyataan tersebut, mudah untuk mengatakan bahwa perspektif positivisme menempatkan kebutuhan agar Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi secara konsisten sebagai negative legislator.
Pada ketentuan di dalam Pasal 24C UUD NRI 1945, kewenangan Mahkamah Konstitusi cukup limitatif, yakni menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, keputusan yang dikeluarkan pun juga bersifat final and binding sehingga tidak dapat diajukan lagi. Kemudian, mengacu kepada ketentuan dalam Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), ditafsirkan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya sebatas negative legislator atau biasa dimaknai sebagai yang membatalkan undang-undang, baik keseluruhan norma yang terkandung dalam Undang-Undang.
Sejak pendiriannya hingga saat ini, sudah terhitung ribuan perkara masuk dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi. Baik dari perkara pengujian undang-undang hingga sengketa pemilihan umum baik di tingkat Presiden maupun tingkat legislatif. Selama itu pula, putusan putusan dari Mahkamah Konstitusi memberikan banyak sekali jawaban dan penafsiran atas persoalan-persoalan konstitusionalitas norma undang-undang.Â
Meskipun demikian, putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi juga banyak yang menimbulkan kontroversi Kontroversi-kontroversi tersebut salah satunya adalah pergeseran kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili perkara. Salah satunya adalah putusan Mahkamah Konstitusi yang sifatnya positive legislator atau yang dimaknai sebagai putusan yang melahirkan norma pengaturan. Oleh karena itu, putusan yang bersifat positive legislator ini bisa jadi menggeser kewenangan DPR selaku lembaga legislatif.
Pada hakikatnya, di dalam UU MK sendiri belum diatur mengenai batasan-batasan apa saja yang terdapat dalam Mahkamah Konstitusi untuk memutus perkara. Maka, sering kali hakim konstitusi menggeser penafsiran kewenangannya sebagai negative legislator dan berubah menjadi positive legislator. Padahal sebagaimana yang kita ketahui, kewenangan untuk membentuk norma undang-undang telah didelegasikan oleh UUD NRI 1945 kepada DPR bersama presiden serta porsi tertentu kepada DPD. Menggarisbawahi hal ini, bisa jadi akan ada perdebatan itu sebagai bagian dalam makna checks and balances.Â
Namun pada sisi lain, checks and balances, pada prinsipnya tidak boleh dilakukan oleh lembaga legislatif atau eksekutif kepada lembaga yudikatif karena hal itu dapat mencedera prinsip independensi yang dimiliki oleh kekuasaan yudikatif. Maka, bisa dikatakan juga -kalau dalam beberapa kasus, baik ketika Mahkamah Konstitusi menggunakan kewenangannya berdasarkan doktrin negative legislator ataupun positive legislator-, mahkamah menggunakan semacam mekanisme veto yudikatif terhadap lembaga legislatif.
Jika ditelusuri secara yuridis, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menjadi positive legislator merupakan kewenangan yang mendobrak rambu pembatas yang telah disediakan oleh konstitusi dan undang undang.Â
Akan tetapi, jika ditinjau lebih lanjut, putusan Mahkamah Konstitusi yang sifatnya positive legislator ternyata berpegang pada apa yang hakim konstitusi maknai sebagai keadilan yang konstitusi. Sementara itu, jika dibenturkan dengan pandangan Kelsen dikehendaki
di atas, Laica Marzuki cenderung mengabaikan pandangan tersebut dengan rasionalisasi positive legislature sebagai bagian model judicial activism, dengan mengatakan: "Biarkan MK membuat putusan yang bersifat mengatur, sebagai inovasi atau pembaruan sesuai dengan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat".