Mohon tunggu...
Umar Farouk Zuhdi
Umar Farouk Zuhdi Mohon Tunggu... -

Refleksi keberagamaan adalah kemuliaan akhlak. Wujudnya adalah rahmat bagi siapa pun. Menulis sekedar berbagi untuk membuat kehidupan ini lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih beradab. Belajar dari matahari dan kesempurnaan penciptanya barangkali dapat membuat hidup lebih memiliki makna..!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Say It With Flowers

2 Mei 2017   14:29 Diperbarui: 2 Mei 2017   14:43 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

               ‘Katakan dengan bunga’.  Wah, alangkah indahnya kalimat itu.  Bunga dengan keindahan yang dimilikinya telah beratus tahun (?) digunakan manusia untuk menyampaikan suatu pesan. Pesan itu simbolik. Warna-warni bunga dan pesona bentuknya dapat menjadi ekspresi rasa duka, rasa simpati, rasa bahagia, dan berbagai perasaan lainnya. Masyarakat Barat telah mengadopsi budaya ‘say it with flowers’ untuk menyatakan pesan secara beradab dan mulia. Terbebas dari kekerasan dan mendidik manusia untuk berinteraksi dengan komunikasi yang persuasif dan menyentuh sisi  humanistiknya. 

            Suatu ketika beberapa puluh tahun lalu, di depan sebuah hotel di Adelaide, South Australia, saya berpapasan dengan perempuan separuh baya. Perempuan itu tampak sangat happy. Sambil berjalan penuh keceriaan, ia bernyanyi-nyanyi kecil dan ditangannya ia membawa  a bunch of flowers.Perempuan itu tampak cantik dengan jaket tebal musim dinginnya. Saya penasaran untuk mencari tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi  dengan perempuan ini.  Bagi saya yang memiliki Indonesian cultural field of reference  (latar belakang budaya Indonesia)  pemandangan ini cukup terasa ganjil.  Saya mendekat terus saya tanya mengapa ia begitu bahagia.  Katanya ia sedang ditunggu oleh adik perempuannya di sebuah cafe.  Mereka tidak pernah saling jumpa selama 18 tahun.  Adiknya tinggal di Adelaide, sedangkan ia telah 18 tahun itu pergi ke berbagai negara dalam kegiatan jurnalistik. Ia adalah seorang penulis. Ia katakan pernah juga tinggal beberapa saat di Jakarta.  Bunga yang ia bawa katanya akan dapat menyatakan perasaan rindunya kepada sang adik lebih daripada apa yang ia katakan ketika bertemu dengannya di cafenanti.

            Bagi kita menyatakan pesan dengan bahasa bunga kini sudah mulai lazim dilakukan orang.  Khusunya di kalangan orang terdidik (educated).  Di kalangan orang yang berpendidikan rendah  (low educated) biasanya mereka tidak menggunakan cara ini.  Bahasa bunga adalah bahasa simbolik yang pesannya hanya bisa dicerna oleh mereka yang intelek.  Pesan dengan bahasa simbolik memiliki tafsir yang lebih dalam, rinci, masuk ke sisi nuance of meaning yang  dalam dan lembut (subtle), dan yang lebih dahsyat lagi pesan itu dapat disampaikan secara etis dan estetis.  Empat ribu enam ratus karangan bunga di depan Balai Kota Pemprov DKI bagi Ahok-Djarot menandakan adanya pesan mendalam yang ingin disampaikan para  pendukung Ahok-Djarot yang intelek atas kekalahan  mereka di drama Pilkada DKI yang baru usai.  Bila diterjemahkan pada umumnya pesan yang disampaikan adalah pernyataan kesedihan, kebanggaan, kekaguman, terima kasih, keharuan, kecintaan, kerinduan,  dan pernyataan positif lainnya yang dialamatkan kepada Ahok dan Djarot.  Seperti yang saya katakan sebelumnya (baca: Ahok dan Anies di Mata Najwa)  meskipun Ahok dan Djarot kalah tapi sesungguh mereka lah pemenang yang sebenarnya. Bukan Anies-Sandi. Ribuan karangan bunga itu merupakan bukti yang tak terbantahkan bahwa Ahok-Djarot sangat dicintai rakyat Jakarta.  Kepuasan  rakyat Jakarta terhadap kinerja mereka yang 76% mengkonfirmasi  fakta bahwa mereka layak dicintai. Lho, koq kalah?. Jawabnya jelas karena soal politisasi agama. Jadi kemenangan Anies –Sandi wujud dari kerendahan akhlak politik dalam drama pilkada DKI yang gaduhnya luar biasa. Kata orang pilkada rasa pilpres. Rakyat seperti dimasukkan ke kancah peperangan ideologi  yang eskalasinya sampai terjadi penggerakkan masyarakat secara masif ke ibukota oleh kelompok-kelompok radikal.

            Seperti saya katakan tadi, mayoritas pendukung Ahok-Djarot adalah kelompok orang intelek, Mereka sangat beradab, beretika, bermoral, santun, dan tahu persis bahwa mendukung Ahok-Djarot bukan berarti mendukung mereka secara pribadi karena faktor emosional yang amat subjektif. Pokoke seneng. Sreg. Tidak demikian.  Mereka adalah  rational voters  yang menilai kinerja Ahok-Djarot secara sangat objektif.  Jika Ahok-Djarot menunjukkan kinerja yang buruk mereka dengan serta merta akan meninggalkan mereka itu.  Segera mereka akan mendukung figur lain yang lebih baik. Kata kuncinya adalah penghargaan terhadap profesionalisme. Beda dengan pendukung  Anies-Sandi yang menyatakan dukungan politiknya dengan cara barbar, rendah, tidak beradab. Banyak melakukan intimidasi kepada publik, mengerahkan masa untuk berdemonstrasi, memanipulasi agama untuk pragmatisme politik, dan sebagainya.  Bagi mereka Anies-Sandi adalah harga mati. Alasannya pokoke kudu wong Islam. Bahkan jika pun mereka koruptor akan didukung mati-matian. Pokoke wong Islam. Tidak boleh  mendukung   Ahok karena kafir.  Mereka adalah emotional voters yang tidak cerdas. Ketidakcerdasan itu tampak dari caranya mereka menyatakan dukungan  politiknya. Anarki, pengerahan masa, teriak-teriak, mengganggu ketertiban umum, menunggangi ajaran agama dan seterusnya. Mereka mengobarkan ketakutan, ancaman, dan permusuhan.  Mereka tidak kenal bahasa bunga.  Mereka lebih akrab dengan terikan takbir yang manipulatif dan umpatan sapah serapah.  Mereka meng-klaim pengusung   rahmatan lil aalamiin  namun faktanya mereka suka memusuhi dan  mencaci maki kelompok yang berbeda.  Bahkan orang yang seagama pun  mereka pertanyakan kemuslimannya. Jenazah sesama muslim yang berbeda pilihan politiknya pun mereka larang untuk disholatkan di masjid. Jelas sudah mereka tidak kenal dengan high politics(politik dengan bahasa bunga).  Yang mereka tahu adalah  low politics(politik kekerasan).    

            Ketika banyak bunga yang dikirimkan orang untuk Ahok-Djarot, saya makin mengerti bahwa sebagian rakyat kita sudah mulai beradab.  Kalah tidak berarti harus marah melainkan justeru tersenyum karena perhelatan akbar pilkada yang telah mengoyakkan persatuan diantara sesama anak bangsa telah berakhir dengan selamat. Luka sih pasti ada.  Menebarkan kedamaian dan sikap dewasa terhadap sebagian rakyat lainnya yang masih kekanak-kanakan itu lebih mulia. Sebab jika Anies-Sandi kalah, saya tidak berani membayangkan akan seperti apa chaos nya Jakarta.  Saya mengira banyak orang memilih Anies-Djarot karena pertimbangan ini. Jadi saya kira rakyat Jakarta yang pintar juga lebih dewasa daripada elit politik yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan Anies-Sandi. Contoh Amien Rais, Habib Rizieq, Fadli Zon dan yang lainnya. Bagi mereka yang intelek kedamaian di Jakarta jauh lebih penting daripada memenangkan Ahok-Djarot. 

Ada pertanyaaan mengapa orang intelek seperti Amien dan Fadli tidak bisa memahami bahasa bunga? Bahkan Fadli menyatakan bahwa karangan bunga yang ribuan di depan Balai Kota itu adalah bunga yang dibeli Ahok sendiri untuk pencitraan.  Jawabannya adalah karena intelektualitas mereka terkooptasi oleh kebencian.  Rasa benci telah membuat sesuatu yang mudah dipahami menjadi demikian sulit dan mustahil.  Bahkan tokoh MURI  Jaya Suprana yang karena secara politis berada pada kutub yang berseberangan dengan Ahok tidak merasa malu untuk tidak mencatat rekor ribuan karangan bunga yang diberikan oleh warga Jakarta untuk Ahok-Djarot ke dalam Museum Rekor Indonesia nya.  Tampaknya MURI memang kurang layak untuk Ahok-Djarot.  Mereka lebih pantas untuk dicatat prestasinya dalam the World Guinness Book of Record.

Samanten rumiyin..Sugeng sonten ...Tabik...!

Umar Farouk Zuhdi

Kaki Gunung Ungaran

2 Mei 20017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun