Mohon tunggu...
Umar Farouk Zuhdi
Umar Farouk Zuhdi Mohon Tunggu... -

Refleksi keberagamaan adalah kemuliaan akhlak. Wujudnya adalah rahmat bagi siapa pun. Menulis sekedar berbagi untuk membuat kehidupan ini lebih manusiawi, lebih adil, dan lebih beradab. Belajar dari matahari dan kesempurnaan penciptanya barangkali dapat membuat hidup lebih memiliki makna..!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Religiositas Versus Spiritualitas: Belajar dari Dua Dunia

18 April 2017   20:46 Diperbarui: 18 April 2017   20:58 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hujan turun rintik-rintik. Kehijauan rumput di kebun belakang rumah mengingatkan saya akan keindahan  Botanical Garden  di jantung kota Melbourne.  Disana tanaman tertata indah, air sungai  di tepi Kebun Raya itu mengalir jernih kebiruan. Saya dapat melihat ikan-ikan yang berenang dengan mata berbinar. Subkhanallah....! Di kursi-kursi kayu yang tertata rapi saya melihat orang-orang bule menikmati hari yang cerah dengan membaca majalah. Ada pula yang tiduran dengan handuk lebar sambil memakai  sun glasses.  Di seberang  Botanical Garden itu ada  Opera House.  Saya dapat menikmati  musik klasik yang sayup diperdengarkan dari tempat itu dengan orkestrasi yang luar biasa syahdu.  Wah, benar-benar kehidupan yang nyaman dan berkualitas.

Orang Barat itu, seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang Australia/Aussie , relatif sangat sekuler.  Bagi mereka agama itu tak begitu penting. Dulu saat jalan-jalan , saya  melihat banyak gereja yang masih lengkap dengan lambang salibnya telah berubah fungsi menjadi  massage(panti pijat) , tempat karaoke, cafe,  pub, dan sebagainya.  Anehnya, tak ada orang yang mempermasahkan. Jika  di Indonesia ada orang yang menjadikan sebuah masjid saja menjadi tempat karaoke  misalnya, pasti orang tersebut akan segera ditangkap massa atau polisi. 

Di Indonesia agama itu sangat sakral. Tidak boleh disentuh, tidak boleh diperlakukan secara sembarangan.  Bahkan keseleo lidah saja (slip of the tongue)  yang menyangkut soal keagamaan dapat dijadikan komoditas politik.  Macam kasus   Al-Maidah51 itulah....!  Isu agama sering menimbulkan konflik sosial yang masif. Kasus pembakaran tempat ibadah seperti gereja dan masjid, pembubaran kegiatan ritual keagamaan, konflik antar sekte keagamaan, begitu sering terjadi.  Orang kita sangat sensitif dan emosional  jika bicara pasal agama.  Maka tidak boleh main-main terkait hal ini. Masalah yang sepele bisa jadi rumit seperti kasus Al Maidah  51itu. Secara substansial, seperti pendapat banyak ulama, Ahok tidak melakukan kesalahan. Ulama-ulama yang berpendapat Ahok melakukan penodaan agama pada umumnya adalah mereka yang  punya political interests.

Maka Ustad Quraisy Shihab, Gus Mus, Mbah Maimun Zubair, Kyai Said Aqil Siradj dan para ulama’ul akhirah (antitesis dari ulama ud dunya atau ulama us syuu) lainnya hanya senyum saja terkait dengan tuduhan penodaan agama oleh Gubernur DKI itu. Mereka mengerti itu sih soal pilkada atau politik. Jadi  politisasi agama. Di negeri ini agama bisa diperalat persis seperti  kata Pak Basuki atau Ahok. Jadi agama bukan tujuan untuk mencapai harkat kemuliaan, mencari keridhoan Tuhan, dan menebarkan rahmat seperti  rahman dan rahim-nya  Tuhan kepada umat manusia yang tanpa disekat oleh suku, agama, ras, dan golongan.  Bagi Tuhan mankind is one atau ummatan waakhidah. Tidak boleh ada yang diperlakukan tidak adil sebab Tuhan itu maha adil.

        Ada pengalaman lain menyangkut  sekulerisme  orang Barat. Suatu ketika saya sedang menjadi imam sholat tarawih di apartemen  Modbury Hospital, Adelaide.  Datang perempuan bule.  Masih teeneger (berusia belasan).  Ia pinjam mukena salah satu makmum dan ikut sholat.  Setelah usai sholat saya nanya apa agamanya. Dia Jawab: ‘Christian’.     Dia nanya saya: “ Who is your God?’.     Saya jawab: ‘Allah’.  Lalu saya nanya juga: ‘Who is your God?’ ,dia jawab:’ Jimmy Barnes’.  Saya kaget karena saya belum pernah dengar ada tuhan yang namanya  Jimmy Barnes. ‘Who is Jimmy Barnes?’, tanya saya sangat penasaran. Lalu ia menjawab:’He is a rocker’. Di dunia Barat hal itu tidak menjadi persoalan. Tidak penting. Mengapa? Karena orang Aussie itu, seperti kebanyakan orang Barat, tidak relijius. Di kutub yang berbeda orang Timur pada umumnya, seperti orang Indonesia sangat lah relijius. Tidak sembrono menyebut nama Tuhan. 

        Masalahnya kemudian adalah apakah orang yang relijius itu lebih spiritualis daripada mereka  yang sekuler? Berdasarkan fakta dan realitas yang bisa kita saksikan orang Barat yang tidak relijius ternyata sangat spiritualis. Buktinya mereka lebih jujur, lebih peduli,  lebih disiplin, lebih suka kerja keras, dan sifat-sifat baik lainnya dalam kehidupan mereka sehari-hari dibandingkan orang Timur yang konon relijius.  Sebaliknya kita yang relijus seringkali tidak menunjukkan kualitas kepribadian seperti disebut di atas.  Paling tidak itu yang saya lihat.

Di Adelaide, orang ngantri dengan tertib ketika naik Urban,  yakni angkutan umum semacam Transjakarta; tidak membuang sampah sembarangan (littering);selalumengucapkan excuse me dan  thank you  ketika melakukan komunikasi dengan orang lain jika perlu.  Kita tidak terbiasa ngantre. Dulu-duluan atau main serobot. Buang sampah juga sembarangan. Kali Ciliwung menjadi tong sampah orang Jakarta. Lemari pakaian, sofa, tempat tidur, kasur, bantal, kotoran manusia, sampah basah, sampah kering, semuanya dilempar ke Ciliwung. Keterlaluan. 

Jika tidak ada wonder man seperti Jokowi dan Ahok tak akan pernah Jakarta menjadi bersih. Kita juga tidak terlalu berempati pada sesama kita yang nasibnya kurang baik. Orang Barat pada umumnya secara personal lebih filanthropis dibandingakan orang Timur. Mereka peduli pada kemiskinan. Kita seringkali sengaja menciptakan potensi kemiskinan bagi orang lain.  Birokrat dan politikus di negara-negara Barat pada umumnya amanah ketika menjalankan tugas sebagai pelayan rakyat.  Di Indonesia mereka menjadi majikannya rakyat dan sesuka hati merampok uang rakyat. Sampai hari ini yang menjadi perkecualian adalah Jokowi , Ahok, Ridwan Kamil, Bu Risma, dan beberapa nama lain yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari-jari tangan kita.

Lantas mana yang lebih penting apakah menjadi relijius atau menjadi spiritualis? Tentu keduanya penting.  Jika kita hanya relijius saja, maka keberagamaan kita hanya menjadi kesia-siaan. Tuhan akan menilai amal manusia tidak dari aspek syari’at-nya saja melainkan juga dari substansi yang berada dibalik amal  syari’at-nya itu. Jika niatnya bukan karena Tuhan,  maka gugurlah pahala ibadahya. Dan Tuhan sebagai contoh,  tidak akan menerima sholat manusia jika sholatnya itu tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar. 

Orang yang sholat tidak mungkin bersikap dan bertindak radikal kepada manusia lainnya baik yang berbeda agama maupun yang seagama. Sebaliknya jika spiritualis saja, maka Tuhan juga  tidak akan berkenan sebab jika manusia tidak melaksanakan ajaran agama atau sekuler,maka berarti tidak mematuhi pedoman hidup yang telah diberikan oleh-Nya.  Meskipun kehidupan sosialnya baik namun kehidupan personal-nya  terhadap Tuhan pasti akan ada banyak pelanggaran baik disadari atau tidak.

Untuk masuk ke surga kehidupan yang sesungguhnya baik di dunia maupun di akhirat maka religiositas dan spiritualitas menjadi syarat mutlak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun