Pembicaraan tentang Ahok selalu membawa kita pada diskusi yang menarik. Orang pasti ingin membaca dan mendengar tentang figur ini.  Apalagi ketika kampanye Pilkada DKI 1 sudah dimulai.  Serangan terhadap Ahok makin bertubi-tubi; persis sama ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai calon Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014. Kontroversi Ahok tampaknya lebih menarik daripada Jokowi karena beberapa alasan.  Pertama, Ahok adalah WNI keturunan.  Belum ada sebelumnya WNI keturunan (Cina) yang menjadi pejabat pemerintahan apalagi sekelas gubernur  DKI. Memang ada WNI keturunan yang menjadi menteri seperti Kwiek Kian Gie. Namun menjadi menteri tidaklah melalui proses politik yang rumit seperti menjadi gubernur DKI. Kedua, Ahok itu bukan orang Islam melainkan orang non muslim. Kultur politik Indonesia yang masih primordial tentu akan mempersulit golongan minoritas untuk menjadi pemimpin di pemerintahan apalagi untuk jabatan gubernur DKI yang sangat prestisius.  Bukan tidak mungkin gubernur DKI yang sukses dapat mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia. Hal ini tentu sangat merisaukan bagi kelompok mayoritas Islam. Oleh sebab itu banyak kelompok Islam garis keras atau radikal yang berusaha menjegal Ahok dengan berbagai cara meskipun sampai saat ini belum ada hasilnya. Ketiga, Ahok itu orang jujur, pekerja keras, dan berani.  Konsekwensinya Ahok harus berhadapan dengan para koruptor yang banyak bercokol di parpol dan birokrasi  pemerintahan.  Disamping itu para pengusaha hitam yang selama ini bekerjasama dengan para koruptor di pemerintahan pasti ikut beramai-ramai memusuhi Ahok. Keempat, sebagian masyarakat Jakarta ada yang merasa menjadi korban kebijakan Ahok.  Kelompok ini pada umumnya adalah kelompok mayarakat Jakarta yang berpendidikan rendah dan miskin. Kebijakan relokasi yang dilaksanakan oleh pemprov DKI dibawah kepemimpian Ahok, yang memiliki tujuan mulia memanusiakan  mereka yang hidup di bantaran sungai kadang dimaknai sebagai penggusuran. Mereka tidak dapat memahami dengan baik tujuan mulia kebijakan Ahok.  Apalagi ketika ada kepentingan politik yang memprovokasi mereka untuk melawan Ahok.  Ahok jelas menghadapi musuh yang banyak dan berkekuatan besar. Maka tidak heran jika demo-demo untuk melawan Ahok memiliki banyak latar belakang. Ada karena kepentingan ekonomi, politik, agama, ras, dan sebagainya.
Agar tidak menimbulkan problem sebetulnya paling gampang jika Ahok segera menjadi muallaf.  Jika ini terjadi saya yakin tak ada penolakan lagi terhadap Ahok.  Tidak akan ada demo gila-gilaan yang berjilid-jilid itu.  Tapi apa benar? Belum tentu juga. Syarat lain adalah  Ahok mau berkompromi dengan para koruptor yang selama ini mensuplai logistik demo. Tampaknya demikian. Tapi saya, dan banyak orang lain yang masih waras, tentu menganggap ide muallaf-nya Ahok  ini benar-benar gila.  Tapi ada lho ustad-ustad radikal yang ngomong demikian. Bahkan tanpa malu di podium  masjid dan lapangan terbuka.  Padahal bagi Ahok dan siapapun agama tidak bisa dijual hanya karena urusan politik.  Lalu sebenarnya apa yang terjadi di kalangan politikus dan kelompok radikal muslim sekarang ini? Jawabannya adalah mereka tidak memiliki kandidat gubernur yang berkualitas seperti Ahok. Kandidat pemimpin muslim pada umumnya kurang profesional dan tidak amanah.  Akibatnya umat Islam Jakarta tidak memberikan suaranya pada mereka.  Tidak ada trust. Tengok kembali pilkada DKI sebelumnya yang dimenangkan paslon Jokowi-Ahok.  Paslon yang didukung parpol-parpol Islam kalah telak. Hidayat Nur Wahid, misalnya kalah di putaran pertama.  Padahal basis masa PKS di Jakarta cukup kuat dan jelas mayoritas warga Jakarta muslim.  Kita juga tahu bukan jika Jokowi dan Ahok dicitrakan sebagai paslon yang ‘bukan islam’ oleh rival politik mereka?
Realitas politik tersebut jelas mengindikasikan adanya kesadaran politik baru di tengah rakyat bahwa selama ini baju agama hanya digunakan sebagai alat untuk memperdaya rakyat oleh para politikus dari parpol-parpol yang mengusung label keagamaan.  Perilaku politiknya seratus prosen bertabrakan dengan nilai-nilai kemualiaan agama itu sendiri.  Sebaliknya Ahok justeru mengejawentahkan nilai-nilai kemuliaan agama itu dalam setiap langkah politiknya: shiddiq(berpijak pada kebenaran), amanah(konsisten pada kejujuran) , tabligh(mengajak pada kebenaran) , dan fathonah(memiliki kecerdasan dan kapabilitas).  Jelas Ahok figur yang memiliki kredibilitas untuk menjadi pemimpin. Banyak orang bilang kepemimpinan Ahok lebih islami daripada kepemimpinan para pejabat publik muslim sendiri.  Jadi, jika Ahok dimusuhi oleh para politikus dan kelompok muslim garis keras,  itu cerminan dari adanya kecemburuan terselubung karena mereka tidak memiliki calon gubernur yang sepadan. Dan pasti jika Ahok terpilih, ruang gerak untuk menyelewengkan pengelolaan negara akan makin sempit.  Saya rasa keterpilihan Ahok akan dapat membawa negara ini menuju pada sistem perpolitikan dan kepemimpinan  yang lebih beradab.
 Ngaten rumiyin. Saya hirup dulu udara segar di kebun yang ditumbuhi rumput hijau sambil duduk santai ditemani secangkir teh manis buatan istri....Salam!
Umar Farouk Zuhdi
Kaki Gunung Ungaran
6 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H