Pagi itu, kereta bergerak perlahan setelah peluit panjang kepala stasiun menandakan keberangkatan. Alex Su duduk di tangga pintu masuk gerbong penumpang bersama beberapa gelandangan dan pengemis lainnya. Udara pagi terasa segar, namun dingin menusuk tulang. Dia hanya memakai kaos lusuh dan celana pendek yang robek di bagian lutut.
Sepanjang rel yang dilewati kereta, tampak hamparan sawah menghijau yang luas, ditanami padi yang bergoyang lembut ditiup angin. Pemandangan itu sejenak membawa Alex kembali ke rumahnya, ke wajah Emak dan Bapaknya yang menangis saat dia berpamitan sambil mencium telapak tangan mereka. Dia tidak sempat berpamitan kepada adik-adiknya yang sedang bersekolah. Kini, tekadnya sudah bulat: dia ingin mencari kerja di Jakarta, meskipun tidak tahu apa yang akan dihadapi di sana.
Tidak mungkin baginya tetap tinggal di Kepanjen, kota kecil yang tak bisa menjanjikan masa depan lebih baik bagi seorang anak tamatan SD seperti dirinya. Dalam benaknya, terlintas bayangan rumahnya dan banyak rumah tetangganya yang dindingnya masih terbuat dari anyaman bambu. Rumah berdinding tembok batu bata di desanya bisa dihitung dengan jari. Hidup di sana hanya berarti bertahan dalam kemiskinan tanpa harapan.
Alex tidak menyesal meskipun tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMP. Meskipun tidak tahu pekerjaan macam apa yang akan didapatkannya kelak di Jakarta, dia yakin bahwa nasibnya harus diubah. Ia percaya, satu langkah kecil meninggalkan desa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik.
"Kowe medun endi, Le?" tanya kondektur yang sedang memeriksa karcis penumpang, membuyarkan lamunan Alex.
"Malang, Pak. Mboten gadah duit," jawab Alex pelan, dengan nada malu-malu.
"Lungguho ndek kene ae yo."
"Enggih."
Alex mengingat saat masih kelas lima SD, diajak Cacak Mbarep (kakak sulungnya) untuk wisata ke Kebun Binatang Surabaya naik kereta api. Saat itu, dia begitu antusias hingga hafal setiap nama stasiun pemberhentian kereta dari Malang hingga Wonokromo, Surabaya. Perjalanan itu adalah salah satu kenangan indah yang jarang terulang di tengah kerasnya kehidupan sehari-hari.
"Iki lo, Le. Tahu goreng, panganen," suara seorang wanita pengemis tua yang duduk lesehan di sebelahnya membuyarkan lamunannya.
"Iya, Mbah!" jawab Alex singkat. Dia mengambil satu biji tahu goreng dari bungkusan plastik yang disodorkan wanita itu. Rasa gurih tahu goreng itu sedikit menghangatkan tubuhnya yang dingin. Namun, di balik nikmatnya tahu goreng itu, pikirannya tetap dipenuhi oleh ketidakpastian tentang masa depan.