"Kenyataan hidup tak seindah warna pelangi. Hati senantiasa berpelangi meski kenyataan hidup segersang gurun" aku merapal kalimat itu sengan mematung di atas pasir pantai.
"Aku tetap tersenyum meski kenyataan hidup tak selalu ramah menyapa bahkan terkadang senantiasa sinis," lanjut Tia dengan suara berbisik di telinga.
Semilir angin pantai menerpa tubuh. Hempasan bui-buih air laut membasahi kaki.
"Kamu lebih Salindri dari sosok Salindri yang aku tulis di cerita. Kamu masih ingat kalimat yang pernah diucapkan Salindri saat berdua dengan Alex di pantai ini." ujar Tia sambil memegang lenganku.
"Ayo pulang udah sore,"ajak Tia sambil menarik tanganku dengan pelan.
"Sampai kapan aku harus berperan jadi Salindri."ujarnya kemudian.
"Belum sehari jadi Salindri udah mengeluh,' sahutku.
"Kamu jahat. Sangat egois." celetuknya dengan suara meninggi.
'Maksudte piye?. tanyaku.
"Aku ga direken .. dirimu asyik dengan perasaanmu sendiri.'
"Sorry..aku lagi menikmati keindahan laut bak *smara kasmira" dan pantai membayangkan Salindri di sampingku."