Hanung duduk di bangku tepi pantai, kedua tangannya terlipat erat di atas lutut. Matanya terpaku pada langit senja yang perlahan mulai memudar, seoalah mencoba menemukan jawaban di antara warna-warni kehidupan dimana mulai larut dalam malam. Ia merasakan lembut angin menyapu wajahnya, namun dingin itu tam mampu menembus lapisan rasa kosong yang menyelimuti pikirannya.
"Aku tak akan menyesal," gumamnya pelan, terlebih kepada diri sendiri atau pada siapa pun. Kalimat itu terdengar sangat pasti di telinganya, meski ia tahu ada gema ragu yang bersembunyi di balik setiap suku kata.
Di sampingnya, Angga hanya diam. Pria itu tampak seperti patung, matanya tertunduk dengan ekspresi datar. Namun Hanung bisa merasakan denyut ketegangan menguar dari tubuh Angga, detik-detik yang menyakitkan sebelum akhirnya benar-benar tiba.
Mereka sudah sampai pada titik ini: sebuah percakapan tanpa ledakan emosi, hanya hening yang menusuk. Tak ada air mata, tidak ada teriakan. Hanya dua orang yang saling menatap bayang-bayang masa lalu mereka, mencoba memahami mengapa cinta di mana dulu sangat kuat kini terasa rapuh.
"Kenapa harus menjelaskan?" lanjut Hanung, suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan untuk angin senja. "Kenapa menunda? Cukup... anggap saja ini akhir dari semua yang kita jalani."
Angga menoleh, memandang Hanung dengan tatapan kosong penuh tanda tanya. Namun ia tahu, tak ada penjelasan lagi yang mampu memperbaiki keretakan itu. Mereka sudah mencoba segalanya---berbicara, berdebat, bahkan berdamai dengan diam. Tapi cinta, meski perkasa seperti raja, ternyata juga rapuh. Ada kalanya ia tak cukup kuat untuk bertahan.
Hanung mengingat setiap momen yang mereka lewati bersama. Saat-saat di mana mereka saling berpegangan tangan di bawah langit malam, saat isyarat kecil dan kata-kata sederhana menjadi penyemangat di hari-hari sulit. Semua itu kini terasa jelas akan hidup dalam memori, tapi juga nun jauh dari kenyataan. Ia merasakan ingatan-ingatan itu seperti bayang-bayang yang semakin kabur, seperti warna lukisan terkikis waktu.
"Setiap kata, setiap isyarat," ucap Hanung, "akan selalu terukir di hatiku." Matanya menerawang, seolah mencoba menangkap jejak-jejak kenangan mulai memudar. "Namun, takkan ada air mata yang jatuh. Takkan ada yang disalahkan. Biarkan selalu dikatakan, kita telah mencoba apa yang kita harapkan."
Angga tersenyum tipis, sebuah senyuman yang dipenuhi kesedihan dan pengertian. Ia tahu Hanung tidak salah. Mereka saling mencintai, dan keduanya berharap, tapi cinta tak selalu berarti kebersamaan. Kadang, cinta datang sebagai pengunjung singkat, memberi warna sejenak, lalu pergi tanpa permisi.
"Saat kau pergi nanti," kata Hanung lagi, kali ini dengan nada lebih mantap, "aku bisa berkata... cinta adalah raja, tapi hanya untuk sehari."
Mereka terdiam sejenak, membiarkan waktu berdetak tanpa tergangguan. Di dalam kepala Hanung, pemikiran-pemikiran bergulir cepat. Apakah ia sungguh bisa melepaskan  Angga tanpa rasa bersalah? Apakah ia memang bisa hidup tanpa kenangan cinta yang pernah mereka bagi? Pikirannya seperti labirin gelap, penuh pertanyaan tiada jawaban.