Fenomena, bagaimana bulan Ramadan sering identik dengan "fesstival kuliner." Alih-alih fokus kepada nilai-nilai spiritual, banyak orang justru sibuk mempersipkan hidangan kuliner untuk berbuka puasa, berburu takjil, atau sekedar mengikuti tren kuliner di media sosial, adalah cerminan dari bagaimana prakti keagamaan sering kali lebih menonjolkan aspek ritual dan budaya dibandingkan dengan dimensi spiritualitas. fenomena yang demikian ini mencerminkan tantangan dalam praktik keagamaan, akan tetapi ia juga membuka peluang untuk kembali kepada esensi ibadah, yaitu mendekatkan diri kepada Allah. memperdalam pemahaman tentang nilai-nilai teologi.
Islam dipahami hanya sebagai identitas sosial yang kuat. Ritual-ritual ibadah hanya jadi penanda keislaman seseorang di mata masyarakat. Banyak orang rajin menjalankan aturan ibadah karena ingin dilihat sebagai"Muslim yang baik" oleh lingkungan sekitar. Namun, ketika ritual-ritual tersebut tidak diimbangi dengan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai ketuhanan, ibadah bisa kehilangan esensinya. Puasa Ramadan sering kali dipandang hanya sebagai kewajiban yang harus dilakukan, tanpa merenungkan tujuan spitual di baliknya. Pada akhirnya ibadah hanya demi formalitas- sekedar tindakan lahiriah tanpa menyentuh hati dan jiwa.
Salah satu faktor utama yang membuat Ramadan terasa seperti "festival makanan" adalah komersialisasi ibadah. Media massa, industri kuliner, hingga platform digital memanfaatkan bulan Ramadan sebagai momentum untuk meningkatkan popularitas dan pendapatan. Artikel-artikel tentang menu sahur dan berbuka puasa, resep-resep unik, atau tips gaya hidup Islami sering kali lebih populer daripada tulisan-tulisan yang membahas aspek spiritualitas atau filosofi ibadah.
Ketika fokus ibadah bergeser dari tujuan spiritual (mendekatkan diri kepada Allah, melatih kesabaran, dan meningkatkan empati kepada sesama) menjadi aktivitas konsumtif -misalnya, berburu takjil atau membuat konten kuliner---maka esensi Ramadan sebagai bulan introspeksi dan pengendalian diri pun mulai memudar. Bukannya menjadi lebih bermakna, Ramadan malah terasa seperti ajang festival kulineran. Salah satu penyebab minimnya eksplorasi dimensi ketuhanan adalah lemahnya pendidikan spiritual di kalangan umat Islam.
Banyak orang belajar tentang hukum-hukum Islam, tetapi jarang diajak untuk merenungkan hakikat iman, cinta kepada Allah, atau makna ketaatan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus. tetapi juga melatih diri untu menahan hawa nafsu, memperbaiki sikap moral, budi perkerti, akhlak. Jika pemahaman ini tidak ditanamkan dengan baik, maka ibadah bisa kehilangan kedalaman maknanya. Umat Islam pun akhirnya hanya fokus pada aspek lahiriah, seperti berapa lama mereka berpuasa atau seberapa lezat menu buka puasa.
Media massa dan platform digital seperti, YouTube, Instagram, dan TikTok turut memengaruhi cara masyarakat memandang ibadah. Artikel-artikel tentang menu sahur dan berbuka puasa, resep-resep unik, atau tips gaya hidup Islami sering kali lebih populer dibandingkan tulisan-tulisan yang membahas aspek spiritualitas atau filosofi ibadah. . Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis, visual, dibandingkan dengan diskusi mendalam tentang keimanan atau nilai-nilai ketuhanan. Akibatnya, ibadah menjadi sekadar rutinitas tanpa makna yang mendalam. Orang-orang lebih sibuk memikirkan apa yang akan mereka makan saat berbuka daripada merenungkan arti puasa sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. ( Tontonan Ramadan )
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI