Mohon tunggu...
Umar Alhabsyi
Umar Alhabsyi Mohon Tunggu... -

Hamba Allah biasa, konsultan IT Management.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ribut-ribut (Lagi) Soal e-KTP: Not Plan to Fail, Kan?

15 Mei 2013   14:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:32 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber: Manajemen-TI

oleh: Umar Alhabsyi, MT, CISA, CRISC.

We are not plan to fail, we fail to plan.

Belakangan ini tiba-tiba masyarakat dan media kembali meributkan soal e-KTP, setelah cukup lama mereka istirahat membicarakan produk baru sistem kependudukan kita itu. Kita mungkin ingat dulu yang diributkan adalah hal-hal teknis seperti teknologi yang digunakan, standard kartunya, kapasitas penyimpanannya, atau hal non-teknis seperti besaran anggarannya, peraturan yang mengaturnya, mekanisme pemilihannya, dsb. Kalau sekarang yang diributkan lebih “ecek-ecek”, yaitu apakah e-KTP boleh difoto copy. Ribut-ribut ini dipicu oleh Surat Edaran Mendagri No 471.13/1826/SJ yang melarang e-KTP untuk difoto copy, distapler, dan perlakuan lainnya yang dapat merusak e-KTP. Banyak pihak pun terkejut dan berlomba mengutarakan pendapatnya. Ada yang protes mengapa baru sekarang diberi tahunya, ada yang tidak sependapat bahwa fotocopy dapat merusak e-KTP, dan ada pula yang berusaha menafsirkan yang dimaksud sebenarnya oleh surat edaran Mendagri tersebut. Menurut saya banyaknya ribut-ribut seperti ini dalam banyak kasus merupakan cermin dari  perencanaan yang tidak baik.

Negara kita memang punya masalah serius dalam hal administrasi kependudukan. Berdasarkan tuntutan kebutuhan tersebut maka kemudian dikeluarkanlah serangkaian peraturan perundangan pada berbagai tingkatan demi mengatasi permasalahan administrasi kependudukan tersebut secara komprehensif. Salah satu diantara program yang direncanakan dan akan diselenggarakan dalam rangka tersebut adalah implementasi e-KTP dengan memanfaatkan salah satu teknologi biometrik, yaitu identifikasi sidik jari (Automatic Fingerprint Identification System atauAFIS). Kenapa solusinya e-KTP dengan menggunakan pilihan teknologi yang sekarang ini seharusnya ada dasar justifikasi yang memadai, sehingga barangkali tidak pada tempatnya untuk dibahas lagi.

Tidak seperti pengadaan komoditas lain dengan spesifikasi yang sudah standard, ekspektasi kinerja yang sudah umum dipahami, dan risiko yang rendah terhadap kesalahan, sebuah pengadaan sistem berbasis biometrik ini mengandung rentetan asumsi-asumsi yang tidak diketahui atau baru sebagian diketahui. Sebuah sistem berbasis biometrik seperti AFIS ini bahkan dapat menjadi tidak dapat dipakai ketika tidak dapat mencapai sebuah kriteria kinerja spesifik tertentu[1]. Padahal pengadaan dan implementasi sistem e-KTP ini melibatkan pendanaan dengan jumlah yang sangat besar. Secara teknis, umumnya sistem seperti ini juga mengandung komponen-komponen sistem yang bersifat proprietary.  Sementara dalam operasionalisasinya, e-KTP akan memiliki dampak langsung dan kritikal terhadap masyarakat secara luas.

Kita juga perlu ingat bahwa umumnya ketika sebuah teknologi dari vendor tertentu telah diimplementasikan, sangat jarang dan susah jika ingin melakukan perubahan karena selain terkait dengan biaya, teknologi piranti dan sistem yang bersifat proprietary, juga terkait dengan database yang telah terbangun darinya.

Sehingga menurut saya tahapan terpenting dari pengadaan dan implementasi sistem seperti e-KTP ini adalah tahapan perencanaan. Kesalahan dalam mempertimbangkan seluruh kemungkinan dan kebutuhan dapat menjadi sangat fatal bagi keseluruhan proyek. Apalagi proyek ini menggunakan dana pemerintah (milik publik) yang harus memiliki pertanggung-jawaban yang sangat baik. Pendanaan yang dimaksud disini tentunya bukan hanya terkait dengan pendanaan untuk investasi awal implementasi e-KTP massal ini, tapi juga terkait dengan keberlanjutan program ini nantinya, penyiapan SDM nya, penyiapan blankonya, penerbitannya, kebutuhan operasional dan seterusnya yang jelas juga membutuhkan pendanaan dan sumber daya yang perlu diantisipasi.

Dulu (awal 2011) saya pernah mencoba analisis berdasarkan data-data sekunder terkait kelayakan perencanaan implementasi e-KTP ini. Hitungan saya waktu itu dari sisi target waktu untuk tahun pertama (2011), proyek ini hanya dapat mencapai ±46% dari target yang dicanangkan (67 juta e-KTP). Saya tidak tahu persis bagaimana realisasinya, tapi sepertinya realisasinya memang tidak jauh-jauh dari estimasi saya tersebut. Walaupun –alhamdulillah—kemudian target jumlah dapat dikejar bahkan dilampaui. Seperti dilaporkan oleh Mendagri pada acara Seminar Pemanfaatan e-KTP dan Card Reader di Gedung BPPT pada 2 Mei 2013 yang lalu, bahwa perekaman data biometrik penduduk telah mencapai angka 175,2 juta, yang artinya melampaui target 172 juta yang ditetapkan sebelumnya. Jika berdasarkan NIK, sebenarnya jumlah penduduk yang berhak mendapatkan e-KTP diperkirakan adalah 191 juta. Selisih sekitar 16 juta tersebut yang sedang diupayakan penyelesaiannya oleh Kemendagri sehingga para wajib KTP tersebut dapat memiliki e-KTP sebelum matahari tahun 2013 meninggalkan Indonesia. Karena katanya tahun 2014 adalah tahun ketika KTP konvensional tidak lagi berlaku di Indonesia. Dari sini saja bisa timbul pertanyaan, kalau estimasi jumlah wajib e-KTP adalah 191 juta, lalu mengapa dulu ditargetkan 172 juta saja? Dalam spesifikasi teknis yang dipersyaratkan juga ternyata menggunakan angka 172 juta ini. Misalnya bahwa sistem harus dapat menyimpan hingga 172 juta record penduduk; sistem dapat memelihara akurasi identifikasi hingga 172 juta record penduduk, dst[2]. Tentunya kita berharap kalau spesifikasinya seperti itu, sistem memiliki kemudahan dalam skalabilitas sehingga dapat tetap memenuhi tuntutan yang muncul seiring dengan perkembangan kondisi. Walau agak aneh, spesifikasi sistem dibuat persis sesuai dengan target tanpa ada faktor penambah tertentu untuk keamanan spesifikasi. Terbukti implementasi sistem belum selesai saja, angka target tersebut sudah tidak valid lagi.

Hal-hal diatas adalah salah satu indikasi dari lemahnya perencanaan. Mudah-mudahan kita tidak banyak menjumpai lagi kehebohan-kehebohan jilid selanjutnya dari e-KTP ini. Kalaupun muncul lagi, kita berharap hal tersebut sudah diantisipasi sehingga dapat dikendalikan dengan baik dampak buruknya. Kita sangat berharap implementasi e-KTP yang menyedot sumber daya bangsa ini sangat besar ini bisa sukses mencapai tujuannya demi sebesar-besar manfaat bagi negeri ini.

Berdasarkan best practices[3], faktor kunci kesuksesan implementasi sistem seperti e-KTP ini utamanya terdiri atas:


  • Manajemen proyek yang baik dan kuat serta pendefinisian tujuan yang benar dan jelas
  • Kesesuaian antara kemampuan dari sistem dan teknologi yang dipilih dengan kebutuhan serta lingkungan operasional
  • Analisis yang menyeluruh terhadap ancaman dan risiko terkait sistem yang akan diimplementasikan

Demi untuk memperkirakan sejauh mana potensi kesuksesan dari mega proyek ini, maka Insya Allah saya akan coba lanjutkan analisis saya berdasar faktor-faktor kesuksesan tersebut diatas. Dengan harapan jika ada kekurangan-kekurangan dapat segera ditutupi. Karena kita tentu tidak sedang merencanakan kegagalan, hanya mungkin kurang dalam merencanakan. Kata salah seorang teman, prinsip “tiba masa, tiba akal” masih banyak dipegang kuat di negeri ini dalam berbagai sektornya, sebut saja sektor energi, pangan, ristek, dll. Reaktif dan kurang antisipatif. Walau demikian –betapapun—sebenarnya “tiba masa, tiba akal” masih lebih baik dibanding “tiba masa, habis akal”. Naudzubillah. [manajemen-ti]

[1] Komarinski, Peter. “Automated Fingerprint Identification System (AFIS)”. Elsevier Academic Press. 2005.

[2] Fahmi, H. Riza, H. Wibowanto, G. Nugroho, AS. “Rancangan TIK untuk Penerapan KTP Elektronik Secara Nasional”.  Juni 2011.

[3] Pato, N. Joseph. Millet, I. Lynett. “Biometrics Recognition: Challenges and Opportunities”. National Research Council of The National Academies. The National Academies Press. 2010.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun