Mohon tunggu...
Umar Alhabsyi
Umar Alhabsyi Mohon Tunggu... -

Hamba Allah biasa, konsultan IT Management.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menyoal Keseimbangan dalam Tata Kelola Internet Dunia

19 Maret 2013   01:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:32 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Umar Alhabsyi, MT, CISA, CRISC.

Catatan: Tulisan ini sebelumnya dimuat di Manajemen-TI.

Internet merupakan jaringan raksasa yang terdiri atas jaringan-jaringan dalam berbagai bentuk dan skala yang terdistribusi secara global di seluruh dunia. Jaringan raksasa ini berjalan tanpa ada sebuah badan atau institusi terpusat tertentu yang mengatur bagaimana para anggotanya mesti mengelola dan menggunakannya. Kontrol dilakukan oleh banyak pemangku kepentingan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif. Kalaupun ada organisasi yang mengatur secara terpusat pun lebih kepada aspek teknis saja. Seperti Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN) yang mengatur pengalokasian nama yang digunakan di Internet, termasuk nama domain, alamat IP dan parameter-parameter lainnya. Atau Internet Engineering Task Force (IETF) yang membuat standard pengalamatan IP, yang kini kita kenal ada IPv4 dan IPv6.

Baru pada November 2005, organisasi yang disponsori oleh PBB yaitu World Summit on the Information Society (WSIS) dalam salah satu konferensinya yang diselenggarakan di Tunis membentuk sebuah forum yang diberi nama Internet Governance Forum (IGF) untuk fokus membahas mengenai tata kelola Internet secara lebih luas. Sejak itu pembahasan mengenai tata kelola Internet dunia dilakukan secara lebih luas dengan sejauh mungkin melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (multi-stakeholder).

Indonesia juga telah membentuk IGF chapter Indonesia (ID-IGF) pada November 2011 yang lalu. Bahkan tahun ini, Indonesia akan menjadi tuan rumah konferensi IGF yang direncanakan akan digelar pada Oktober 2013 mendatang di Bali. Sebagai salah satu pertemuan persiapan untuk agenda tersebut, beberapa hari yang lalu (28 Februari – 1 Maret 2013) di Paris delegasi Indonesia mengikuti pertemuan Multistakeholder Advisory Group (MAG)-IGF. Delegasi yang dipimpin oleh Ditjen Aplikasi dan Telematika Kemenkominfo ini bersepakat untuk mengusung 4 kata kunci dalam pertemuan tersebut, yaitu: Development, Internet Safety, Multistakeholder, dan cyber society.

Multi-stakeholder adalah sebuah kata kunci yang amat menonjol sejak awal dideklarasikannya IGF ini. Dan memang prinsip tata kelola Internet dunia ini mestinya tidak ditentukan oleh suatu pihak atau negara saja, seperti antara lain tercermin pada kritik yang dilancarkan kepada ICANN dan IETF bentukan pemerintah Amerika Serikat (AS) itu. Tata kelola Internet mesti melibatkan berbagai pemangku kepentingan baik itu masyarakat, pemerintah, bisnis swasta, komunitas akademis dan riset, serta berbagai organisasi nasional maupun internasional yang berkaitan. Hubungan yang terjadi antara para stakeholder tersebut juga mesti seimbang (balanced). Pertanyaannya kemudian adalah mungkinkah terjalin hubungan yang seimbang diantara para pemangku kepentingan tersebut dalam menerapkan kebijakan-kebijakan tata kelola Internet dunia? Apakah forum semacam IGF ini akan dapat efektif untuk menciptakan tata kelola Internet yang seimbang tersebut? Sebelum itu kita mesti sepakati dulu makna dari terminologi “seimbang” ini.

Apakah seimbang itu artinya suara setiap negara akan sama pengaruhnya dan sama didengarnya dalam forum IGF ini? Tapi bukankah adalah hal yang wajar jika sebuah pihak –karena sebab-sebab tertentu—lebih didengar atau lebih berpengaruh dibanding pihak lainnya. Penyebabnya bisa banyak, tapi secara umum dapat dikatakan bahwa besar kecilnya pengaruh sebuah pihak itu amat dipengaruhi oleh value yang dia miliki/tawarkan dibandingkan dengan pihak lainnya. Dalam konteks negara, value ini bisa berupa kekayaan sumber daya alam, kekuatan pertahanan, penguasaan iptek, posisi geografis, dsb.

Ataukah seimbang itu artinya bahwa antar pihak yang berkepentingan (masyarakat, pemerintah, bisnis, akademis, dll) itu mesti memiliki posisi yang setara satu dengan lainnya? Sebuah pertanyaan yang mendasar dapat kita ajukan, “Apakah pemerintah sebuah negara punya hak untuk menekan suatu perusahaan untuk melakukan sesuatu atau mendapatkan informasi tertentu, misalnya dengan alasan kepentingan nasional negara tersebut?”

Kita mungkin masih ingat bagaimana Yahoo! dituntut di peradilan AS oleh beberapa oposan Cina karena dituduh menginformasikan identitas mereka kepada pemerintah Cina. Kita juga mungkin masih ingat bagaimana pemerintah AS meminta Twitter untuk menunda upgrade sistem yang telah direnanakan selama maraknya protes menyusul pemilu presiden tahun 2009 yang lalu sehingga situasinya bisa tetap panas. Atau kita bisa menafsirkan sendiri keinginan FBI terhadap basis data super kaya yang dimiliki oleh Google. Dan kita masih bisa menyebutkan daftar panjang intervensi pemerintah suatu negara terhadap perusahaan demi kepentingan-kepentingan tertentu.

Kejadian-kejadian semacam ini tentu selain menimbulkan pertanyaan terkait makna “keseimbangan” tadi, juga akan menimbulkan pertanyaan tentang sejauhmana tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat, disamping juga konsekuensi etik dan legal yang akan dihadapi perusahaan dengan melakukan praktik-praktik semacam itu. Dari sudut pandang perusahaan memang ini seringkali dilematis, karena di satu sisi perusahaan punya tanggung-jawab terhadap para stakeholdernya (pelanggan, karyawan, vendor, dll), tapi di sisi lain sebuah perusahaan pastilah berdiri di sebuah negara yang dipimpin oleh sebuah rezim pemerintah tertentu. Lebih dilematis lagi jika perusahaan tersebut merupakan perusahaan global multi-nasional. Tapi hal seperti ini seringkali tak terhindarkan, dan apapun keputusan yang diambil, seharusnya sudah merupakan hasil analisis risiko yang matang.

Alhasil, sebaiknya kita bersikap realistis dan proporsional. Sebagaimana disinggung diatas, IGF berafiliasi dengan sistem PBB. Walaupun demikian IGF bukanlah “Majelis Umum” atau “Dewan Keamanan” yang posisinya begitu strategis di dunia, yang –betapapun—dapat kita pertanyakan pula efektifitasnya. IGF bahkan tidak memiliki otoritas untuk pengambilan keputusan tertentu. IGF lebih sebagai sebuah media komunikasi dan diskusi mengenai internet dan tata kelola internet dunia. Sebuah inisiatif yang tentu saja bagus. Namun masyarakat atau negara manapun dapat setuju atau tidak setuju dengan produk-produk IGF atau lembaga sejenis lainnya tentang tata kelola Internet. Mereka bisa memiliki pandangan sendiri tentang tata kelola Internet yang baik. Bahkan siapapun boleh membuat jaringan seperti Internet ini sendiri. Hal seperti ini seharusnya bukanlah sesuatu yang mengejutkan atau menakutkan. Kita tidak akan dapat menemukan pendapat tunggal dalam segala hal, tak terkecuali mengenai Internet dan tata kelolanya ini. Bukankah akan lebih efektif jika pihak-pihak yang memiliki banyak kesamaan pandangan dalam tata kelola Internet ini kemudian membentuk kelompoknya masing-masing, merumuskan, menerapkan dan kemudian mengevaluasinya. Lalu antar kelompok-kelompok tersebut dapat kemudian bekerja-sama pada bidang-bidang tertentu jika dimungkinkan.

Akhirnya, saya mengucapkan selamat kepada Indonesia yang akan menjadi tuan rumah konferensi IGF Oktober mendatang. Semoga Sukses.[]

Umar dapat diakses melalui: umar.alhabsyi@gmail.com, atau twitter: @umaralhabsyi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun