Saat ini kita mulai menyadari akan pentingnya sebuah pendidikan dalam upaya menjadikan kehidupan lebih bermakna. Karena esensi pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, artinya setiap manusia tidak dituntut untuk sama satu dengan yang lainnya, semua memiliki kelebihan tertentu yang dimaksudkan untuk berkontribusi sesuai dengan keunikan dan ketertarikannya masing-masing.
Namun sayangnya, banyak dari kita berbicara tentang Pendidikan tanpa mengetahui esensi dari pendidikan itu sendiri, sehingga yang terjadi adalah pendidikan hanya ditujukan untuk memperoleh nilai dari selembar kertas untuk melamar pekerjaan, dan mekanisme itu telah menjadi tradisi dari generasi ke generasi.
Maka, atas dasar pemenuhan keinginan untuk menjadi yang terbaik dalam kompetisi penilaian akademis, membuat individu pelajar mulai melupakan nilai moral akan pentingnya kejujuran.
Fenomena ini menunjukkan gejala inferiority yang menggambarkan lemahnya prinsip generasi muda saat ini, mereka seakan tidak percaya diri akan kemampuannya hingga melegalkan segala cara untuk memperoleh hasil yang terlihat baik. Tan Malaka menuliskan tentang landasan dasar pendidikan dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan”, ia menyatakan, “Tujuan pendidikan itu mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan”.
Menciptakan generasi yang optimis akan kemampuan internal yang ada pada dirinya serta menghentikan lajur pesimis di kalangan generasi muda, diperlukan adanya kolaborasi pelibatan diri sendiri, orang tua, lembaga pendidikan, serta seluruh elemen bangsa untuk bahu-membahu menciptakan lingkungan yang suportif dan solutif bagi problematika saat ini.
“Mendidik bukan sekadar mengajar, kalau hanya sekadar mengajar jangan mengaku sebagai seorang pendidik”. Mungkin premis itulah yang dapat dijadikan sebuah acuan tentang perbedaan seorang pendidik dan pengajar, sekilas terlihat mirip, akan tetapi motivasi yang dimiliki oleh keduanya sudah pasti sangat berbeda.
Pertama kita harus mengetahui apa itu pendidikan, menurut Munif Chatib seorang pakar pendidikan, dalam gagasannya ia mengungkapkan bahwa pendidikan adalah proses yang tidak hanya berfokus pada pengajaran materi akademis, tetapi juga pada pengembangan individu sesuai dengan bakat dan minatnya.
Ia menekankan akan pentingnya pendidikan yang bersifat personal, kreatif, dan berbasis pada kekuatan unik setiap siswa. Pendidikan holistik tentunya tidak hanya untuk mengembangkan intelektualitas semata, tetapi juga membangun moral dan etika, atau yang akrab kita dengar sebagai akhlak dan adab.
Munif Chatib menerangkan lebih lanjut terkait gagasannya tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan, pendidikan harus memanusiakan manusia, artinya, pendidikan tidak hanya berorientasi pada hasil akademik tetapi juga pada pembentukan karakter dan nilai kemanusiaan. Ia meyakini bahwa setiap anak itu cerdas, setiap kecerdasan memiliki potensi unik yang dapat dikembangkan apabila mendapatkan penanganan yang baik.
Dalam proses berjalannya sebuah pendidikan, guru berperan sebagai desainer pembelajaran, yakni guru harus mampu mendesain proses pembelajaran yang kreatif dan sesuai dengan kebutuhan individu siswa, guru juga memiliki tanggung jawab merancang proses pendidikan agar menyenangkan, menarik, relevan, dan memotivasi siswa untuk terus berkembang. Munif Chatib menginspirasi konsep pendidikan humanis berbasis kekuatan, dan menghargai keberagaman potensi anak.
Mulai dari sini kita dapat mulai sedikit mengaitkan pemahaman tentang peran pendidik dalam proses pendidikan. Selanjutnya memasuki poin pembahasan terkait perbedaan pendidik dengan pengajar. Terdapat perbedaan mendasar antara pendidik dan pengajar secara umum yang terletak pada cara mereka menjalankan peran serta fokus tujuan pendidikan.