Bahwa nasionalisme bagi bangsa Indonesia memang harus bersanding religiusitas, bukan karena muslim Indonesia sedang berada pada posisi mayoritas, tetapi lebih dari itu, karena agamalah sebenarnya yang akan menjamin kesungguhan setiap bangsa, dalam menjaga wilayahnya dari setiap rongrongan kekuatan politik pragmatisme yang tak bertanggungjawab.
Pengantar Wacana
Suatu ketika saya mewawancara mantan menteri perhutanan, Malem Sambat Kaban (2010), pembicaraan dimulai dari tema ringan seputar pengalamannya selama menjadi menteri era SBY-JK, sampai dengan kesan beliau sewaktu berada di kota Tarim, diakhir kesempatan, saya bertanya soal fikrah atau wacana seputar pancasila dan nasionalisme bangsa Indonesia, pertanyaan saya persisnya berbunyi begini; Menurut bapak, apa yang di maksud dengan nasionalisme itu?, sambil tersenyum, beliau menunjuk KH. Rasyidi, pengasuh pesantren al Musthafa, Pandes Cipiring Kendal Jawa Tengah, yang kala itu berkenan mendampinginya, dengan bahasa kalem, beliau mempersilahkan mengomentari pertanyaan saya, lantas menjawab begini: "Nasionalisme itu adalah sikap cinta tanah air", searah dengan pernyataan itu, bapak MS. Kaban menegaskan apa yang disampaikan kiyai Rasyidi; Jadi nasionalisme itu menurut saya adalah, "kesadaran setiap pribadi bangsa atau masyarakat yang hidup di suatu negara tertentu, Indonesia umpamanya, untuk mewujudkan cita-cita luhur para pendiri bangsa".
Sebelum menyelesaikan pernyataannya, saya menyelipkan subpertanyaan baru, maaf pak Kaban, apa menurut bapak cita-cita mulia itu?, ia menjawab tegas, cita-cita itu ialah, "apa yang sesuai dengan harapan mayoritas bangsa Indonesia", tentu saudara dapat menangkap pesan ini. Saya tidak berhenti bertanya, sebelum ada kata tegas dari beliau, saya lalu memastikan apa sebenarnya yang beliau maksudkan, apakah yang dimaksud bapak adalah khilafah islamiyah?, beliau tersenyum lebar dan berkata: "Oh tidak, tidak sampai jauh ke sana, tetapi kita memang butuh mengoptimalkan wacana nasionalisme ini, dan harus terus mengawalnya, supaya tidak lepas konteks, itu saja". Konteks apa yang bapak maksud? "Ya, karena kita mayoritas islam, tentunya konteks yang sesuai frem islam". Maksudnya penyatuan makna nasionalisme dan islamisme, begitukah?. Mendekati itu, kilahnya.
Tapi, bagaimana dengan non muslim dan masyarakat lain yang berada pada posisi minoritas pak, sanggah saya. "Kalau tentang itu, bisa diatur lebih lanjut dalam peraturan perundangan, yang jelas, saya sebagai pribadi berharap nasionalisme bagi kita ummat islam, adalah nasionalisme yang bersanding fikrah diniyah". Apa bisa kita sebut nasionalisme religius?, "Bisa, bisa saja, kenapa tidak", tegasnya. Bahkan beliau menyatakan, bahwa hal itu, merupakan sesuatu yang sangat mungkin sekali untuk dilakukan oleh bangsakita di Indonesia. "Memadukan nilai-nilai nasionalisme dengan prinsip-prinsip luhur keagamaan itu, sangat ideal bagi bangsa Indonesia", tegas beliau.
Mengawal Sebuah Fikrah
Begitulah dasar fikrah tulisan berjudul "Santri Garuda; Menggagas Nasionalisme Religius" ini saya kemukakan sebagai catatan akhir sebuah ide, setelah sebelumnya, jauh-jauh hari, saya sudah berulangkali melakukan beberapa reportase, diskusi singkat dengan para nara sumber berskala nasional, yang berkesempatan datang ke kota Tarim, bahkan mewawancarainya secara pribadi dalam rangka menemukan titik simpul urgensitas nasionalisme religius bagi kalangan pelajar dan mahasiswa islam, khususnya bagi mereka yang sedang belajar di luar Negara Indonesia, termasuk pula pelajar Yaman. Dan secara global, saya dapat merangkum poin-poin penting seputar gagasan para santri garuda itu sebagai berikut:
Adalah KH. Shalahuddin Wahid, pengasuh pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, dalam satu kesempatan, saya sempat menanyakan tema nasionalisme religius ini kepada beliau, tentu dengan fikrah dasar yang sama sebagaimana pertanyaan saya terhadap tokoh-tokoh nasional lainnya, saya bertanya begini pada Gus Shalah ketika itu; Gus Shalah, apakah kita butuh mewacanakan nasionalisme-religius?, Kiai yang pernah menulis kata pengantar antologi sastra islami pelangi negeri Saba itu, menjawab singkat; "Ya, itu penting sekali", lantas beliau bercerita tentang suka duka sewaktu menjadi calon wakil presiden dari pak Wiranto, menurutnya, ada kebutuhan yang sangat mendasar sekali bagi bangsa Indonesia, untuk menegaskan jatidirinya sebagai masyarakat muslim mayoritas di dunia. Inilah sesungguhnya, kenapa saya bersiap sedia berkompetisi dalam pilpres 2004 ketika itu, setidaknya, menurut beliau, dengan berkompetisi di pilpres tersebut, ia telah ikut memprakarsai upaya mewujudkan impian itu, kita berharap, ada generasi islam yang mampu meneruskan perjuangan islam melalui langkah-langkah strategis, untuk dijadikan kekuatan dalam merealisasikan harapan besar para pendiri bangsa Indonesia, dan ini butuh perjuangan dan pengorbanan secara materi dan dalam banyak hal lain, termasuk siap menerima resiko kekalahan dalam percaturan politik kekuasaan nasional.
Sementara Prof. Dr. Imam Suprayogo, Rektor UIN Maulana Malik Ibarahim Malang, ketika saya temui, menyatakan begini; "Agama islam, bagi saya adalah ruh Indonesia, keragaman budaya dan lain sebagainya, menjadi eksis dan terjaga dengan baik keberadaannya di Negara Indonesia, jika kita mampu menghadirkan islam dengan wajah yang mengayomi semua kalangan, rasa saling menghargai di antara kita, itulah yang sampai kini menjadi ciri budaya ketimuran, yang sesungguhnya tak lain adalah bagian dari ruh islam yang rahmatan lil alamin", itulah semestinya yang harus terus kita pupuk, kita perjuangkan dalam mewujudkan kebersamaan dalam bingkai keberagaman masyarakat Indonesia demi tercapainya cita-cita luhur bangsa Indonesia.
Ditanya soal paduan terma nasionalisme religius, ia menilai, hal itu tidak perlu serius untuk diperdebatkan, namun tetap harus dipertegas maknanya, sebab yang paling pokok, adalah substansi istilah tersebut, "substansi itu yang harus benar-benar dikawal ketat, sehingga tidak berbelok arah, kita sebagai generasi, mestinya harus memiliki persiapan matang dalam mengawal ide nasionalisme-religius ini". Adapun secara rinci, terkait proses memadukan nilai nasionalisme dengan nilai suci keagamaan, dapat ditanyakan kepada para tokoh agama, atau para kiai, mungkin seperti pernyataan Gus Shalah itu bisa dijadikan acuan awal bagi para kiai yang lain atau para santri, dalam mempercepat pemahaman masyarakat awam, tentang pentingnya nasionalisme-religius, harap beliau.
Menegaskan Posisi Santri Garuda
Untuk menguatkan ide, di lain kesempatan, saya sempat menyisipkan wacana yang sama kepada KH. Mas Subadar dalam sebuah wawancara singkat di syugah al Atthas, kawasan Aidid (2009). Bagi saya kiai Subadar sangat penting sekali dalam menegaskan ide santri garuda, sebab selain sebagai seorang pengasuh pesantren Raudlatul Ulum Besuk Kejayan Pasurun, kiai alumnus Lirboyo ini sempat menjadi ikon penting dalam pergerakan politik santri di kancah nasional, pada awal-awal reformasi Indonesia.
Seperti apakah pandangannya tentang Indonesia kekinian, inilah pokok pikirnya yang telah beliau sampaikan kepada saya dalam bahasa Madura fasih, ketika ditanya seputar nasionalisme dan hal penting bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi gerakan-gerakan ideologis, kiai kharismatik yang tergabung dalam majelis muwashalah bainal muslimin pimpinan habib Shalih al Jufri Solo itu menjawab begini; "Yang paling penting bagi kalian, sebagai generasi muda bangsa, adalah memperdalam faham ahlussunnah wal jama`ah, ala thariqah salafunasshalih; jangan terpengaruh dengan gelamour dunia dan kajian-kajian pemikir orientalis, yang sesungguhnya hanya akan menggiring kita pada keraguan terhadap kebenaran syari`at islam, itu dapat melemahkan iman", sambung beliau, sambil mengiyakan nasehatnya, saya bertanya lagi; Apakah dengan faham aswaja itu, nasionalisme bangsaIndonesia cukup terjamin kiyai? "Insya Allah terjamin, karena nasionalis sejati di Indonesia itu, ya ajaran keagamaan seperti yang di anut NU ini, para kiai, santri dan warga nahdiyyin, sejak dahulu memang sudah mengajarkan pentingnya sikap cinta tanah air".
Ada ungkapan yang sudah sangat merakyat di kalangan masyarakat pesantren, “hubbul wathan, minal iman”, cinta tanah air adalah bagian dari iman, bagaimana menurut kiai? "Artinya bahwa ungkapan itu, sebagai pertanda atau bukti nyata kuatnya nasionalisme kita, jadi pancasila itu bagi NU sudah final, selama kita ummat islam diberi hak untuk menerjemahkannya sebagaimana pemahaman keagamaan yang kita pahami selama ini. Kita menginginkan substansi di balik setiap sila-sila pancasila itu, sehingga lima sila itu, tidak keluar dari aturan-aturan agama islam secara umum. Jadi maksud dari Ketuhanan yang maha esa, adalah Allah subhanahu wa ta’ala, bagi kita, itu sudah jelas, dan begitu sila seterusnya".
Prof. Dr. Alwi Shihab, mantan mentri luar negeri era Gus Dur, nasionalis berdarah Arab yang pernah diutus khusus oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai diplomat untuk wilayah Timur Tengah, dalam kesempatan berkunjung ke Tarim, berkenan menjadi nara sumber pada acara seminar yang di helat di aula Darul Musthafa (2010), Saya dipercaya menjadi moderator diskusi yang bertema "Shilaturrahim santri Hadhramaut bersama Dr. Alwi Shihab" itu, dalam sesi tanya-jawab, seorang peserta bertanya begini: Menurut pak Alwi, apa langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam menjaga jiwa nasionalisme bangsanya, dikala sedang gencar aliran ideologi transnasional, liberalisme dan anti demokrasi?, Jawabnya singkat, "pemerintah sudah melakukan banyak hal dan tahapan penting, dalam rangka upaya penegasan sikap nasionalisme itu", satu contoh yang ketika itu beliau kemukakan, adalah usaha keras pemerintah untuk mempertahankan nilai-nilai dasar yang ada dalam pancasila, dengan mengkampanyekannya melalui banyak forum, baik formal maupun non formal.
Jika kita kaji secara seksama,"sesungguhnya nilai dasar Negara kita itu sudah sangat islami, dasar Negara kita sangat memiliki ruh islam", beliau merunut satu persatu sila-sila pancasila, sambil sesekali menyitir ayat al quran dan al hadits sebagai penegas kesejatian pancasila dan beberapa pasal penting dalam batang tubuh undang-undang dasar. Menurutnya, "para santri dan pelajar di Yaman ini, tentu sudah sangat faham sekali dengan apa yang saya maksudkan, karena kalian semua sudah bisa membaca langsung pendapat mufassir tentang ayat-ayat al qur`an secara universal, tentang pondasi keagamaan yang terdapat dalam pancasila itu".
Closing Ide
Untuk merecek sekian pendapat sebagaimana yang telah saya kemukakan, di penghujung tahun 2011, saya menemui bapak Dr. Agus Maftuh Abegebriel MA, yang secara spesial datang ke Tarim Yaman, untuk menjadi keynote speaker dalam seminar bertema pokok "menegaskan nasionalisme pelajar Indonesia di luar negeri", yang di fasilitasi KBRI dan PPI Yaman, pada waktu itu, beliau mengetengahkan judul tunggal dalam makalahnya “Jihad, G-WOT dan Humanisme”, gelar seminar yang dilakukan dalam rangka menangkal faham radikalisme dan membangun kekuatan nasionalisme itu, dituturkan dalam kemas bahasa yang cukup menarik, tak jarang pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari audiens, menunjukkan arti keseriusan substansi pembahasan yang sedang beliau sampaikan.
Dan demi kesempurnaan gagas wacana yang telah berulang kali saya tanyakan kepada para tokoh yang berkunjung ke Tarim, saya meluangkan waktu menemui beliau secara khusus di syugah Mauladawilah Aidid tempat beliau menginap, setelah beliau sepakat untuk membincang soal nasionalisme religius, kemudian digelarlah diskusi semalam suntuk di syugah no 14, sebuah diskusi yang benar-benar ingin saya jadikan sebagai sebuah clousing ide dari sekian spektrum wacana yang masih tampak bias. Pilihan saya, menumpukan keganjilan ide nasionalisme religius itu kepada beliau, tentu dengan kalkulasi kuat, di antaranya; posisi beliau sebagai seorang pemerhati dan peneliti langsung, pengamat politik internasional dan ideologi transnasional, ia juga tercatat sebagai member ofconcultation forum for peace in Afghanistan, dan sekian jabatan penting lainnya, yang mendukung kemantapan dalam hati saya.
Lebih dari itu, ia seorang akademisi yang syarat prestasi, kapasitas ilmu pengetahuan umumnya cukup mempuni, bahkan sebagai alumnus pesantren, ia sangat kental dengan kajian keagamaan ala santri, menjadi staff dosen syari’ah di UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, memiliki relasi multi keilmuan berbasis fikrah nahdliyah, dan memiliki hubungan emosional dengan banyak tokoh puncak di kalangan masyarakat nahdhiyin, seperti mantan presiden RI, Gus Dur, Gus Mus Rembang, KH. Maimun Zubair Sarang, KH. Idris Marzuqi Lirboyo Kediri, dan tokoh lain di pentas nasional, semisal KH. Sahal Mahfudz Kajen Pati, KH. Said Aqil Siraj Cirebon, ketua umum PBNU, Malik Madani Madura, dan lain sebagainya, menurut penuturannya, mereka itu, adalah guru sekaligus sahabat karibnya. Sebagai gambaran keseriusan hubungan itu, dapat di perhatikan dari keterlibatan beliau secara aktif dalam berbagai program internasional yang disponsori PBNU, sebut misalnya, multaqa shufi dunia, ICIS, dan bahkan secara personal, ia termasuk bagian dari sekian orang yang ikut berperan dalam proses administrasi penganugerahan gelar doctor honoris causa KH. Musthafa Bishri, di UIN Yogyakarta, atas perannya dalam membangun peradaban bangsa di Indonesia.
Backround "unik" itulah yang meyakinkan saya untuk memilihnya sebagai representasi santri garuda demi kesempurnaan recek data yang telah ada, hingga akhirnya, saya tertarik menjadikan beliau sebagai penuntas wacana dan penegas kesimpulan gagas ide seputar nasionalisme religius yang masih debatable. Endingnya, dari gambaran umum tentang keberadaan Indonesia dan berbagai trans ideologi yang kini hadir mewarnai Indonesia, dengan serius, saya bertanya banyak hal, secara satu-persatu kepada beliau, dan satu poin penting dari sekian pertanyaan saya, berbunyi seperti ini; Sebagai santri, akademisi, pemerhati trans ideologi internasional dan pengamat sosial keagamaan, Apakah bapak setuju dengan ide wacana nasionalisme religius?
Sejenak beliau menghela nafas, dan berkata begini; "Seingat saya, belum pernah ada wartawan atau mahasiswa saya yang bertanya sesulit pertanyaan ini, kecuali di Yaman ini saja", candanya, sejurus kemudian ia menjelaskan kalimat panjang berikut ini; "Nasionalisme religius itu, ialah, apa yang sementara ini telah kita lakukan, artinya hal- ihwal yang sudah mendarah daging di Negara kita Indonesia, sebagai masyarakat muslim yang mayoritas, Indonesia dengan sendirinya terbentuk secara alamiyah ke arah itu, jadi menggagas wacana harmonisasi nasionalisme religius, adalah bentuk penegasan dan upaya pemerataan informasi saja kepada khalayak ramai, karena sejatinya, apa yang sedang kita lakukan sekarang ini, sudah sesuai dengan prinsip-prinsip dasar keindonesiaan kita, yang kental dengan nilai religius itu, tentunya sudah sangat tepat dan ideal sekali".
Adapun upaya untuk mewujudkannya secara lebih tegas lagi, kita butuh waktu dan perlu memahamkan hal ini kepada masyarakat awam secara baik, sehingga tidak ada salahtafsir di tengah masyarakat, dan perlu diperhatikan, "Bahwa hal itu bukan semata komoditas politik sesaat, demi mendapat simpati dalam rangka percaturan politik kekuasaan tertentu, tetapi harus benar-benar demi kemashlahatan bangsa dan Negara yang berdasar pada sendi-sendi agama yang kuat". Kalau saudara bertanya apakah saya setuju,"Ya, kita setuju-setuju saja". Tentang bagaimanakah mengupayakan ide nasionalisme religius menjadi sebuah kenyataan, "Hal itu, mungkin saja terjadi seiring waktu, dan itu sah-sah saja, karena menurut saya, nasionalisme, memang membutuhkan frame untuk meneguhkan kesejatiannya, sehingga tidak keluar dari jalur yang telah kita harapkan sebagaimana semestinya".
Lantas saya mencoba mengingat-ngingat kembali, memori pertanyaan-pertanyaan penting seputar tema nasionalisme, yang telah lama terpendam, sekian tahun lalu, sejak saya mewawancara para tokoh agama, politisi dan pengamat sosial yang sempat berkunjung ke kota Tarim, saya sengaja mengajukan pertanyaan cukup krusial, dan langsung menyandarkan pada tokoh-tokoh nasional yang menyatakannya, hasilnya, bahwa secara pribadi, beliau sama sekali tidak menolak ide nasionalisme religius ini diwacanakan, bahkan dengan tegas, ia mengiakan jawaban-jawaban yang telah dikemukakan para santri-santri garuda tersebut dengan sangat mantap sekali.
`Ala kulli hal, menggagas ide nasionalisme religius, adalah hal yang perlu terus diperjuangkan, sebagai pengimbang wacana pluralisme positif yang diusung atasnama pluralitas keberagamaan yang seakan tampak sama dari sisi kajian termanya, tetapi ada perbedaan cukup mendasar dalam aplikasinya; Pluralisme positif, seakan lebih mengarah pada upaya mewujudkan setiap nilai-nilai universal yang bersifat positif dari semua trans paham keagamaan, tanpa mempertimbangkan kekuatan nilai lokal dan paham mayoritas yang dianut masyarakat kebanyakan. Sementara gagas ide santri garuda tentang nasionalisme religius, dimaksudkan untuk mengarahkan sikap masyarakat pada upaya mengakomodir dua kekuatan penting yang hadir secara bersamaan dalam kehidupan nyata di masyarakat setempat, sekaligus membumikan rasa cinta terhadap bangsa dan tanah airnya, paduan kekuatan inilah yang perlu dibangun di atas kekuatan nilai-nilai religiusitas masyarakat muslim Indonesia, bukan nasionalisme religius yang ambigu makna dan tak jelas arah praktiknya.
Allahu akbar, kumandang adzan Shubuh bergema, bincang khusus semalam suntuk yang sangat mengesankan hati itu telah menemukan titik kulminasinya. Saya, Rabi Ulfi Zaini, sekretaris PPI Yaman 2011-2012, dan disaksikan Birrul Alim, selaku ketua umum, tak lupa mengucapkan banyak terimakasih atas kesediaan alumnus santri Futuhiyyah Mranggen Semarang Jawa Tengah yang juga mantan ketua lembaga bahtsul masa’il pengurus cabang Nahdlatul Ulama daerah istimewa Yogyakarta itu, dalam menyumbangkan banyak pengalaman dan pengetahuannya demi menyempurnakan informasi seputar gagas ide santri garuda yang telah sekian tahun membeku dalam otak saya.
Penutup dan Kesimpulan
Sungguh apapun cita-cita kita selaku generasi bangsa tentang nasionalisme ini, tentu tidak bisa dilepas begitu saja dari frem agama sebagai kekuatan transendental yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Akhirnya, Saya dapat menyimpulkan; bahwa nasionalisme bangsa Indonesia memang harus bersanding religiusitas, bukan karena muslim Indonesia sedang berada pada posisi mayoritas, tetapi lebih dari itu, karena agamalah sebenarnya yang akan menjamin kesungguhan setiap bangsa, dalam menjaga wilayahnya dari setiap rongrongan kekuatan politik pragmatisme yang tak bertanggungjawab. Kekuatan imanlah sejatinya yang akan mampu mempertaruhkan jiwa raga, demi keutuhan bangsa, bukan sekedar istilah nasionalisme yang hampa arti dan tak bersanding kekuatan iman sejati. Semoga; Wallahu a`lam bisshawab!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H