Reorientasi Lafadz "Masbah" Dari al Mutabahhir ke al Mutamasbih Studi Intelektual-Filosofis*
Pengantar ke-Masbah-an
Kata masbah, berasal dari bahasa Arab, yang dalam terjemah bahasa Indonesia, diartikan kolam renang. Ya, kolam renang inilah yang sekarang sedang saya kemukakan sebagai pembuka ruang wacana intelektual; Kenapa saya katakan seperti itu?, bukankah kolam renang tidak ada kaitannya dengan dunia kajian kemahasiswaan? Lalu, apa yang hendak dikaji dari tema "Masbah", atau kolam renang tersebut?
Hmm…, Dalam dunia intelektualita islam, semua sisi kehidupan memiliki potensi untuk diartikulasikan dalam bentuk kajian wacana spektakuler, termasuk pula tentang kolam renang. Sepintas, kajian ini seperti hampa nilai, dan terkesan tidak memiliki arti mulia -untuk tidak mengatakan mengada-ngada-, apalagi jika disebut-sebut sebagai wacana intelektual; dan mungkin saja, sebagian pembaca menganggap remeh-temeh kajian ke-masbah-an ini. Padahal, dalam tataran wacana intelektual, lafadz masbah memiliki arti istimewa. Bagi saya, kurang tepat kiranya, bila lafadz masbah tersebut hanya diasumsikan sebagai sebuah lafadz yang sekadar berarti tempat kum-kum, nyebur, nyemplung, berenang bareng dengan berbagai macam gaya, dan selebihnya, masbah hanya diartikan sebagai lapangan bermain polo air, atau tempat jegur-jegur saja, dan tak lebih dari semua itu. Nah, untuk meluruskan pemahaman tersebut, saya perlu menghadirkan seorang `alim `allamah bermadzhab Hanafiyah, Abu Bakar al Razy ( W. 666 H.), untuk menjelaskan keistimewaan arti lafadz yang berasal dari suku kata sa-ba-ha itu, dalam kitabnya Mukhtar al Shihhah, beliau menyebutkan, bahwa kata sa-ba-ha, dapat diartikan dengan berbagai macam versi, sebagaimana berikut:
[ سبح ] س ب ح : السِّبَاحَةُ بالكسر العوم / وقد سَبَحَ يسبح بالفتح فيهما و السَّبْحُ الفراغ / والسَّبْحُ أيضا التصرف في المعاش/ وهو الفراغ والمجيء والذهاب / والسُّبْحَةُ خرزات يسبح بها /
وهي أيضا التطوع من الذكر والصلاة تقول منه قضيت سبحتي (مختار الصحاح / باب السين ,ج,1 / 326)
`Ala kulli hal, setelah syakal huruf (sin, ba` dan ha`) diotak-atik, maka sabaha menjadi multi arti, ia dapat berarti do`a, selesai, mengatur kehidupan, pulang-pergi, alias mondar-mandir atau bolak-balik, biji tasbih, shalat sunnah, dan di antara maknanya pula, ialah berenang. Berenang itulah kiranya makna pertama dari suku kata sabaha yang dalam bahasa Arab disebut al `Aum tersebut, seperti dalam al Shihhah:
[ عوم ] ع و م : العَوْمُ السِباحة (مختار الصحاح / باب العين ,ج,1 / 427)
`al `Aum adalah al Sibahah yang berarti mengambang atau mengapung (berenang). Dari sekian banyak arti itu, saya tertarik untuk mengaji dan mengetahui lebih banyak lagi tentang hikmah apa yang dapat kita jadikan pelajaran bersama di balik makna renang. Setidaknya hal itu dapat dijadikan suplement ekstra dalam wacana intelektual otak kita, setelah baru-baru ini, masyarakat Indonesia di kota Tarim sempat disibukkan dengan aktivitas-aktivitas bertema sentral masbahmania.
Bagi kita, sebagai bangsa Indonesia, berenang merupakan pelajaran alam yang amat berharga, sejak dahulu kita bangga dikenal sebagai pelaut unggul dan super tagguh, Indonesialah yang oleh dunia dikenal sebagai negara berpotensi wisata alam berbasis bahari; Ada danau Toba yang indah sekali di Sumatera, di Bali ada pulau dewata nan cantik jelita, ada pantai Lombang di Madura, berpagar cemara, ada sungai Brantas asri di Kediri, sepanjang ratusan meter, bengawan Solo yang melintasi dua provensi dan bentang laut yang amat luas sekali, dengan semiliyar juta warna fauna yang menakjubkan, maka tepat kiranya, bila Nusantara kita disebut negara maritim yang memiliki keindahan karang dan aneka macam warna ikan serta keunikan khas bahari, yang lain dari yang lain. Ya, begitulah Indonesia kita tercinta.
Jadi tidak musykilah sesungguhnya, jika saya mewacanakan lafadz masbah sebagai materi kajian intelektual berbasis akademi, sebab hal itu merupakan bagian penting yang harus diketahui setiap bangsa Indonesia, walaupun sekarang kita sedang berada di negara padang sahara, terlebih di daerah yang jauh dari desir semilir angin pantai, tetapi kita tetap harus mengerti keistimewaan alam kita, termasuk pula dengan berupaya mengaji makna filosofis yang ada di balik dunia bahari tersebut, dengan menjadikan air sebagai faktor utama dan sumber pokok dalam pembahasannya. Maka, mengangkat wacana kolam renang, sama halnya dengan mengajukan tema " air, simbol dan sumber pokok kehidupan", sebagaimana firman Allah dalam surat al Anbiya` ayat 30, "waja`alna minal ma`i kulla syay`in hayy, afala yu`minun". Airlah yang menjadikan semua kehidupan manusia lebih berarti, dan air pulalah tentunya, yang menjadikan kita dapat berenang senang di kolam renang. Tanpa air, kolam renang tak ubanya seperti blumbang kosong yang tak jauh beda dengan jurang sampah.
Reorientasi lafadz Masbah
Kajian dunia bahari atau maritim di tempat yang jauh dari laut dan sungai, seperti kota Tarim ini, menantang saya untuk berfikir lepas ide, demi mencari terma padanan yang orientasi pokok kajiannya sevisi dengan substansi dunia maritim. Untuk alasan itulah, kemudian saya memilih kata "masbah" sebagai bahasa khas setempat, untuk dijadikan pengganti istilah kemaritiman, harapan saya, dengan mengemukakan istilah setempat tersebut, pembaca dapat lebih cepat memahami tujuan-tujuan penting di balik publikasi wacana beristilah "baru" ini. Sesungguhnya, istilah masbah sudah cukup familier dikalangan kita (masyarakat Indonesia di kota Tarim), walaupun kepopulerannya tidak dalam garis konsep yang sedang saya wacanakan, sebab istilah ke-masbah-an ini, tidak termasuk dalam ikon materi kuliah di fakultas syari`ah universitas al Ahgaff secara spesifik.
Masbah yang merupakan derivisi kata sabaha, bagi saya tidak harus berhenti pada pemahaman parsial singkat, yang dengan serta-merta hanya diartikan sebagai tempat berenang saja. Lafadz masbah, perlu direorientasikan secara intelektual-filosofis dengan merujuk dalil dan argumentasi ilmiah yang rasional. Sebagai komunitas intelektual, Mahasiswa layak mewacanakan istilah ke-masbaha-an ini kepermukaan khalayak ramai, sebagai proses awal penajam pola pikir, penguat ide serta penyeimbang opini miring yang diissukan sebagaian pihak yang kurang responsif terhadap kegiatan-kegiatan bertema masbahi-ansich. Menurut mereka, masbahmania lebih berorientasi pada acara non intelektual, yang lepas konteks dari jalur dunia kemahasiswaan dan lingkar materi khas kampus. Pertanyaannya, adakah relasi tema ke-masbah-an dengan dunia kajian keislaman? Apa hikmah yang dapat kita kaji, di balik kunjungan bolak-balik ke masbah? Kenapa saya mewacanakan lafadz masbah sebagai tema kajian keislaman? Dan, apa relevansi kajian ke-masbah-an ini dengan dunia intelektual kemahasiswaan?. Untuk menjawab sekian pertayaan itu, Mari kita bersama-sama mengaji lafadz masbah terlebih dahulu, sebagai pengaya wacana serta sedikit "oleh-oleh intelektual" kita, setelah seringkali mengadakan aktivitas intra dan ekstra kampus yang bertempat di Masbah.
Wal Hashil, Kolam renang, sementara ini lebih dipahami sebagai tempat merefresh diri, menghilangkan sumpek, stress dan jenuh dari rutinitas kuliah; singkatnya, masbah adalah media alih aktivitas akademik ke non akademik. Itulah pemahaman umum kita tentang masbah. Tapi, benarkah secupit dan sesempit itu orientasi pemahaman ke-masbah-an kita?, Wallah, tidak!; dan sebagai buktinya, berikut saya uraikan argumentasi penting yang validitas datanya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dengan merujuk al Qur`an, al Hadits, kalam hikmah ulama salaf, pribahasa, dan hukum alam tentang air, semua uaraian itu, dimaksudkan sebagai sumber penguat wacana dalam proses penajaman pola pikir kita, ketika memandang ragam macam aktivitas alam dari berbagai sudut pandang kehidupan. Dengan upaya memahami lafadz masbah secara holistik, kita dapat membuktikan diri dan membalik tuduhan sepihak sebagian kalangan mahasiswa yang anti renang atau tidak pro aktif untuk hadir langsung pada acara tertentu yang digelar di masbah. Inilah "oleh-oleh intelektual" yang saya maksudkan, yaitu mutiara 'ibrah yang bersandar ketajaman intelektual, demi menyongsong masa depan yang berkualitas, dengan menjadikan filosofi kolam renang sebagai media utama sumber inspirasi mulia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Mutiara Kalam Tentang Kolam.
Dalam al Qur`an, Allah subhabahu wa ta`ala berfirman: "Qul lau kanal bahru midadan likalimati rabbi lanafidzal bahru qabla an tanfadza kalimatu rabbi walau ji`na bi mitslihi madada". Kata kunci dalam ayat ini terletak pada lafadz "Bahru Midada", yang artinya air laut sebagai tinta. Secara gambalang, ayat ini mengambarkan kemaha agungan Allah subhanahu wa ta`ala dalam segala penciptaan-Nya, sebab itu pulalah, lalu al Qur`an mengandaikan dalam bahasa indah yang terangkum dalam pengertian umum ayat ini. Bahwa jikapun air laut dijadikan tinta untuk menulis kemaha agungan ciptaan-Nya, niscaya sampai habis sekalipun, kita tak akan pernah selesai mengungkap rahasia kemaha agungan-Nya, bahkan dengan tegas ayat ini menyebut kata, "walau ji`na bi mitslihi madada", bahkan andaikata ditambah lagi dengan jumlah air laut yang sepadan, tidak akan bisa pula. Demikianlah puncak ketegasan itu disiratkan Allah dalam surat al Kahf ayat 109.
Dari ayat singkat ini, kita dapat mengambil `ibrah, bahwa kemaha agungan Allah dalam segalanya, tak dapat kita ketahui dalam waktu sesingkat mungkin. Untuk itu, demi mengungkap rahasia Allah, kita butuh banyak ilmu pengetahuan, namun demikian, sebanyak-banyaknya ilmu yang kita ketahui, pasti tak akan pernah sempurna menyibak rahasia ilmu Allah. Jangankan bermodal tinta sejumlah air dalam kolam renang, yang hanya berukuran tidak lebih dari puluhan meter persegi saja, bahkan dua kali lipat jumlah air bah lautan yang ada di atas muka bumi sekalipun, kita tak akan pernah sempurna mengungkap keluasan ilmu-Nya. Dialah dzat yang menyatakan, tidak Aku (Allah) berikan kepada kalian semua, sebagian dari ilmu, kecuali sedikit saja. "Wa ma utitum minal `ilmi, illa qalila". Dan demi kepentingan menguatkan argumentasi seputar ketidakmampuan akal kita, dalam menyingkap tabir keluasan ilmu sang maha kuasa, Allah subhanahu wa ta`ala, Muhammad Sa`id al Bushairi (W. 696 H.) dalam Burdah al Madihnya menulis sya`ir indah berikut ini"Wa kulluhum min rasulillahi multamisun, Gharfan minal bahri au rasyfan minaddiyami. Wawaqifuna ladayhi `inda haddihimi, Min nuqthatil `ilmi au min syaklatil hikami, Fahuwalladzi tamma ma`nahu wa shuratuhu, Tsummashthafahu habiban bariunnasami", Mereka (kita), menimba sedikit ilmu dari baginda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, bagaikan segayung air dari setumpah air laut yang melimpah, atau setetes dari air yang mengalir deras. (sementara) Ilmu mereka, jika dibanding keluasan ilmu Rasulillah, seperti setitik ilmu atau secuil hikmah (dari kemaha luasan ilmu-Nya). (padahal) Dia (Muhammad) adalah manusia sempurna dzahir-batin, yang dipilih Allah sebagai kekasih dari sekian banyak hamba-Nya.
Hmm…. Lantas seberapakah ilmu yang kita ketahui dari sekian persen prosentase ilmu para nabi, shahabat, tabi`in dan alim ulama`?!, Masihkah kita berhati angkuh, selalu bersikukuh dan terus bersifat sombong kepada-Nya dan kepada sesama, hanya dengan sekedar predikat "mumtaz secuil" dalam beberapa materi keilmuan?; Padahal, masih banyak sekali ilmu pengetahuan lain yang masih belum kita ketahui; Ataukah kita masih terus psimistis, hanya karena terantuk kegagalan "rasib kecil" dalam perjalanan panjang kehidupan yang berliku-liku dikemudian?; Padahal, kemisteriusan takdir Allah, tak dapat ditebak dengan metode teori hitam-putih belaka. Tidak cukupkah bagi kita, `ibrah riak-riak kecil dan gelombang air di kolam, yang hampir setiap orang yang menyaksikannya sepakat mengatakan, bahwa itu sebagai tolak ukur kedangkalannya?!. Bukankah kita semua tahu, makna pribahasa bijaksana berbahasa Indonesia"air beriak tanda tak dalam"?. Ya, merenunglah sejenak!, sertakan semangat dalam hati, ayo terus belajar menjadi baik di manapun kita berkumpul, entah itu di masbah, mathbakh, sutuh sakan atau di tempat lain. Mari kita kaji bersama arti kalam syair ulama salaf ini," wakun mustafidan kulla yaumin ziyadatan, minal ilmi wasbah fi buhuril fawaidi". Ubahlah orientasi ke-masbah-an kita, dari sekedar berkumpul-kumpul biasa, makan-makan bareng, cebur-cebur dan rame-rame wae, menuju orientasi masbahmania yang berwawasan intelektual. Settinglah masbah yang asyik-mengasyikkan dan sejuk-menyejukkan itu, menjadi media pemersatu, guru alam yang senantiasa menggugah semangat belajar, menginspirasi jiwa, dalam membuka gerbang cakrawala ilmu, melalui kajian-kajian keislaman dalam berbagai sudut pandang kehidupan.
Dari al Mutabahhir ke al Mutamasbih
Sekaranglah saatnya kita mengaktualisasikan arti kata "berakit-rakit ke hulu", dan "berenang-renang ketepian", sehingga pada waktunya, walaupun kita pernah merasakan, betapa sulitnya belajar berenang dengan harus"bersakit-sakit dahulu", tapi insya Allah, kelak kita dapat "bersenang-senang kemudian". Niatkan belajar berenang demi mengikuti jejak sunnah Rasulullah, walaupun hanya sekali dalam seumur hidup. Sebab boleh jadi, pintu "futuh ilmu dan hidayah" perubahan besar, bermula dari tempat yang tak disangka-sangka, atau dari kajian wacana yang sekilas terkesan wajar-wajar saja. Bukankah batu besar yang keras, akhirnya dapat berlubang pula, hanya dengan tetesan-tetesan air yang tak deras. Maka memulai sukses, tidak harus selalu menunggu masuk waktu kuliah saja, kesuksesan demi kesuksesan dapat kita raih dibanyak tempat dan kesempatan.
Benar, kesuksesan memang tak dapat diraih dengan tanpa usaha maksimal, ia harus ditaklukkan dengan jerih payah total, karena, ia adalah pilihan hidup yang hanya berbatas ruang dan waktu, seperti halnya kita tak bisa mengingkari hukum alam tentang keberadaan air, yang hanya bisa mengalir alamiyah dari dataran tinggi menuju dataran rendah, walaupun sesekali dengan kekuatan daya upaya kemanusiaannya, air terkadang dipaksa-paksa menuruti kehendak nafsunya untuk menyalahi aturan hukum fitri, dengan menghadirkan alat-alat bertekhnologi canggih bawaan zaman, seperti water pump dan lain sebagainya. Tetapi siklus air secara alamiah, sebagaimana desain Allah, selamanya tak akan dapat berubah dan dilawan hanya dengan sistem alat dan kejeniusan pola pikir akal manusia. Ilmu hanya dapat diraih dengan sempurna, bagi mereka yang rela merendahkan hati dan tak menyombongkan diri. Hanya Allah subhanahu wa ta`ala semata, dzat yang berhak sombong, Dialah al Mutakabbir itu, Dia pulalah yang berhak diseru; Allahu Akbar!.
Berdasar konsep masbah, yang menjadikan air sebagai titik sentral pembahasannya, maka para ulama salaf sejak dahulu menyematkan gelar khusus bagi seseorang yang memiliki kemampuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan dengan sebutan al Mutabahhir, orang yang berpengetahuan luas, seluas air laut. Konsep seperti itu kiranya sudah sangat jarang kita jumpai pada generasi kita sekarang, namun setidaknya, spirit gelar al Mutabahhir fil al Ilm itu masih tetap kita harapkan keberadaannya, dengan memunculkan kembali tumbuhnya semangat belajar dalam bermacam fan ilmu yang respon zaman, semangat itulah yang ingin saya wacanakan dalam bentuk bahasa gelar kecil-kecilan, mewakili konsep reorientasi lafadz masbah, dalam perspektif intelektual-filosofis.
Bagi saya, sekalipun kita tidak cukup syarat untuk disebut al Mutabahhir fil al Ilm, namun bagi sebagian kita yang sudah cukup berpengalaman dan berpengetahuan dalam banyak bidang ilmu keagamaan dan lainnya, maka sudah selayaknya bagi mereka untuk disebut al Mutamasbih ( orang yang berilmu pengetahuan cukup, sebanyak jumlah air dalam kolam renang), dan bila di antara kita sudah ada yang merasa berada pada posisi tersebut, maka hendaknya, kita dituntut secara hukum moral maupun natural, untuk bersikap dan menjadi pribadi bersih, suci, jernih, tenang dan menentramkan, sebagaimana sifat-sifat air yang ada di dalam kolam renang yang sering kita saksikan bersama, kita harus mampu menegaskan jati diri kesucian air muthlaq itu, sehingga benar-benar mewujud menjadi air yang thahir muthahhir, minimal, tidak mutanajjis hanya dengan tercampur air kencing beberapa orang perenang yang sesekali usil, dengan berenang sambil berseni-seniria. Hukum natural air itu lah, yang oleh syaikh Burhanuddin al Zarnuji dalam Ta`lim al Muta`allim dijadikan sebagai kalam mitsal, untuk mengingatkan orang-orang yang menyombongkan diri terhadap ilmu yang diketahuinya, dengan menyebut "al ilmu harbun lil muta`ali", ilmu tak dapat berkompromi dan bersinergi dengan mereka yang anti tawadhu` dan selalu menyombongkan diri, sebagaimana air yang mengalir dari dataran tinggi menuju dataran yang lebih rendah, bukan sebaliknya.
Penutup
Mengalirlah terus ke hulu, seperti air sungai yang jernih selalu. Teruslah bergelombang seperti air pasang-surut di laut, atau beriak-riaklah sekedar, bagai riak air dalam kolam yang tak dalam, tapi waspada dan hati-hatilah, bila nanti air itu tumpah, ia terpaksa harus terpisah dari kolam penampungnya, ia tak akan lagi bermanfaat bagi mereka yang hendak berenang, ia hanya bisa meggenang. Ironis memang, jika kita rela menjadi seperti air yang tergenang saja, sebab kehadirannya, seakan tak berarti apa-apa,-wujuduhu ka adamihi-. Kini, kita sedang menunggu selang waktu, untuk memilih kanal baru, berubah menjadi air kotor berbau anyir dan menjijikkan, atau terus selalu mengalir deras menjadi air suci yang menyucikan.
Akhirnya, hela nafas dan renungi ayat suci al Qur`an surat al Rum ayat 41 ini, "Dlaharal fasadu fil barri wal bahri bima kasabat aidinnas, liyudziqahum ba`dlalladzi `amilu, la`allahum yarji`un". Selamat belajar berenang di kolam, sungai, danau, bengawan dan lautan wacana keilmuan. Berenanglah, berenanglah terus, tangkap ikannya dan jangan keruhkan airnya,"`allimu awladakum bissibahah…"(Faidlul Qadir, 4/432); aw kama qala shallallahu `alaihi wa `ala alihi wa shahbihi wa baraka wa sallam, wal hamdulillahi rabbil `alamin.
* Umamel Samfanie, Dewan Konsultan Assosiasi Mahasiswa Indonesia Al Ahgaff 2011-2012, Tarim Hadhramaut Yaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H