Perempuan, kadang menjadi boomerang baginya apabila harus memilih antara berkarir atau berkeluarga, apalagi kalau si "Perempuan" tadi hidup di antara masyarakat yang masih berpikiran sempit, masih menganggap bahwa perempuan itu tugasnya hanya sebagai ibu rumah tangga saja, yang harus siap blepotan pagi - pagi saat harus menyuapi anaknya, yang harus kucel habis beresin rumah lengkap dengan jasa laundry juga.
Andai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga adalah pilihan karir, mungkin sedikit sekali yang mau menerima tugas itu, buktinya tidak sedikit perempuan yang sudah menjadi Istri sekaligus Ibu menggunakan jasa pembantu dan pengasuh bayi untuk meringankan tugas mereka. Tapi masih ada juga beberapa orang yang lebih memilih mengerjakan semua tugas itu sendiri atau dengan bantuan keluarganya.
Usia 25 tahun menjadi ambang batas bagi perempuan desa untuk membina sebuah unit terkecil dari masyarakat yakni keluarga, mereka yang pada usia tersebut masih belum menikah, biasanya menjadi buah bibir masyarakat, orang tuanya harus siap mendengar gunjingan masyarakat tentang anaknya tersebut, tetapi bagi mereka yang masih menikmati karir mereka atau studi mereka akan menganggap itu sebagai angin lalu, tapi, bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan hanya membantu tugas orang tuanya di rumah, maka itu akan menjadi masalah yang segera harus di cari jalan keluarnya. Padahal belum tentu juga ketika sudah berkeluarga hidup mereka akan terjamin dan bahagia.
Ada banyak sekali cerita di balik pernikahan yang terkesan dipaksa dan tiba - tiba malah berakhir perceraian atau juga bermasalah. Seorang tetangga saya, sebut saja Siti, dia lulusan sebuah sekolah Madrasah Aliyah swasta di kampung saya, dia merupakan salah satu dari beberapa perempuan yang harus mau mengikuti kemauan orang tuanya untuk menikah karena takut menanggung malu sebab belum menikah pada usianya, malah harus meninggal karena ter infeksi virus mematikan yaitu HIV AIDS dari suami pertamanya yang lebih dulu meninggal karena penyakit yang sama, orang tua si perempuan ini tidak mencari informasi yang banyak tentang calon menantunya, bagi mereka anaknya ada yang melamar saja sudah menjadi sebuah kebanggaan besar. Sekarang, mereka harus mengikhlaskan kepergian anaknya.
Di lain pihak, beberapa perempuan yang terlalu terobsesi pada karir dan studi mereka, tidak akan pernah peduli pada usia mereka dan menikmati karir dan studi mereka tanpa beban. Mereka beranggapan bahwa berkeluarga hanya akan merepotkan mereka saja. Mereka harus bangun pagi - pagi untuk menyiapkan sarapan bagi keluarga, kemudian berangkat ke tempat kerja dan harus siap dengan serangkaian deadline, materi - materi yang harus dipelajari, dsb.
Kadang para wanita karir belum menikah meskipun usia mereka sudah menginjak 35 tahun, padahal pada usia tersebut terdapat beberapa masalah yang harus diperhatikan jika mempunyai keinginan untuk punya anak, seperti masalah kematangan perempuan di usia 30-an, khususnya untuk masalah kehamilan, lebih banyak terlihat dari kondisi psikologis dan mentalnya. Perempuan usia 30-an lebih siap menjadi seorang ibu. Namun ada pula beberapa tantangannya.
Kondisi fisik:
- Memasuki usia 35, kesehatan reproduksi menurun, kesempatan untuk hamil tinggal 15%. Karena jarak antarmasa ovulasi menjauh, atau masa ovulasi tidak teratur.
- Terkait dengan kondisi kesehatan menurun, maka kualitas sel telur pun menurun. Ini meningkatkan risiko keguguran, serta kelainan/cacat bawaan pada janin akibat kelainan kromosom.
- Merupakan masa transisi. Hamil boleh-boleh saja asal kondisi tubuh dan kesehatan, termasuk gizi dalam keadaan baik.
- Mulai muncul berbagai keluhan kesehatan saat hamil, seperti; tekanan darah tinggi dan diabetes yang sering memengaruhi proses persalinan. Faktor inilah yang menyebabkan persalinan di usia 30-an cenderung lebih sering dilakukan melalui operasi caesar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H