Jakarta kini tidak seperti dulu yang menawarkan kenyamanan, keamanan, kemudahan dan prospek pekerjaan yang lebih baik. Ia telah berubah menjadi kota yang penuh sesak,menakutkan dan serba tidak jelas. Sebagai ibu kota yang menjadi rujukan dari kota-kota yang ada di Indonesia, Jakarta perlu memberikan contoh dan menjaga kesan baiknya.
Wacana pemindahan ibu kota yang sempat dimunculkan oleh politisi hanya sekedar wacana tidak jelas muaranya. Sementara masalah yang tengah dihadapi Jakarta terus bertambah dan tak kunjung tuntas penanganannya. Mumpung belum terlambat ada baiknya wacana ini terus digulirkan dan jika perlu meniru kebijakan visioner Malaysia dan Australia yang telah lebih dulu memisahkan antara pusat pemerintahan dengan pusat bisnis dan pendidikan.
Dua negara tetangga ini yang jumlah penduduknya hanya 25 juta tentu sudah mempunyai gambaran yang jelas dan hitungan matematis akan dampak kerumitan di masa yang akan datang mengingat volume penduduk dan warga asing dari tahun ke tahun menunjukkan angka meningkat. Indonesia penduduknya mencapai angka kira-kira 250 juta belum mempunyai visi yang jelas terkait tata kota dan antisipasi ledakan penduduk. Padahal kini Jakarta, penghuninya sudah merasakan dampak yang luar biasa yang bisa dilihat dari banyak aspek kesehatan, lingkungan, keamanan, waktu, dan kenyaman.
Hitungan matematis luas daerah Jakarta tidak layak menampung orang yang berjumlah 13 juta pada siang hari dan 10 juta malam hari. Data ini tentu saja akan terus meningkat seiring pertambahan penduduk yang tak terkontrol dan era globalisasi yang memberikan kebebasan dan kemudahan setiap orang dari berbagai penjuru dunia untuk berpindah dan beraktivitas di Jakarta dengan ragam tujuan berbeda misalnya bisnis, kunjungan dan kerja.
Potret Jakarta dengan kemacetan, kotor dan banyaknya pengamen anak jalanan di lampu merah dan angkutan umum sudah menjadi bagian dari ciri khas kota ini. Sangat sulit membayangkan kota Jakarta menjadi kota percontohan dengan tata kota yang bersih, hijau, tranportasi yang baik dan teratur tanpa adanya visi dan kebijakan yang jelas dan tegas dari pemimpinnya.
Belajar dari Negeri Tetangga
Beberapa hari yang lalu penulis mendapatkan kesempatan bepergian ke negeri tetangga; Malaysia, Singapura dan Australia. Nampak suasana berbeda saat tiba di Bandaranya dimana proses imigrasi, alat trasportasi massal yang modern dan pelayanan publik di pusat informasi sangat efektif dan lancar. Orang-orangnya baik dan ramah ke setiap pendatang yang datang hendak bertanya. Jalanan nampak lancar dan jadwal keberangkatan bis dan kereta sesuai dengan jadwal yang tertera pada papan pengumuman.
Perbedaan ini sangat terasa mencolok dengan apa yang ada di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta yang serba tidak jelas dan antrian panjang saat proses imigrasi keberangkatan. Kalau negara tetangga; Malaysia, Singapura dan Australia bisa kenapa Indonesia tidak? Apa yang membuat Indonesia terkesan serba lambat dan cenderung membiarkan jalanan macet, proses birokrasi yang jelimet tidak ada aturan yang jelas dan pelayanan publik kurang efektif? Bisakah Jakarta ditata ulang seperti kota New York atau kota besar lain di dunia yang memberikan kenyamanan dan keamanan bagi penghuninya?
Pertanyaan ini tidak mudah dijawab hanya mereka yang punya visi dan keberanian saja yang bisa menjawab dan mengubah Jakarta menjadi kota yang sejajar dengan kota megapoilitan lain yang ada di negara maju.
Ketertinggalan Indonesia dari negeri tetangga terdekat dan serumpun, Malaysia, misalnya, dibidang ekonomi, infrastruktur, sistem transportasi, tata kota dan pelayanan publik haruslah kita sadari dan akui sebagai perbandingan untuk meningkatkan kwalitas diri kita sebagai bangsa Indonesia. Kita tidak perlu malu belajar dari negeri tetangga ini, kalau perlu adakan penelitian dan studi banding berjamaah khusus bagi abdi negara agar terinspirasi betapa tata kota, sistem transportasi dan pelayanan publik negeri tetangga jauh lebih baik dari Jakarta, Indonesia.
Kehidupan di Jakarta dari hari ke hari kian sulit dan terasa susahnya terutama untuk melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lain. Kemacetan di mana-mana dan sangat tidak efektif untuk beraktivitas, terlalu banyak waktu terbuang di tengah jalan. Bang Foke yang dulu dikenal ahlinya menangani Jakarta, kini dimasa pemerintahannya yang sudah masuk tahun ke-3 nampak belum memberikan perubahan signifikan. Bahkan suasana kemacetan semakin menggila lantaran volume kendaraan mobil dan motor semakin meningkat tiap bulannya berpacu menyaingi jumlah penduduk Jakarta.
Terjadi ketidakseimbangan antara luas jalan, perbaikan jalan dengan volume kendaraan yang berlalu lalang di Jakarta. Sudah jamak apabila setiap hari dengan mudah kita temukan kecelakaan lalu lintas di jalanan Jakarta lantaran tidak ada pembenahan jalan yang terlalu sempit dan bolong-bolong. Menurut AKBP Ipung Purnomo, Kasat Patwal Polda Metro Jaya, setiap harinya 3 nyawa melayang di jalan. Khususnya di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Jalan pintas (short cut) yang dulunya dijadikan andalan bagi mereka yang terburu-buru, kini tak jauh berbeda penuh padat dengan kendaraan. Perasaan susah menjadi orang Jakarta tidak hanya dirasakan warga Jakarta tetapi juga warga asing.
Johannes de Pous, kebangsaan Belanda menuturkan pengalamannya. Menurutnya, kota Bangkok transportasinya paling buruk di dunia tapi sekarang dia merasakan Jakarta justru lebih buruk. Pengakuan bule ini sungguh berasalan mengingat dia harus menempuh kurang lebih 3 jam dari Bandara Soekarno-Hatta ke Ciputat Tangerang. Perjalanan yang mencapekkan duduk di atas mobil bukan karena jarak tempuh yang jauh melainkan jalanan yang padat merayap oleh banyaknya mobil di jalanan. Sembari berkesan sinis, betapa sabarnya orang Jakarta yang setiap hari menghadapi kemacetan dan waktunya lebih banyak habis di jalanan.
Orang asing yang baru pertama kali ke Indonesia ini sudah merasakan kesan tidak nyaman tinggal di Jakarta. Bagaimana dengan orang Jakarta sendiri yang sudah puluhan tahun bahkan dari kecil sudah terbiasa dengan suasana macet dan kebuntuan hidup yang serba tidak pasti. Mungkin karena belas kasih Tuhan yang masih memberikan kesabaran bagi orang Jakarta sehingga tidak sampai melakukan aksi protes dan revolusi berdarah melihat kemacetan yang tiap hari kian meningkat.
Tingkat kemacetan yang sudah dalam taraf memprihatinkan di wilayah Jakarta menurut pakar lingkungan Fakultas Tehnik Universitas Indonesia Dr Firdaus Ali MSc, diperkirakan juga mengakibatkan kerugian yang diderita seluruh warga ibukota bisa mencapai hingga sekitar Rp 28, 1 triliun per tahun. Firdaus memaparkan, total kerugian tersebut dapat dibagi atas beberapa sektor, seperti kerugian akibat bahan bakar, kerugian waktu produktif warga, kerugian pemilik angkutan umum, dan kerugian kesehatan.
Wajar saja jika di Jakarta dan mungkin di daerah lain Indonesia mengenal istilah jam karet yang serba fleksibel karena sistem transportasi tidak mendukung orang untuk disiplin dan datang tepat waktu. Orang Jakarta sangat toleran bagi mereka yang datang terlambat misalnya ke tempat kerja, suatu pertemuan, sekolah dan sebagainya. Masih jauh untuk menyamai lebih-lebih menyaingi negeri tetangga; Malaysia, Singapura dan Australia yang sudah memiliki budaya disiplin tinggi dan perasaan malu jika datang terlambat.
Masa depan kota Jakarta yang masalahnya terus berjibun tidaklah mudah diselesaikan semudah memutarbalikkan tangan. Perlu adanya kesadaran kolektif dan pemikiran kreatif-revolusionir untuk menata ulang kota Jakarta. Momentum pemilihan gubernur tahun 2012 adalah waktu yang tepat untuk menjaring pemimpin yang visioner, berani dan gesit. Tantangan terbesar pemimpin Jakarta adalah rekonstruksi sistem transportasi massal yang modern dan efektif serta perbaikan pelayanan publik. Jakarta butuh pemimpin yang bukan pandai jual janji-janji abstrak melainkan mereka yang mempunyai visi, konsep dan aksi nyata untuk membenahi kota Jakarta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI