[caption id="attachment_123363" align="aligncenter" width="300" caption="We appear Mainichi Newspaper on 8th of June 2011"][/caption] Jepang baru saja mendapatkan musibah luar biasa. Gempa dengan kekuatan 8,9 terjadi di lepas pantai timur laut Jepang pada hari Jumat 11 Maret 2011. Gempa ini tidak hanya menggetarkan gedung-gedung perkantoran di Tokyo, namun juga menghasilkan tsunami maha dahsyat yang mampu menyapu mobil dan kapal di Jepang timur laut. US Geological Survey menyebutkan bahwa gempa yang terjadi pada pukul 14:46 waktu setempat tersebut merupakan salah satu gempa terbesar kelima di dunia sejak tahun 1900. Banyak orang asing meninggalkan Jepang mengingat gempa juga menghancurkan pusat reaktor nuklir Fukushima yang memunculkan radiasi berbahaya. Di kawasan Asia Timur, Jepang termasuk negara yang paling banyak menggunakan nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik. Terdapat 52 reaktor nuklir di Jepang, sementara Cina memiliki 13 dan Korea Selatan 14 reaktor nuklir. Menurut sebagian pengamat nuklir, jika ½ dari reaktor ini meledak, maka bisa dipastikan akan terjadi perubahan luar biasa di kawasan Asia yang bisa mengancam keselamatan seluruh penghuni dunia.
Melihat berita gempa, tsunami dan ancaman radiasi nuklir Jepang di TV, internet dan koran membuat saya sungguh merasa terpukul mengingat tiga bulan sebelum peristiwa Jepang ini terjadi, saya sudah memutuskan akan pergi ke Jepang untuk 9th school program yang salah satu misinya adalah menyebarkan semangat perubahan, nilai-nilai moral dan pemahaman budaya lintas dunia ke sekolah dan Universitas. Program yang dikelola oleh Initiatives of Change Jepang International Associateion (IC Jepang) ini akan berlangsung selama 2 bulan dari 10 Mei s.d 10 Juli 2011 berpusat di Tokyo, Odawara, Kitakyushu, Fukuoka, Hiroshima, Gifu dan Kyoto.
Banyak teman saya mempertanyakan keseriusan rencana pergi ke Jepang. Bahkan tak sedikit yang mendorong untuk cancel dengan berbagai alasan seperti bayang-bayang radiasi nuklir yang hingga detik ini belum tuntas penanganannya. Berbekal keinginan yang kuat dan bassmalah, saya memastikan untuk tetap pergi ke Jepang dengan segala resikonya. Bagi saya ini kesempatan terbaik dan waktu yang tepat untuk membantu Jepang di tengah kesulitan musibah besar yang sedang menerpanya. Memang, sejarah masa lalu Jepang termasuk negara yang paling sering dilanda gempa bumi. Istilah tsunami sendiri berasal dari bahasa Jepang artinya pelabuhan dan nami artinya gelombanglaut. Dari kisah inilah muncul istilah tsunami yaitu peristiwa gempa dan gelombang air besar secara tiba-tiba beberapa saat setelah gempa bumi terjadi di dasar laut.
Kendatipun hingga sekarang belum ditemukan alat yang bisa memprediksi kapan akan terjadi gempa, orang Jepang tidak putus asa bahkan mereka sudah melakukan antisipasi dengan membangun rumah dan gedung-gedung perkantoran dan hotel yang dirancang anti gempa. Di pinggir-pingir pantai yang dekat perumahan warga dibangun pagar beton untuk menangkal terjadinya tsunami. Tak heran, jika Jepang dikenal satu-satunya negara yang paling siap menghadapi bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami. Sebagai contoh, sungguh luar biasa saat terjadi gempa dahsyat bulan Maret lalu, beberapa bangunan pencakar langit di Tokyo tak ada satupun yang roboh. Berdasarkan pengamatan masyarakat yang ada di sekitar Tokyo, bagunan ini hanya ikut bergoyang mirip pohon bambu yang diterpa angin besar.
Saat terjadi gempa dahsat, perhatian dunia tertuju ke Jepang. Banyak negara kecil yang secara ekonomi masih belum mapan seperti Afganistan dan Timor Leste secara suka rela memberikan bantuan. Bahkan tahun ini Jepang tercatat sebagai penerima bantuan asing paling besar dibandingkan negara-negara lain di dunia. Ini justru berbalik dari citra sebelumnya, dimana Jepang dikenal sebagai negara donor nomor wahid yang paling besar memberikan bantuan ke negara-negara yang tertimpa musibah.
Rasa sepi dan paranoid warga asing yang hendak pergi ke Jepang sudah saya rasakan sejak proses pendaftaran visa. Tak banyak orang yang datang ke kedutaaan besar Jepang di Jakarta baik untuk daftar visa sekolah, kerja atau keperluan bisnis lainnya. Bahkan waktu saya berada di atas pesawat Japan Air Line dari Jakarta ke Tokyo, saya melihat hanya beberapa warga asing (bule) di dalam pesawat. Banyak kursi kosong dan tak jarang penumpang lain mengambil manfaat dari kursi ini sebagai tempat tidur. Sedikitnya penumpang dalam pesawat sudah bisa diprediksi, mungkin masih banyak yang takut dan hanya orang-orang tertentu saja plus punya nyali besar yang bisa datang ke Jepang di tengah kondisi yang serba sulit dan menakutkan.
Perjalanan Jakarta Jepang kurang lebih 6 Jam 15 menit dengan Japan Air Line. Saya tiba di Bandara Narita Jepang, pukul 07.25 pagi.Keluar dari pintu pesawat menuju imigrasi nampak tidak banyak pencahayaan, bahkan beberapa ruangan sebelah kanan dari pintu keluar dari pesawat gelap gulita. Benar juga informasi berita di Jakarta kalau Tokyo sedang berhemat listrik akibat bocarnya reaktor nuklir Fukushimayang memasok tenaga listrik.
Saat proses pengecekan visa dan passport di imigrasi Bandara Narita selesai, saya menuju Gate Exitmencari orang yang hendak menjemput saya. Kebetulan, mereka belum nampak di Bandara dan mungkin masih di perjalanan. Sembari menunggu, saya pergi ke toilet yang tak jauh dari tempat penjemputan sekedar untuk cuci muka dan buang air kecil.
Tidak disangka, ternyata ada orang yang membuntuti saya setelah keluar dari toilet. Penampilan orang ini sangat rapih, berpakaian formal dengan mengenakan jas, dasi, namun tetap ramah, mirip petugas agen Hotel atau Taksi Bandara yang sedang menawarkan pelayanan ke setiap penumpang yang baru tiba di Bandara Internasional. Orang ini berusaha menyapa saya dengan bahasa Jepang, Sumi mashen! Saya katakan, No Japanese please! Only English! Lalu dia bicara bahasa Inggris dan berkata, Welcome to Japan! Dalam hati saya, “baik benar orang ini”.Saya jelaskan; saya ini orang Indonesia dan baru pertama kali ke Jepang. Saat saya mengaku orang Indonesia, seketika dia mengubah percakapannya dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. “Selamat datang di Jepang”, kata dia.
Sebagai orang asing yang baru pertama kali menginjakkan kaki di negeri Sakura ini, saya merasa kaget dan bertanya-tanya kenapa orang ini mendekati saya dan perangainya sopan sekali. Apakah ini termasuk pelayanan dari Bandara Narita, Jepang yang tugasnya menyapa setiap orang yang baru datang? Atau ada hal yang salah dengan saya? Saya menduga mungkin ini polisi atau petugas Bandara. Ternyata benar dugaan saya tak lama beberapa menit dari percakapan, orang ini mengeluarkan tanda pengenal yang bertuliskan Police! Kontan saja saya kaget.
Polisi yang berpakain sipil di Bandara sudah menjadi hal yang biasa, biasanya mereka memeriksa secara acak setiap penumpang yang baru tiba di Bandara Internasional. Kendatipun saya sudah mengenal identitas orang ini, saya tidak mempunyai rasa takut sedikitipun. Saya menjawab semua pertanyaan dan menunjukkan passport ke dia dengan penuh percaya diri. Kesan saya pada polisi ini adalah ramah, sopan dan saya tersentuh saat mendengar nasehatnya untuk berhati-hati di Bandara dan jaga baik-baik barang bawaanya.
Pikirku, ini pengalaman berharga dan jarang orang mendapatkannya. Waktu saya ke Malaysia tahun 2006 dan ke Australia tahun 2009 saya juga pernah ditanya oleh polisi dengan perlakuan yang berbeda. Sebagai orang biasa yang ada di luar negeri dan berhadapan dengan polisi saya merasa takut dan berkeringat dingin saat ditanya mereka karena pakaian, pendekatan dan bahasa yang mereka gunakan sungguh menegangkan dan menakutkan.
Aktivitas minggu pertama
Hari pertama di Tokyo, saya mengamati lingkungan, sistem transportasi kereta, bentuk rumah, kamar mandi dan toilet yang super canggih. Toilet Jepang menggunakan alat detektor yang bisa buka tutup secara otomatis saat ada orang hendak menggunakannya, plus dilengkapi dengan alat pengatur air dan temperature, cukup dengan memencet tombol sesuai kebutuhan. Saya selalu terheran-heran melihat gaya hidup orang Jepang yang secara teknologi sangat maju tetapi masih kental dengan budaya ketimurannya yaitu sopan, bertegur sapa yang lembut dan tidak banyak bicara.
Satu minggu pertama, peserta tim 9th school program yang berasal dari Korea Selatan, Brazil, Tibet dan Indonesia tinggal di rumah IC Jepang, Funabashi-Tokyo. Jadwalnya tak terlalu padat dan sentai seperti team building, perkenalanan, pengenalan lingkungan, belajar bahasa Jepang dasar, latihan presentasi skit, belajar nyanyi, membuat teh, belanja, goreng telur dan merasakan masakan Jepang yang rasanya hmm enak banget. Saya pasti betah tinggal di Jepang yang lingkungannya bersih, hidup teratur, makanannya berkwalitas, dan orangya sopan-sopan lebih-lebih ceweknya yang agak pemalu dan murah senyum.
Saya juga belajar bagaimana beradaptasi dengan orang Jepang, misalnya membiasakan diri membungkuk saat bertegur sapa dan menggunakan bahasa Jepang saat berinteraksi seperti Arigatokhuzaimasu (Thanks), Sumimasen (Excused me), makan dengan chopstick dan belajar tentang hal-hal yang secara etika, budaya dan kepercayaan dianggap kurang sopan dan mamali.
Sesekali di Tokyo terjadi gempa kecil, mungkin proses adaptasi lempengan bumi di Samudra Pasifik pasca gempa besar tsunami yang terjadi bulan Maret. Gempa ini tak membuat retak bangunan dan panik, karena bangunan rumah Jepang sudah berstandar anti gempa. Nampak dari luar, rumah Jepang sama dengan bangunan rumah pada umumnya yang terbuat dari semen, bedanya di dalam dilapisi dengan kayu.
Cuaca di Tokyo berubah-ubah kadang panas dan hujan. Saat malam cuaca terasa semakin dingin mirip-mirip musim winter dan bagi saya satu selimut terasa kurang karena dinginnyamenusuk tulang dan membuat tangan dan kaki terasa kaku. Sementara siang hari sangat panas yang derajatnya mencapai angka 28 C.Menurut Kiyoshi Nagano, salah satu teman local IC Jepang, bulan Mei dan Juni merupakan bulan paling bagus untuk berkunjung ke Jepang, namun belakangan jadi berbeda, mungkin ini juga efek perubahan iklim global membuat cuaca sulit diprediksi.
Satu minggu di negeri Sakura, saya tidak merasakan kehawatiran sedikitpun akan bayang-bayang gempa dan radiasi nuklir termasuk makan ikan laut yang menjadi kebanggaan orang Jepang. Satu hal yang kadang muncul adalah rasa khawatir bagaimana saya bisa menjaga iman dan disiplin sholat di tengah komunitas, dimana umat Islam sangat minoritas dan tak ada fasilitas untuk sholat seperti Mesjid dan penunjuk arah kiblat. Saya bisa merasakan bagaimana susahnya mangatur sholat secara disiplin, sepertinya Islam tidak cocok untuk Jepang yang orang-orangnya ‘gila kerja’. Tidak heran jika pernah suatu ketika teman saya bertemu Muslim Jepang yang menuturkan hanya sholat satu minggu sekali yaitu sholat Jum’at dengan alasan tak ada waktu untuk beribadah.
Secara informal kegiatan saya di Jepang dimulai dengan makan malam bersama di restoran Jepang dan hang out melihat sisi lain Tokyo di malam hari. Konon sebelum reaktor nuklir Fukushima rusak, Tokyo dikenal dengan kota sejuta cahaya yang sangat indah. Malam ini terasa berubah, tidak banyak, mungkin berkurang 10% saja. Kini Jepang sedang berbenah diri dan bekerja keras mencari energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan listrik yang aman tanpa ketergantungan pada nuklir. Pasca demo di Tokyo awal bulan Mei 2011, pemerintah pusat sepakat menutup reaktor nuklir paling berbahaya di dunia yang ada di darat dekat perumahan warga dan sebagai gantinya pemerintah berencana akan membangun reaktor nuklir baru di tengah laut atau pengunungan yang dirasa lebih aman saat terjadi gempa atau kebocoran reaktor.
Gaya hidup orang Jepang
Memperhatikan keseharian orang Jepang, saya menemukan banyak perbedaan dibandingkan orang Indonesia. Jepang yang dikenal sebagai negara industri teknologi dan kehidupan masyarakatnya serba high tech, ternyata mereka tidak suka meluangkan waktu berselancar di FB, ngeblog, twitter dan chating walaupun saat senggang. Mereka tidak banyak bicara, lebih suka bekerja dan menggunakan email untuk kebutuhan kerja.Jarang Hand phone (HP) mereka berdering atau ada SMS masuk saat jam kerja kantor. Mungkin mereka sudah tertanam budaya disiplin tinggi selama jam kerja tak boleh ada urusan personal yang diselipkan. Mereka juga suka naik sepeda ontel atau jalan kaki saat hendak pergi ke tempat kerja. Jika tempatnya cukup jauh, mereka menggunakan transportasi publik seperti kereta yang sangat nyaman dan datang tepat waktu.
Pernah saat saya jalan-jalan di waktu sore, saya melihat banyak orang Jepang pulang kerjapakaian rapi berdasi dan tas keren mirip karyawan eksekutif bank atau pegawai negeri eselon II atau III, dimana mereka pulang kerja naik sepeda ontel tanpa rasa malu. Rasanya enak juga meniru gaya hidup mereka yang ramah lingkungan. Jarang orang Jepang di Tokyo menggunakan mobil pribadi ke tempat kerja karena transportasi publik lebih nyaman, tepat waktu dan mengurangi polusi.
Setiap kali bertemu dengan orang Jepang baik di tengah jalan atau di restoran, kesan yang selalu saya rasakan adalah mereka ramah, sopan dan respek.Pernah suatu hari saya melihat orang Jepang sedang menerima telpon, kendatipun mereka tidak ketemu wajah tetap saja menganggukkan kepala dan sering saya dengar mengulang-ngulang kata-kata seperti hai, sou desu ne, wakarimashita yang artinya saya paham atau setuju dengan pembicaraanya.
Masyarakat Jepang terbiasa mengendepankan tamu mulai dari makan, duduk dan masuk ke rumah atau ruangan dan menata sandal dan sepatu secara rapi. Mereka tidak akan mandi sebelum tamu yang menginap di rumahnya terlebih dahulu mengunakan kamar mandi tersebut.
Minum teh salah satu kebiasaan orang Jepang yang sudah turun temurun. Hampir setiap bertamu ke sekolah atau kelurga Jepang, minuman yang pertama kali disuguhkan adalah green tea yang warnanya hijau daun. Banyak macam teh yang dikemas menjadi berbagai jenis minuman bahkan ada teh yang dibuat jadi roti, ice cream, donat, jus dan semacamnya. Saya juga berkesempatan menghadiri upacara teh saat berkunjung ke sekolah SMA Kemie School, Tokyo. Bahkan membuat teh tidak sekedar membuat tapi ada seninya mulai dari menyiapkan air, mengaduk, menghidangkan dan menerima teh dan cara meminumnya. Terbesit dalam hati, orang Jepang aneh dan jelimet, bayangkan saja mau buat teh dan minum saja ada etika dan upacaranya! Upacara cara membuat dan minum teh biasanya dilakukan oleh para wanita Jepang yang berbusana Kimono. Mereka sangat terlatih dan cakap menunjukkan tata cara membuat teh dan menghidangkannya ke para tamu asing. Saya juga diberikan kesempatan mencoba buat teh sendiri yang prosesnya cukup Jelimet dan membutuhkan kesabaran.
Upacara Penyambutan tim 9thschool program.
Hari kelima di Tokyo tepatnya Minggu, 15 Mei 2011 ada upayacara penyambutan tamu asing di rumah Initiatives of Change Japan. Saya merasa terhormat dan bahagia melihat keluarga besar IC Jepang datang dan nampak antusias menyaksikan para tim 9thschool program yang akan berada di Jepang selama dua bulan. Kebanyakan mereka nampak sudah pada berumur semua, rata-rata 60-an dan yang tertua 84 tahun yang datang dengan penuh semangat menyambut tim internasional. Saya terharu dan termotivasi akan kekompakan dan semangat mereka yang tak pernah jenuh menyebarkan semangat perubahan bagi generasi muda Jepang dengan berbagai kegiatan sosial.
Upacaranya sangat khidmat dan formal, diawali dengan sambutan-sambutan, lagu Jepang; nadanya mirip lagu Bengawan Solo, minum teh, dan pengenalan chopstick special yang ada lambang burung kecil yang biasa ditemukan saat musim kemarau. Saya duduk di bagian kiri dekat interpreter. Kelurga IC Jepang banyak yang tidak bisa bicara bahasa Inggris. Setiap pembicaraan selalu diterjemahkan oleh interpreternya. Bayangan saya, sedang beraudiensi dengan menteri atau kepala pemerintahan, bukan karena masalah bahasa tapi juga gaya pakaian mereka yang rapi pakai jas, dasi dan sangat kontras dengan pertemuan-pertemuan IC di Indonesia yang santai dan penuh tawa.
Ninomiya, salah satu senior IC Jepang selalu bertutur bahwa di umurnya yang sudah sepuh ini dia masih punya mimpi dan keinginan besar bagaimana nilai-nilai IC (kejujuran, ketidakegoisan, kasih sayang dan keikhlasan) bisa menjadi karakter generasi bangsa Jepang. Beliau berterima kasih atas kehadiran tim Internasional yang datang ke Jepang di saat yang sulit. Sebagai orang yang sudah lama dan banyak interaksi dengan orang-orang IC Internasional, saya merasa ada kesamaan, kehangatan saat bertemu dan merasa cepat akrab serta menjadi bagian dari mereka. IC lebih mengesankan semangat kekeluargaan. Saya memahami salah satu dari perjuangan IC adalah membentuk ‘global family’ yang lintas iman, budaya, kepercayaan dan negara dimana satu sama lain saling berbagi dengan penuh ceria dan kasih sayang. Bagi saya sangat mudah mendeteksi keluarga IC International cukup mengenali ciri-cirinya seperti sangat perhatian, terbuka, santun dan disiplin.
Rumah IC Jepang yang kini menjadi pusat administrasi kegiatan tak terlalu besar. Nampak dari luar seperti rumah pada umumnya tak ada papan besar yang menunjukkan kalau rumah ini digunakan sebagai kantor organisasi. Cerita rumah ini sebenarnya hibah dari keluarga Takashi, salah satu orang keluarga IC Jepang yang sudah meninggal. Saya memperhatikan ruangan rumah ini tertata rapi, bersih dan hampir setiap sudut dinding penuh dengan hiasan dan souvenir manca negara. Mungkindari tamu-tamu Internasional yang pernah berkunjung. Halamannya penuh dengan bunga bermacam warna.Masuk ke bagian dapur, saya mendapatkan penuh alat perabotan yang bermacam-macam tapi ditata dengan rapih dan bersih.
Beberapa tahun yang lalu IC Jepang mempunyai tempat konferensi besar yang ada di Odawara, 90 km dari Tokyo. Kini tempat ini dirobohkan karena bangunannya tidak berstandar anti gempa dan tanahnya juga dijual. Sekarang IC Jepang berencana untuk membuat yang lebih besar lagi meniru pusat IofC di Cauxt Swizerland.
Setiap hari di rumah IC Jepang ada dua orang yang kerja full time dan kadang di akhir pekan, ada beberapa orang yang datang secara suka rela membersihkan halaman, potong rumput, menyiram bunga dan membersihkan ruangan. Sistem kerja mereka sama dengan jam kerja di kantor atau perusahaan ada waktu tertentu kapan mereka mulai kerja dan istirahat seperti pada umumnyamereka yang kerja profesional.To be continued…!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H