Mohon tunggu...
Akhmad Hairul Umam
Akhmad Hairul Umam Mohon Tunggu...

Peace Maker, Energetic Traveler, and Free Thinker!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebebasan Beragama menuju Perdamaian

10 April 2011   02:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:57 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tahun 2006, penulis pernah mengikuti program AFL (Action for life); training kepemimpinan selama 9 bulan berpusat di India dan Asia Tenggara. Program ini menarik untuk diceritakan dalam tulisan masalah kebebasan beragama mengingat pesertanya terdiri 45 orang dari 26 negara dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Bagi penulis, AFL adalah pengalaman spiritualitas bagaimana hidup berdampingan beda agama dan berbagi pengalaman setiap hari yang didasari komitmen tinggi untuk tidak saling mempengaruhi lebih-lebih mengajak pindah agama.

Sebagai minoritas yang beragama Islam saat itu, penulis menyadari akan pentingnya mengenal dan memahami apa yang diyakini kelompok lain sehingga muncul rasa peduli dan sensitifitas untuk menciptakan sikap empati dan tidak merasa paling super dan benar sendiri.

Memang, suatu fakta tak terbantahkan dalam beragama ada semangat untuk menyatakan dengan tegas 'claim of truth' bahwa agamanya paling benar dan berhak masuk surga sementara agama lain salah dan pemeluknya masuk neraka tanpa adanya keraguan sedikitpun.

Pemahaman dan keyakinan beragama seperti ini suatu kewajaran dan bukan hal yang salah, karena jika agama tidak mempunyai 'claim of truth' dapat dipastikan akan ditinggalkan pemeluknya. Akan tetapi bagaimana umat beragama itu dapat menempatkan semangat keyakinannya pada kontek interaksi dirinya dengan Tuhan bukan dengan kelompok lain. Mengingat ekspresi keyakinan yang berlebihan dapat membahayakan kelompok lain lantaran dirinya merasa superior dan yang lain imperior. Bahkan esensi beragama yang sejatinya untuk kebahagiaan dan kedamaian kehilangan ruh dan yang tampak dari prilaku umat beragama hanyalah kepicikan dan kebencian akibat 'claim of truth' dan merasa paling benar.

Bhaves Patel, salah satu peserta AFL pernah mengatakan dengan nada reflektif bukankah konflik itu muncul ketika manusia mulai mengklaim bahwa dirinya adalah seorang Islam, Kristen, atau bangsa Indonesia, Amerika dan seterusnya. Bagi dia, penggiat perdamaian sejati tidak lagi melihat dirinya dalam ruang yang sempit yang hanya dikotak-kotakkan dalam simbol-simbol bahasa tapi memandang umat manusia sebagai satu kesatuhan yang bersumber dari yang satu yaitu Tuhan. Disini penulis tidak akan mempersoalkan masalah teologis konsep kesatuan Tuhan yang menurut masing-masing agama tentu saja mempunyai logika yang berbeda.

Pengamatan penulis dalam melihat konflik agama hampir dipastikan pemicunya adalah pemahaman dan pengamalan agama yang keliru dan mengangap diluar agamanya sesat dan menyesatkan. Agama sebagai wadah expresi pengakuan eksistensi Tuhan dan kepatuhan pada ajaran-Nya selalu menarik untuk diperbincangkan. Menarik bukan karena agama mempunyai efek kesalehan dan keramahan, tetapi ia juga memberikan wajah ganda yang bisa menghadirkan ketakutan bagi kelompok lain apabila agama disalahartikan. Sejatinya, semangat kebebasan beragama dipahami sebagai upaya untuk menyebarkan nilai kasih bagi umat manusia yang membawa kedamaian dan keharmonisan bagi alam semesta bukan provokasi yang menuai kebencian dan konflik antar umat beragama.

Dalam konteks Indonesia, semangat kebebasan beragama tidak hanya dijamin oleh undang-udang melainkan agama itu sendiri (baca: Islam) dengan tegas memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih agama yang mereka sukai bahkan menjadi atheispun tidak ada masalah. Dalam QS. 18: 29 disebutkan: "Barang siapa yang mau beriman berimanlah, dan barang siapa yang mau kufur (ingkar atau atheis), kufurlah". Dalam ayat yang lain QS. 109:6, Allah memberikan penegasan, "Untuklah agamamu, dan untukkulah, agamku". Lalu, pertanyaanya mengapa masih banyak orang Islam di Indonesia menentang kebebasan beragama lebih-lebih mendakwahkannya. Bukankah al-qur'an dan al-hadist sebagai pijakan beragama bagi umat Islam telah mengajarkan inklusifitas dan toleran bagi kelompok lain. Kalu mau jujur, bagi Allah bukan persoalan yang sulit jika menginginkan seluruh manusia di Indonesia menjadi Islam atau Kristen.

Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama, menurut Rufini (1912) menciptakan suatu kondisi dalam masyarakat di mana seorang manusia dapat menuntut tujuan-tujuan spiritual yang tertinggi dengan tidak dihalangi orang lain. Dengan begitu maka syarat dapat terciptanya kemerdekaan beragama, di samping adanya pemerintah dan lebih dari satu agama dalam negara, adalah pendidikan moral yang cukup berkembang, sehingga kepribadian individu dalam masyarakat tersebut dapat dianggap mampu untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri.

Ada yang memahami, kebebasan beragama (religious freedom) sebagai salah satu daripada kata-kata yang dalam perkembangannya telah kehilangan artinya yang bersifat ilmiah dan pasti. Biasanya kebebasan beragama disalahpahamkan dan dianggap sama dengan kemerdekaan berpikir (freedom of thought), padahal orang yang menganjurkan kemerdekaan berpikir belum tentu setuju dengan kebebasan beragama. Kemerdekaan berpikir adalah dasar filsafat yang menganggap dirinya mempunyai kebenaran mutlak sedangkan kebebasan beragama hanya merupakan suatu prinsip yuridis yang mengatur hubungan luar antara beberapa individu-individu atau kelompok.

Kebebasan beragama merupakan nilai yang sangat penting dan perlu dijunjung tinggi selain dari kebebasan itu sendiri. Kebebasan ini merupakah hak individu umat manusia yang paling dasar seperti halnya kebebasan untuk berbicara, berkumpul dan menjalankan ibadah dengan bebas, bekerja, dan menggunakan waktu luang sesuai dengan pilihannya sendiri serta menikmati rasa aman dari pembatasan sewenang-wenang pihak lain. Clinton Rossiter (1962) dalam bukunya Conservatism in America mengatakan "sejak dulu bagi kita kebebasan merupakan obsesi kita menjunjung tinggi kebebasan lebih daripada kekuasaan dan tanggung jawab; hak lebih daripada kewajiban semua itu merupakan kecenderungan historis kita." Bagi kami yang menjadi patokan bukanlah manusia yang baik, tetapi manusia yang baik, tetapi manusia yang bebas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun