Seraya menyusuri jalan setapak di tengah hutan ia mengingat suatu peristiwa, saat itu ia bersama dengan seorang kawan, mencari makan malam di tengah kota yang bukan kota, radio dalam mobil mereka mengumandangkan suara sang pengkhotbah, nada bicaranya sama sekali tak beraturan, jika tak ingin dibilang seenaknya, tapi yang terpenting adalah, sangat mengkalbu makna yang sedang dibicarakannya. Bicara tentang Yang Kuasa dengan segala atributNya, adalah bicara soal pengalaman, pengalaman pribadi, yang sifatnya sungguh personal, pengkhotbah itu berujar, "Kita itu kalau sudah berani ngomongin Tuhan ya jangan seperti makelar yang jualan ini itu, terus kalau ditanya, sudah pernah coba?Jawabannya cuma geleng-geleng kepala, malu-maluin!" Sesampainya ia di log cabin dimana ia melewatkan malam harinya, ia membentangkan lengannya, menghirup dalam alam pegunungan, tarikan nafasnya mengembangkan diafragma dadanya dengan sempurna, pelan-pelan ia menghembuskan keluar, lalu diulanginya sampai beberapa kali, proses jalan paginya baru saja selesai. Di beranda secangkir air kacang hijau telah tersedia, suhunya pas, tentunya, setelah meneguk, tak kuasa senyumnya tertahan, "makelar..." gumamnya. Tiba-tiba dahinya mengerut, menghentikan senyumannya, ia tahu, sebaiknya ia mengendalikan lagi kesadaran pikiran lalu membuang pikiran yang baru saja hinggap dikepalanya begitu ia selesai menggumamkan kata - makelar. Tapi ia memang berada disini untuk melepaskan semua pikiran-pikiran itu dengan menulis, segera ia masuk ke dalam log cabin, mengambil notepad-nya lalu mulai menulis. Alamanda 2#8 Penderitaan yang kita terima sebagi manusia adalah penderitaan yang kita buat sendiri, sadar atau tidak sadar, manusia tidak dicipta untuk menderita, tapi karena kita sendiri , maka kita menderita, semua berkenaan dengan hukum sebab dan akibat, aku sudah merasakan dan menjalani hukum itu. Tapi jika aku boleh bermegah dalam penderitaanku, maka aku akan bermegah karenanya, pasalnya, aku sebelum derita tiba, SADAR, bahwa penderitaan semacam itu akan aku terima karena perbuatanku sendiri, hanya saja, waktu datangnya yang tidak dapat aku perkirakan, alasan lain kenapa aku bermegah meski dalam penderitaan macam itu adalah, Yang Maha Kuasa tidak meninggalkan aku, dalam berbagai serangan yang dilancarkan padaku, aku hanya berlindung, memohon perlindungan hanya pada Yang Maha Kuasa, di titik nadirku, aku terselamatkan. Begini aku diajar malaikat-Nya, "Akuilah Dia dengan berkata -Tuhanlah, Gembalaku, tak kan kekurangan aku..." Ini menyelamatkanku pada penyesahanku yang pertama. Lalu begini lagi aku diajar malaikatnya pada penyesahan kedua, "Jangan khawatir, beginilah kamu hendaknya berkata - sekalipun aku berjalan dilembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau beserta-Ku..." Saudara-saudaraku terkasih, aku bersyukur, karena aku bukan makelar. Lalu ia menarik nafas dalam-dalam, dan mengeluarkannya perlahan, tak ada lagi kerut dikeningnya, dia pun segera masuk kedalam log cabinnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H