Sembari menikmati teh hangat manis di sore hari, saya ingat soal Pak Nawari, beberapa waktu yang lalu, beliau mengundang saya untuk ber"high-tea", kebiasaan Inggris - kata orang yang belum mengetahui sejarahnya, padahal, sebenarnya, kemungkinan besar, orang Perancis yang memperkenalkan budaya ini sebelumnya, yang dapat dilihat ditulisan Madame De Sevigne (1626-1696), yang menuturkan tentang kebiasaan para aristokrat jaman itu, teh sendiri sebenarnya mulai diperkenalkan di Eropa tahun 1614. Anyway, Pak Nawari, bicara begini waktu itu, "Saya malu dik, sebagai orang yang banyak sekali membaca buku," matanya menghantar saya untuk melihat ke dalam ruang yang penuh berisi buku, perpustakaan pribadi miliknya, sementara kita berdua duduk di beranda yang berkanopi tanaman rambat, persis di depan perpustakaan pribadinya, lalu ia melanjutkan, "Apalagi, tentang kesadaran diri, tentang bagaimana mengontrol emosi, welas asih, dan berbagai kata bijak, nasihat ini dan itu yang telah saya baca, bukan hanya baca, saya pun menjadi panutan bagi banyak teman, yang seringkali datang kemari, untuk minta nasihat ini dan itu." katanya sambil menggeleng-gelengkankan kepalanya, sebuah tanda "disapproval" atas dirinya. "Malunya kenapa Pak?" "Saya belakangan ini, sering sekali terganggu dengan keadaan sekitar saya, malunya saya itu, saya tahu, damai itu adalah kondisi hati, bagaimana kita mengkondisikan hati kita, jadi dengan demikian, kita mampu memblokir keadaan disekitar kita, mengkondisikan damai, jadi seperti filter, dimana saya menyelubungi diri saya dengan kesadaran akan kedamaian itu, teori, dan seringkalinya berhasil, hanya saja, saya ini sekarang sedang berusaha menyelesaikan sebuah masalah, masalah yang memiliki kecenderungan untuk saya, kembali ke masa lalu saya, maksud saya, menyelesaikan masalah dengan gampang, saya potong orangnya, selesai masalahnya!" Setengah tidak percaya apa yang baru saja saya dengar, saya mendadak menjadi batuk, padahal tidak ada scones yang tersangkut ditenggorokan, saya berpikir, efek dramatisir mungkin, tapi biarlah, itu tidak penting, tapi Pak Nawari baru saja bicara soal potong memotong orang. "Itu yang buat saya malu dik, Alkitab-lah, Bagavad Gita, Dhamapada, semua saya baca, malu saya dik, sampai-sampainya saya ingat soal masa lalu, masalah yang saya hadapi ini sungguh unik, berkenaan dengan orang munafik, semunafik-munafiknya manusia yang pernah saya temui, ini manusia paling munafik, sungguh memalukan, saya malu pernah kenal orang macam ini!" Sambil sesekali menggeleng-gelengkan kepalanya, Pak Nawari menuangkan susu kental manis ke dalam tehnya, nah....menuangkan susu ke dalam teh ini kemungkinan besar diperkenalkan pertama kali oleh Madame De La Sabliere, masih di abad 17an, kekaguman Inggris akan Perancis jaman itu menyebabkan kebiasaan Madame De La Sabliere tertular cepat dikalangan aristokrat Inggris. Lalu saya memandang Pak Nawari, tidak ada yang perlu diherankan, aristokrat pun, meski kadang tidak dengan tangannya sendiri, juga melakukan pembunuhan disana-sini, dari waktu ke waktu, "Lihat!" Kata saya padaku. "Dunia ini telah membentukmu, sehingga, membunuh pun terdengar menjadi hal biasa di telingamu, lihat, dunia ini telah membuat segala sesuatunya tidak lagi mengherankanmu, sapi, kambing, diperkosa, sapi, hamil, didorong jatuh kelaut, takut-takut, keluar sapi berkepala manusia, lihat dunia mengubahmu sedemikian rupa, lihat...." "Dik, lagi scones-nya..." kata Pak Nawari, menghentakkanku kembali pada saya. Senyum, saya tersenyum, "Pak Nawari, orang munafik macam apa yang kemunafikannya Pak Nawari baru temui?Bukankah, ada kemunafikan disetiap kita?Kita manusia Pak, semuanya munafik, ya kan Pak?" Tertawa, terbahak, lalu dengan gaya khasnya mengusap mulutnya dengan sapu tangan, bukan tissue, sapu tangan, "Benar dik, maka dari itu, saya suka sekali bicara dengan adik, apa adanya, ya...kita semua manusia , munafik, pemuka agama-lah, tokoh masyarakat-lah, tukang sampah-lah, politikus-lah, wah....apalagi politikus! Kalau mereka semua, kita semua, mengaku tidak munafik, JUSTRU ITU MALAH LEBIH MENJELASKAN BAHWA KITA SEMUA MUNAFIK!", lalu melanjutkan tawa dan tawa dan tawa. Saya tak dapat tertawa terbahak, hanya senyum, maslahnya saya belum mendapat jawaban, manusia macam apa yang kemunafikannya belum pernah beliau ini temui sebelumnya. Bahasa tubuh saya mungkin menyatakan pertanyaan yang baru saja saya pikirkan, Pak Nawari melanjutkan, "Dia tidak lagi mengganggap saya teman, jadi saya bilang, mantan acquaintance, saya sudah terlalu jijik untuk mengatakan, maaf, TAI itu sebagai teman saya, setidaknya saya sadar, saya munafik, dengan menyebutnya sebagai tai, saya jelas mengurangi kadar elegansi saya, dan juga mengkikis kadar kemunafikan saya, saya tidak suka dia, jadi saya bilang, SAYA TIDAK SUKA DIA, masalahnya begini, orang ini, maaf, tai ini, sudah sekian lama, menyembunyikan boroknya, waduh, kalau saya jelaskan, mungkin susah, panjang, dan melelahkan, coba saya rangkum saja ya, Tai ini, jual nama Tuhan, airmata buaya, keluar uang untuk membeli simpati, memutarbalikkan fakta, fitnah sana, fitnah sini, germo, maling, penyiksa istri, mental dan raga, bedebah, asli bedebah!" Jelasnya berapi-api. "Hmmm....normal!" jawab saya. Sorot matanya tiba-tiba memicing, jelas Pak Nawari tidak menyukai pernyataan yang baru saja saya luncurkan, "Normal???" "Ya pak, normal orang demikian." "Apanya yang normal, jangan macam-macam dik!" "Bagi dia Pak, bagi orang itu sendiri, apa yang dia lakukan itu semua normal Pak, bahkan mungkin dia sendiri menganggap dirinya paling benar, jadi normal sekali Pak, kalau orang menjadi demikian, pada dasarnya kita ini membentuk kadar kebenaran kita sendiri, kalau bukan kita yang membela diri kita sendiri siapa lagi Pak, jadi kebenaran yang Pak Nawari bilang bahwa dia itu tai, maka dia itu tai, dipandangan Pak Nawari, tapi mungkin pandangan yang terima duit si tai, tai ini rasa coklat Pak, jadi maaf lho ya Pak," saya sengaja berhenti, menarik nafas, sembari saya sadar, bahwa saya sendiri pun, sedang mengurangi kadar kemunafikan saya sebagai manusia, saya pun sedang berjuang untuk bicara apa adanya, sugar coating, basa-basi, bit around the bush, ini-ononya, mau saya kurangi semuanya, persetan apa anggapan orang, yang jelas, ini saya, anda mau terima baik, mau benci, terserah, ini saya, jadi resiko kena potong saya juga ambil, "...pasti ada kaitan batin antara Pak Nawari dengan si tai ini. Sampai Pak Nawari jadi sewot begini, kesadaran Pak Nawari terganggu, kesadaran menipis, de-es-be,de-es-be." saya pasang senyum sesimpul-simpulnya, ini batas pemanis yang saya bisa toleransi, senyum simpul. Tak sangka, Pak Nawari malah menggebrak meja, bukan marah, tapi tertawa sekencang-kencangnya. Begitu puas, Pak Nawari menarik napas panjang, memejamkan mata, lalu mengambil cangkir tehnya, meminumnya, kemudian menaruhnya kembali, lalu angkat bicara, "Saya akan cerita lain waktu soal ini ya, tapi dugaan adik benar, hanya saja bukan dengan tai, tapi dengan wanita, yang selama ini telah bertahan dengan segala kebusukan, dengan segala perlakuan, bukan iba, tapi ada kalanya seorang mesti berani berkata, CUKUP! Saya yakin semua ada waktunya, saat saya memutuskan untuk membantu wanita ini berkata CUKUP, saya sadar akan semua konsekwensi yang akan saya hadapi, satu hal yang mungkin tidak bisa diterima semua orang, bahwa kadang perbuatan baik belum tentu benar, dan perbuatan tidak baik, belum tentu benar, kembali lagi seperti apa yang adik bilang, kebenaran itu sangat subjektif, kecuali Tuhan Yang Esa, memiliki kebenaran yang absolut, Dia menyelidiki hati, coba, bagaimana kita bisa munafik lagi bila berhadapan denganNya?" Kembali mengambil resiko, saya bertanya, "Pak Nawari, jatuh hatikah dengan wanita ini?" "Hati saya tidak jatuh, hati saya terbang jauh." [caption id="attachment_82716" align="alignleft" width="150" caption="flying out by jfd boma"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H