Langit mendung, angin kencang, tapi hatinya sedikitpun tak gundah, malah sebaliknya, suara dedaunan dan ranting - ranting yang saling bergesekan membuatnya tersenyum, terlebih lagi, sayup lantunan Miles Davis dari pemutar vynil-nya turut mengisi ruang-ruang kosong kabin ditengah hutan itu. "Ya, pulang tadi ibu pendeta tanya ke saya, ada masalah apa dengan rumah tangga saya, sembari bercanda saya bilang, ...oh anu, mungkin dagang lagi sepi Bu!" katanya sambil membawa segelas air jeruk segar yang baru saja diperasnya di dapur. Mata wanita yang indah itu tak pernah bosan dipandangnya, mata yang tajam seperti elang, diambilnya segelas air jeruk tadi dari tangan wanita itu, ia meminumnya, tapi pandangannya tak pernah ia lepaskan dari mata elang itu, wanitanya tersenyum. "Pak pendeta sama ibu pendeta itu jelas tidak percaya, jadi mereka berusaha untuk mengetahui lebih jauh, mencoba mencari tahu, ada apa sebenarnya dengan rumah tangga saya." Tangan kirinya memegang gelas yang berisi cairan jeruk segar, sementara tangan kanannya mengelus kepala wanitanya yang bersandar di pundak kanannya. "Saya tetap bilang tidak ada apa-apa, waktu saya hampir sampai rumah, Ibu pendeta telpon lagi, berusaha tanya lagi, cari tahu, sambil setengah merengek, minta saya untuk percaya dia dan menceritakan ada masalah apa dengan kehidupan rumah tangga saya, saya tetap bilang tidak ada apa-apa. Saya heran, kenapa sih, apakah menjadi penggembala lalu terus seenaknya saja menekan, mencari tahu, mencoba mengorek-ngorek, saya bisa mengerti kalau mereka memberi perhatian, tapi kalau saya ini bukan salah satu aktivis dan atau salah satu penyumbang aktif di institusi mereka, apakah mereka akan sedemikian perhatian, ada tuh Pak Sulistyono, cerai berai, malah istrinya pakai centeng untuk usir suaminya keluar dari rumah, tapi pak-bu pendeta, tidak tanya sama mereka, sudah kejadian, cari tahu kejelasan juga tidak." "Aduh....." jerit kecilnya. "Gimana sih, orang cerita kok ga didengerin?" tanya wanitanya, setelah mencubitnya. "Siapa yang ga dengerin?" tanyanya kembali, sembari melempar senyum, lalu keduanya bercumbu setelah dia menaruh gelas yang berisi air jeruk itu di lantai kayu berandanya. Lalu dia angkat bicara, "Aku punya teman, teman baik malah, sayang juga udah pernah ketemu dia, suatu kali saya pernah muntab, dia itu semacam konselor, penasehat rumah tangga gitulah, disusunan organisasi yang menempel pada institusi agama, suatu kali, saya, sebelum kenal sayang, pernah berhubungan dengan seseorang, dia, teman saya itu, tahu masalah ini, nah, suatu kali, dipertemuan keluarga, dia juga dekat dengan keluarga saya, nah suatu kali....." dia mengambil lagi gelas yang berisi air jeruk dari lantai kayu, meminumnya lalu memberikan pada wanita yang ia cintai, wanita yang ia cintai itu pun meminumnya, lalu menaruh dengan perlahan, gelas yang berisi air jeruk, yang tinggal sedikit lagi saja isinya, di lantai kayu, di sisi wilayahnya, "..... di pertemuan keluarga, waktu itu tidak ada saya, teman saya ini bicara, ada ibu saya, kakak-kakak saya, perihal kelakuan saya diluar, maksudnya diluar pernikahan saya, apa itu istilah kerennya, extra marital activity." Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Dia pun melanjutkan, " Seolah-olah, teman saya itu,... tunggu-tunggu..., saya memang pernah cerita keadaan sebenarnya kehidupan perkawinan saya, tapi saya tidak pernah cerita bagaimana itu semua bisa terjadi, nah, waktu dipertemuan keluarga itu, seolah-olah teman saya ini bisa tahu begitu banyak tentang perkawinan saya, dan memberi pernyataan bahwa saya ini sedang dalam kondisi kritis, rentan, kalau tidak diwaspadai bisa cerai, perkawinan bubar. Gawatnya lagi, seolah-olah teman saya ini bisa membaca pikiran saya, saya begini, begitu, lalu rembugan, mencoba mencari jalan keluar yang terbaik, supaya saya terbebas dari masalah perse....sorry, masalah...extra marital activity....." Lagi mereka berdua tertawa terbahak-bahak. "Saya bingung, kalau teman saya yang konselor itu mau membantu menyelesaikan masalah saya, bukannya dia harus tanya sama saya, masalah saya apa, atau apakah saya ini mau dibantu apa tidak, ini loh, yang sering kali buat saya itu naik darah, sikap-sikap orang yang seenaknya saja masuk kedalam ruang pribadi orang lain, mentang-mentang merasa dekat, lalu melupakan semua tata kesopanan, sopan santun dalam bergaul, wong saya aja ga ada disana, kok berani-beraninya mau mencoba menyelesaikan masalah, yang punya masalah aja tenang-tenang kok?" katanya, lalu berdiri, pindah duduk ke railing berandanya, menghadap ke si wanita, semangat bicaranya menyala-nyala, "Coba pikir, orang-orang kita ini, kadang kalau ketemu kawan lama, bilang begini, - Wih...kurus ya sekarang, Wih....gemuk ya, kayak gentong, sekarang kerja apa? , kita ini katanya punya budaya timur, yang tata sopan santunnya tinggi, lha kok main fisik sih? Ini cuman contoh, seringkali lebih parah, ya itu, pak dan ibu pendetamu yang terhormat itu, merasa punya status terus seenaknya mau tahu urusan orang, terlebih soal perkawinan, rumah tangga, memangnya orang-orang diluar kita itu 24jam disamping kita? Tahunya seberapa sih? Mau generalisasi masalah lagi? Sama dengan hubungan kita dengan Tuhan kita, aku mau bilang begini, aku ini pendosa, banyak sekali dosaku, aku ini tidak layak, aku ini penuh nafsu, masih mau begini dan begitu, aku sadar aku ini pendosa, aku sadar aku tidak mau memalingkan mukaku dari Hadapan-Nya, karena aku tahu Dia setia, lalu institusi mau terapkan ini dan itu, caranya berdoa itu harus begini, begitu, seragam....seragam...seragam.....kenapa sih???" "Sabar sayang, 95% orang hidup pasti mau mempertahankan eksistensi mereka." tanggap wanitanya, kini bangkit berdiri dari duduknya, mendekat dan mendekapnya. Wanitanya selalu berhasil menenangkannya, "Eksistensi?", tanyanya pada wanitanya. "Pendeta mempertahankan eksistensi kependetaannya, suami mempertahankan eksistensi kesuamiannya, istri juga begitu, konselor, apa lagi, hakim, pengacara..... wweeeeeehhh.....,eksistensi sayang apa, eksistensi apa yang sayang pertahankan?" Dia memandang mata elang wanitanya, pernah dia berujar begini, Bagai garis-garis sinar Matahari yang menembus lebatnya kanopi dedaunan hutan hujan tropis... Bagai gemerisik dedaunan yang tertiup angin di hutan bambu... Bagai bau tanah sehabis hujan... Semua kulihat dimatamu! "Eksistensi yang kupertahankan adalah, cinta...cintaku eksistensiku!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H