Mohon tunggu...
irawan boma
irawan boma Mohon Tunggu... lainnya -

pengamat kehidupan, praktisi revitalisasi untuk sustainability (lingkungan) hidup, saya sungai, saya suka hujan, mendung, guntur, namun paling suka cahaya yang menyembul dari balik awan tebal.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kita Yatim Piatu

12 Juni 2012   18:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:03 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yatim Piatu, menurut kamus Bahasa Indonesia berarti, sudah tidak berayah dan beribu lagi.

Mungkin basi, tulisan menjadi sekedar tulisan, jangankan tulisan, teriakan di forum resmi, media massa, bahkan di jalan sekalipun tidak merubah apa pun lagi (yang substansial).

Mulai dari yang sopan, berbahasa indah penuh kiasan, sampai caci maki, tak punya pengaruh apa-apa, selain politik, politik, politik, uang, uang, uang, kekuasaan, kekuasaan, kekuasaan.

Semua berkelit, semua bersilat lidah, semua saling menutupi, kolektif, kolektif, kolektif, tidak ada tempat untuk hitam dan putih, abu- abu, semua abu-abu, abu-abu,abu-abu, percaya mati, bahwa seumur hidup abu-abu tetap abu-abu, lupa kalau suatu kali semua menjadi abu.

Anak-anak tak lagi terurus, cari makan, cari sendiri, cari aman, cari sendiri, cari keadilan, "eitssssss.....", berani bayar berapa? Apik sekali, pernah digambarkan pada iklan sebuah perusahaan besar makanan cepat saji, anak tidak lagi mengerjakan tugas membantu orang tua tanpa pamrih (boro-boro, bantu orang tua aja pakai pamrih, apalagi bantu orang lain), uang, uang, uang, buat apa? Ya buat anak itu sendiri, kepuasan anak itu sendiri, terus didik seperti ini, terus pertahankan abu-abu, hidup abu-abu!

Lebih baik menjadi anak yatim piatu, menyadari diri bahwa kita yatim piatu, daripada bercermin pada orang tua yang tak lagi memberi perhatian, rasa aman bahkan cenderung menjerumuskan, bagaimana tidak dibilang menjerumuskan, orang tua yang memegang kekuasaan, memberi landasan bagi masa depan, sukses sekali memberi teladan untuk bersikap munafik, cari selamat sendiri, sistematis memberi pelajaran bagaimana memiliki muka badak, bagaimana memainkan kartu ketulusan palsu, bagaimana bersikap berani bertindak tapi tanggung jawab atas tindakan itu ditanggung yang lain, capek kalau menjabarkan satu demi satu trik-trik tauladan orang tua macam ini, lebih baik jadi anak yatim piatu, jelas posisinya.

Tapi kita, anak-anak yatim piatu ini, tahu orang tua tak lagi peduli (baca: pengertian yatim piatu di kamus Bahasa Indonesia - Online, tidak dijelaskan apakah tidak berayah dan beribu itu disebabkan karena kematian, minggat dan lain sebagainya), mungkinkah kita menjadi satu, membenahi, bersih-bersih rumah sendiri, setuju tetap mempertahankan landasan yang sudah disusun dan diwarisi sedemikian rupa oleh kakek, nenek,mbah buyut, moyang kita, lima dasar yang mampu membuat kita menjadi putra-putri yang berbudi pekerti luhur?

Keluarga besar tanpa ayah dan ibu.........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun