Sudah puluhan batang rokok kuhabiskan dalam waktu yang relatif singkat, sekitar lima jam, tak henti-hentinya aku menatap senyummu dilayar laptopku. Tatapanku begitu terpaku, seolah ada sihir yang tiba-tiba menyembur kedalam bola mata ini. Aku tidak sedang berada didunia mimpi namun wajahmu menyeretku kedalam liang dimana disitu ada langit biru, awan putih dan pohon-pohon beringin yang rindang yang menaungimu. Kau duduk manis bersender dibatang pohon itu, dan aku menghampirimu. Ratusan capung menari diawang-awang seolah ia sedang menari untuk kita, senyummu mengembang dan itu membuat jiwaku terasa seperti dialiri air kehidupan, menyejukkan sekali.
Saat kemudian kau berdiri, angin kencang menerpa menyibakkan rambut panjangmu higga terurai seksi, rokmu melambai-lambai hingga dapat kulihat celana dalammu yang berwarna putih. Terkesima, aku pun berdiri. Terkejut rasanya dengan angin yang semakin kencang hingga capung-capung itu pun terhanyut dalam pusaran kencang angin itu. Takut kau ikut terseret, maka kuacungkan tanganku hendak meraih tanganmu, namun angin kencang itu sungguh cepat dan keburu membawamu pergi. Kau terbawa angin itu namun kenapa dia tidak membawaku juga. Kau pun pergi bersama angin entah kemana, dan aku kembali keruang sunyi, menyalakan sebatang rokok, dan kembali menatap kepergianmu. Hanya senyummu yang tersisa sudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H