Pasar. Sebuah tempat transaksi jual-beli yang paling umum dan ada di segala jenis lks ekonomi.
Apa yang anda ingat saat mendengar pasar? Bisa jadi makna pasar dan gambaran pasar di masa kini sudah mulai bergeser dari bayangan orang-orang. Dulu pasar adalah tempat membeli makanan, tempat berjualan, hingga tempat bergosip ria dengan orang dari desa lain. Sekarang, mungkin beberapa di Antara anda berpikir bahwa pasar itu kotor, becek, banyak makanan murah tapi kurang higienis.
Adanya pasar dengan bentuk yang lebih modern berupa supermarket membuat saya berpikir ulang tentang nasib para petani dan peternak lokal. Pada bulan ramadhan, saya ikut ibu saya membeli ubi dan singkong karena ingin membuat kue. Saat itu siang dan hampir semua pedagang sudah pulang ke rumahnya. Di salah satu sisi pasar, saya bertemu dengan pedagang. Ini sedikit dialog saya dengan pedagangnya.
Pedagang : "Dek, mau beli sekarung pupuk ya?"
Saya : "Nggak, mau seplastik merah gede aja"
Pedagang : "Oh gitu dek, nggak mau sekarung aja? 25000 aja"
Saya : "Nggak, bu... hehehe"
Saat ibunya bilang 25000 saya sempat terkejut. Karena singkong dan ubi sekarung itu penuh dan dihargai 25000 rupiah saja. Lalu bagaimana dengan makan ibu pedagang dan anak-anaknya? Keperluan anak-anaknya sekolah? Saya sangka seplastik merah harganya 10000 dan tahukah anda? Harga seplastik merah itu hanya 5000 rupiah. Itupun ibu saya tidak menawar dan karena ibu saya tidak menawar, pedagang itu malah memberi singkong tambahan. Bahkan pedagang itu memuji ibu saya yang tidak menawar.
5000 rupiah. Jika dikonversikan ke USD, hanya sekitar 0,38 USD. Itu jumlah yang sangat kecil. Dan ini adalah salah satu yang menurut saya membuat Indonesia masih berkembang. Di Supermarket besar di mall kota-kota besar, banyak jualan sayuran dan buah yang harganya jelas berbeda dengan di pasar karena sayur dan buah ini masuk mall. Pertanyaannya adalah : apakah semua petani berkesempatan masuk mall? Tentu saja tidak.
Jujur saya tidak tahu seberapa besar pendapatan petani ini untuk 5000/plastik besar. Tapi sayangnya, jarang saya temukan petani yang sukses sekali. Rata-rata minimal bisa menyekolahkan anaknya. Lalu anaknya jadi petani yang biasa saja dan kejadian itu berulang. Itu hal yang terjadi di kota saya, Pamekasan. Padahal, seperti apa yang dikatakan Pak Dayat (seorang petani di Bandung), semua orang bisa mati tanpa petani. Karena petani menyediakan hidup lewat nasi.
Apresiasi terhadap petani perlu ditingkatkan. Tidak harus lewat supermarket organik di mall, namun bisa juga dengan membantu mempertemukan petani dengan orang yang ingin membeli sayuran organik.