Mohon tunggu...
Fatima Ulya S
Fatima Ulya S Mohon Tunggu... -

remaja bercermin pada air. dan bayangannya terbawa riak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar?

15 Mei 2016   13:06 Diperbarui: 15 Mei 2016   13:11 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

belajar /bel·a·jar /v 1 berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu: adik ~ membaca; 2 berlatih: ia sedang ~ mengetik; murid-murid itu sedang ~ karate;3 berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman;~ jarak jauh Dik cara belajar-mengajar yang menggunakan media televisi, radio, kaset, modul, dan sebagainya, pengajar dan pelajar tidak bertatap muka langsung; ~ tuntas Dik pendidikan (pengajaran) yang dilakukan secara menyeluruh hingga siswa berhasil;

Saya miris sekali melihat keadaan murid yang belajar di Indonesia saat ini. Sepertinya program wajib belajar 9 tahun atau 12 tahun itu tidak ada gunanya. Seperti dilihat dari pemahaman belajar adalah memperoleh ilmu. Sedangkan saya banyak melihat murid Indonesia hanya sekedar belajar dan memperoleh nilai. Bukannya mencari ilmu tapi mencari nilai.

Dilihat dari sekolah tingkat TK. Sekarang banyak TK yang sudah mengajarkan berhitung pada murid-muridnya. Mengajarkan bahasa inggris. Saya sekarang kelas 11. Waktu dulu saya TK ingatan saya hanya bermain dan belajar membaca dan menulis. Berhitung pun tidak lebih dari sekedar tambah kurang. Tidak sampai ke kali dan bagi. Beberapa waktu yang lalu saya melihat anak TK yang pusing karena gurunya memberikan PR dan PRnya berupa kali dan bagi. Mungkin bagi orang tua senang melihat anaknya pintar berhitung. Namun, yang terjadi menurut saya adalah kejenuhan. Nantinya saat anak bertumbuh besar anak akan jenuh dan malas dengan PR.

Betapa banyak anak kecil yang pintar berbahasa inggris sekarang. Namun mereka terkadang lupa dengan bahasa ibu mereka. Apalagi bahasa daerah. Banyak anak muda Indonesia yang saya kenal malu untuk berbahasa daerah karena dianggapnya bahasa daerah itu kuno, jadul, dan aksennya memalukan. Padahal bahasa daerah adalah harta karun budaya suatu daerah. Sebuah entitas daerah menurut saya pertama ditentukan oleh bahasa daerah, baru budayanya. Karena bahasa itu sendiri merupakan budaya, kan?

Bukan sekali dua kali saya melihat pencontekan. Kadang saya berpikir, kok kayaknya sekarang mencontek sudah bukan hal tabu lagi? Padahal waktu saya SD mencontek itu haram hukumnya. Padahal murid itu 

murid/mu·rid/ n orang (anak) yang sedang berguru (belajar, bersekolah)

Jadi mestinya nggak ada kegiatan lain selain belajar. Selain memperoleh ilmu. Tugasnya murid, ya, belajar. Cuma di masa ini banyak yang menganggap sekolah ya sekolah saja. Pergi ke sekolah tanpa tujuan tertentu. Padahal berapa banyak uang yang dihabiskan orang tua untuk membiayai sekolah yang kini semakin mahal. Banyak orang lain yang tidak bisa sekolah. Tidak bisa punya seragam sekolah. Dan di sisi lain ada orang yang membuang kesempatan untuk sekolah.

Di sini saya berharap semoga murid Indonesia lebih sadar akan makna belajar. Karena belajar itu sendiri bermanfaat. Belajar akan mengasyikkan dengan cara belajar tiap orang. Dan belajar itu jelas, menambah wawasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun