Mohon tunggu...
Ulvia Nur Fianti
Ulvia Nur Fianti Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer and Student

1.Aktivis Intellectual Movement Community (IMC) 2.Ex Ketua YBM BRI Kanwil Malang - KC Jember 3.Ketua Departemen RnI KSEI 4.Kader PMII Rayon FEBI 5.Tutor Obama Learning Center 6.Freelancer and Student of Islamic Banking Dept.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Analisis Dampak Covid-19, Pertaruhan Ekonomi Vs Kesehatan

21 Maret 2020   20:45 Diperbarui: 21 Maret 2020   21:09 17066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perang Dampak Ekonomi Vs Kesehatan

Virus Corona atau yang dikenal dengan Covid-19 terus menjadi menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat dunia. Bagimana tidak?  Dilansir dari John Hopkins University per Sabtu (21/3/2020) pagi, jumlah total kasus Covid-19 di seluruh dunia telah mencapai 271.629 kasus. Dari banyaknya kasus-kasus tersebut, terjadi 11.282 jumlah angka kematian dengan jumlah 87.403 pasien sembuh. Meskipun angka kesembuhan cukup tinggi, Covid-19 menyebar sangat cepat sehingga Covid-19 atau coronavirus disease oleh WHO (World Health Organization) telah resmi dinyatakan sebagai pandemi pada 11 Maret 2020 lalu. Pandemi sendiri merupakan wabah penyakit global, dimana suatu penyakit dinyatakan sebagai pandemi jika melewati fase wabah dan epidemi, adapun coronavirus disease atau Covid-19 ini telah menginfeksi 114 Negar per (21/3/2020). Di Indonesia sendiri, per (21/3/2020) jumlah pengidap Covid-19 menurut penuturan Juru Bicara Pemerintah untuk coronavirus Achmad Yurianto, telah mencapai total kasus sebanyak 369 kasus positif ,dengan angka kematian 32  orang dan 17 orang lainnya dinyatakan sembuh. Angka yang cukup mengejutkan bagi masyarakat Indonesia yang baru merasakan dampak wabah yang cukup signifikan di bulan ketiga ini.

        Berbicara Covid-19, Disini akan kita kaji seberapa jauh dampak Covid-19 terhadap perekonomian yang ada di Indonesia. Covid-19 telah menjungkirbalikkan proyeksi ekonomi Negara yang menggunakan sektor pariwisata sebagai leading sector pertumbuhan ekonominya, tidak terkecuali Indonesia. Dampak adanya Covid-19 terhadap sektor pariwisata bermula ketika Pemerintah Tiongkok melarang warganya untuk melakukan kunjungan ke luar Negeri, yang mana kita tahu wabah pertama coronavirusdisease, berada di kota Wuhan, Tiongkok pada akhir tahun 2019.  Hal ini berdampak kepada berkurangnya turis asing ke Indonesia pada tahun ini. BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat, Tiongkok menempati urutan ke dua (2) asal kunjungan wisatawan mancanegara terbanyak selama tahun 2019 di Indonesia, yaitu dengan jumlah 2, 072 Juta kunjungan atau kurang lebih sekitar 12 % dari 16 juta wisman (wisatawan mancanegara) yang berkunjung ke Indonesia. Oleh karena itu, dengan menurunnya angka wisman Tiongkok hal ini berpengaruh terhadap turunnya devisa negara. Nia Niscaya Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran II Badan Ekonomi Kreatif dan Pariwisata (BEKRAF) menyatakan, Jika masalah coronavirus  bertahan hingga akhir tahun 2020, maka Indonesia dapat kehilangan Rp 40 triliun devisa dari pasar turis Tiongkok. Data dari Badan Ekonomi Kreatif dan Pariwisata (BEKRAF) Indonesia, dalam kurun waktu 1 tahun, turis Tiongkok yang datang ke Indonesia mencapai 2,1 juta orang per tahun. Analoginya, jika 1 orang turis Tiongkok setiap datang ke Indonesia bisa menghabiskan kurang lebih US$ 1400 atau sekitar 19 juta rupiah dalam 1 tahun, Makah hal ini menyebabkan pendapatan devisa negara melalui sektor pariwisata berpotensi dalam jangka waktu 1 tahun ini kehilangan sebesar Rp 40 triliun. Potensi kehilangan ini semakin jelas, ketika masakapai perbangan baik asing maupun nasional menunda sejumlah jadwal penerbangan, dari dan menuju semua destinasi di wilayah Tiongkok. Terhitung pada tanggal 5 Februari 2020, Pemerintah Tiongkok menghentikan sementara pemberian fasilitas visa kepada warganya untuk melakukan kunjungan bebas hambatan antarnegara. Kementrian Perhubungan Republik Indonesia juga melarang 5 maskapai nasional : Garuda Indonesia, Citilink, Batik Air, Lion Air, dan Sriwijaya Air untuk membatalkan perjalanan dari dan menuju Tiongkok sebagai upaya mitigasi penyebaran Covid-19 di Indonesia, padahal mulanya menurut data dari Kementrian Perhubungan, maskapai Garuda Indonesia  melayani 30 frekuensi penerbangan setiap minggu ke Tiongkok, adapun Lion Air menunda 15 perjalanan ke Tiongkok. Tidak hanya Tiongkok saja, Wabah Covid-19 juga dapat menghambat wisatawan Amerika dan Eropa yang hendak berkunjung ke Indonesia, sebab banyak maskapai penerbangan Indonesia yang harus transit dulu ke Tiongkok. Prediksi dari BEKRAF Indonesia, melansir faktadata hingga bulan Juni 2020 akan kehilangan kurang lebih 40.000 orang wisman dari 10 negara di Eropa yang memiliki penerbangan transit melalui Tiongkok. Selain itu, Standard and Poor’s (S & P) global ratings menyatakan, Pemerintah Tiongkok menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasionalnya, dari sebelumnya 5,7% menjadi 5% akibat pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan tahun 2020 akan menjadi laju perkembangan ekonomi terburuk negara Tiongkok selama 29 tahun terakhir, dan Standard and Poor’s memperkirakan dan berasumsi bahwa perekonomian Tiongkok baru akan pulih dari Covid-19 pada kuartal ke III tahun ini.

        Negara kita Indonesia, sangat senstif dengan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang memburuk. Menurut faktadata, Penurunan 1% pertumbuhan ekonomi Tiongkok di tahun 2020 bisa berdampak sekitar 0,3% terhadap perekonomian yang ada di Indonesia. Sekertaris Kemenko Perekonomian Susiwijono menyatakan, Pertumbuhan ekonomi Indonesia mempunyai potensi tergerus hingga 0,11% sampai dengan 0,30%. Namun, Susiwijono tetap yakin perekonomian Indonesia tetap mencapai target 5,3% tahun ini. Kembali ke bahasan sebelumnya, mengapa pertumbuhan ekonomi Tiongkok sangat sensitif terhadap perekonomian Indonesia? Hal itu dikarenakan Tiongkok merupakan mitra dagang utama atau terbesar dari Indonesia.

           Dilansir dari data BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia pada tahun 2019, Ekspor non migas ke Tiongkok sebesar US$ 25,8 milyar atau setara dengan 353,3 triliun. Dari data tersebut, presentase ekspor non migas Indonesia kepada Tiongkok menduduki angka 16,7% dari total ekspor non migas yang ada. Angka ini cukup besar, kemudian beralih ke angka Impor Indonesia terhadap Tiongkok sebesar US$ 44,58 atau sebesar 611 triliun. Memegang presentase 30 % dari angka impor non migas Indonesia secara keseluruhan. Menurut catatan Kemenperin, sekitar 30 % impor bahan baku industri manufaktur berasal dari Tiongkok. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan, harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan bahan baku di negeri sendiri dan negara lain.  Selain itu pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga sangat sensitif terhadap Indonesia, dikarenakan faktor lain yaitu Investasi. Investasi PMA (penanaman modal asing) terus meningkat beberapa tahun terakhir dan Investor terbesar kedua pada tahun 2019 adalah Tiongkok. Faktadata menyebutkan, Tiongkok berinvestasi kepada Indonesia senilai US$ 4,7 milyar atau setara 64,4 triliun atau sekitar 16,8% dari total PMA keseluruhan.

       Jadi, Indonesia yang bergantung pada Tiongkok, atau sebaliknya? Menurut penulis, Tiongkok dan Indonesia ibarat simbiosis, saling menguntungkan, kadang merugikan, akan tetapi tetap saling membutuhkan. Bagaimana menurut kalian?

Lockdown Indonesia dari Covid-19, Perlukah?

            Dalam kondisi saat ini, Coronavirus disease atau Covid-19, merupakan issue yang lit di dunia kesehatan. Akan tetapi sebelum kita membahas lebih lanjut, perlu atau tidak lockdown diterapkan, kita lihat dulu urgensinya. Tidak dapat disangkal, ketika terjadi lockdown tentu ada sebuah pengorbanan ekonomi yang cukup besar dan harus diperhitungkan. Tetapi terkadang, pengorbanan itu memang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan yang lebih baik, dalam hal ini konteksnya adalah kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Secara logika, perekonomian suatu negara tidak bisa berjalan dengan baik jika kesehatan warganya terganggu, Dan juga urgensi perlu tidaknya lockdown ini yang paling berwenang menentukan disamping pemerintah adalah para ahli dan pakar kesehatan, Mengapa? Karena, tentu mereka lebih mengetahui sampai titik mana tingkat bahaya dari wabah ini sehingga lockdown wajib dilakukan. Ahli kesehatan dan matematik tentunya sudah memprediksi angka maksimal korban yang akan berjatuhan dengan pola seperti ini. Dengan meningkatkatnya pengidap Covid-19 di Indonesia yang bisa dikatakan cukup drastis, tentu sangat mengkhawatirkan bagi kita, masyarakat Indonesia. Bagaimanapun juga ini adalah pandemi bukan sekedar wabah biasa,WHO (World Health Organization) sebagai organisasi kesehahatan dunia mengemukakan untuk menghentikan penyebaran pandemi ini harus ada titik dimana kita bisa melakukan lockdown atau tidak, akan tetapi hal ini masih bersifat debatable, yaitu menimbulkan pro dan kontra. Tetapi secara ekonomi jelas sekali menimbulkan dampak signifikan, setelah kita tadi berbicara dampak terhadap pariwisata dan ekspor-impor, juga berdampak terhadap cost (biaya) yang besar. Tentunya selama lockdown dilakukan, Pemerintah harus menyiapkan cost yang besar bagi masyarakat yang diisolasi. Dan hal ini semua bergantung kepada policy atau kebijakan yang diterapkan pemerintah. Dan tentunya, yang paling perlu ditolong jika lockdown ini diterapkan adalah masyarakat kelas bawah. Di dalam kelompok masyarakat di negara kita, berdasarkan ekonominya terbagi menjadi 3 kelas masyarakat, yaitu : Mayarakat golongan atas, menengah, dan bawah. Yang paling terpengaruh dari adanya lockdown ini adalah kelas bawah, Mengapa? Karena kelas menengah ke atas masih memiliki kemampuan untuk mengabsorbsi dampak dari adanya lockdown tersebut, policy atau kebijakan dalam ini sangatlah penting karena ini menyangkut hidup dan mati masyarakat Indonesia. Seperti Negara Australia misalnya, setiap keluarga yang eligible mendapat A$ 750, dengan syarat harus mematuhi peraturan yaitu diam di rumah dalam kurun waktu 2 minggu lamanya, jadi dibutuhkan policy yang kurang lebih seperti itu.

            Sebelum terjadi full lockdown, Pemerintah juga harus mempertimbangkan secara matang potensi kerugian (loss) nya , seperti berkurangnya pendapatan karena tidak ada kegiatan juga harus dihitung dan jumlah penerimaan yang hilang dan lain sebagainya, dalam hal ini sepertinya pemerintah Indonesia masih tahap proses pengakjian lebih lanjut. Hal yang perlu diketahui lagi, biasanya dengan pemerintah menerapkan lockdown maka akan menimbulkan kepanikan terhadap masyarakat, impact nya masyarakat berpotensi melakukan panic buying yang juga akan menimbulkan kenaikan harga, misalnya kita lihat kasuistik yang terjadi akhir-akhir ini di negara kita, yaitu fenomena mahalnya harga masker melebihi standar harga jual dan lain sebagainya. Itu masih contoh kecil, jika skalanya nasional misalnya? Yang di lockdown tidak hanya DKI Jakarta saja, Maka tidak menutup kemungkinan juga berimbas kepada kenaikan harga-harga bahan pokok yang ada di Indonesia, karena bagaimanapun masyarakat yang diisolasi tentu memerlukan ketersediaan (supply) bahan pokok.

            Selain itu, dengan adanya full lockdown tentu banyak sektor bisnis yang terkena dampaknya, Secara otomatis revenue atau pendapatan pemerintah daerah juga berkurang dalam skala nasional karena tidak adanya aktivitas bisnis, akan tetapi sekali lagi berapa besar pun cost yang dikeluarkan, benefit atau manfaat yang kita peroleh tentu lebih besar dari adanya kesehatan itu, karena menghitung nikmat sehat itu tidak semata-mata selalu bisa diukur dari sisi ekonomi saja, dampak atau impact nya akan meluas hingga ke society as a whole.

          Coba kita lihat lagi data masyarakat yang terinfeksi Covid-19 di atas, Data tersebut adalah data yang telah terdekteksi oleh pemerintah, atau bisa jadi kenyataannya lebih dari itu, hanya saja belum teridentifikasi, Yang mana kita ketahui apabila tidak dilakukan langkah antisipatif atau mitigasi penyebaran, maka wabah ini akan terus meningkat kasusnya dan kasusnya bisa terus melonjak tinggi. Kemungkinan yang paling menakutkan adalah akibat pasien yang terus melonjak tinggi, jumlah kasus akan melebihi kapasitas tim medis dan juga rumah sakit. Semoga saja mimpi buruk itu tidak akan pernah terjadi di negara kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun