Beberapa tahun lalu Indonesia telah digegerkan dengan tenaga kerja asing yang berbondong-bondong pergi ke Indonesia Indonesia. Memasuki tahun kedua, bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara telah berintegrasi dengan para ekonom bangsa Indonesia dalam bentuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Persaingan pasar bebas telah dimulai, akan tetapi Indonesia sebagai penganut faham ekonomi campuran seolah merasa biasa saja dan berada di comfort zone khususnya terkait dunia perbankan di Indonesia.
Padahal dengan adanya MEA para bank luar negeri akan lebih expansif lagi untuk merambat ke pangsa pasar yang tidak akan pernah dijangkau oleh bank-bank yang ada di Indonesia dan perbankan Indonesia harus siap bersaing dikawasan ASEAN saat pemberlakuan integrasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) untuk sektor perbankan pada tahun 2020 nanti. Meskipun perbankan nasional dinilai telah memiliki ketahanan seperti terlihat dalam pertumbuhan kredit akan tetapi dari segi aset dan modal perbankan Indonesia masih tertinggal jauh dengan adanya bank-bank asing.
Tidak dapat dipungkiri bahwa MEA dapat menjadi salah satu berkembangnya budaya homo economi lupus[1] yakni dimana yang kuat memangsa yang lemah. Jika kita membaca dari segi pendapatan nasional negara-negara Asean maka disana terdapat gap (kesenjangan) antara highestdan lowest. Semua itu dapat dibuktikan oleh data Gross Domestic Product (GDP) perkapita para negera Asean tahun 2016 , dimana terpat gap yang sangat fatal di antaranya yakni GDP Singapura sangat terpaut jauh dengan GDP Papua New Gunie (Papua Nugini) yakni US $ 87.100 banding US $ 3.500. Jika dibanding Indonesia saja, selaku negara berkembang yang  memiliki perekonomian sedikit lebih maju daripada Papua Nugini, GDP Singapura masih tidak bisa terjangkau oleh bangsa Indonesia  yakni US $ 87.100 banding US $ 11.700.[2]
Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi kita bangsa Indonesia yang menjadi salah satu persemakmuran mereka, bagaimana kita bisa menyetarakan GDP yang terpaut sangat jauh tersebut bahkan kita harus berfikir secara kritis dan analitis bagaimana kita bisa berada beberapa tingkat diatas mereka, bukan berada di zona nyaman dan aman dengan GDP yang kita peroleh hari ini. Sangatlah Ironi jika Indonesia yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah tidak bisa menyaingi negara kecil seperti Singapura yang tidak ada apa-apanya dengan Indonesia dari segi SDA dan posisi geografis nya.
Disini kita harus intropeksi diri, Apa yang salah dengan Indonesia? ternyata disini dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah penduduk dan luas negara yang besar bukanlah hal yang patut di banggakan atau menjadi aspek prioritas dalam bersaing dengan negara lain tapi yang harus digaris bawahi disini adalah bagaimana bersaing dalam kualitas SDM yang mengedepankan kesejahteraan warga negara.
Tidak hanya stagnan dalam meningkatkan kualitas SDM saja, akan tetapi setelah peningkatan SDM terlaksana maka harus terdapat output berupa inovasi-inovasi kreatif yang diciptakan dari SDM yang berkualitas untuk membaca peluang pasar di era MEA. Bagaimanapun perbankan di Indonesia dituntut untuk bisa bersaing dengan bank-bank asing seperti Maybank atau DBS yang memiliki modal dan aset yang jauh lebih besar dibandingkan bank nasional terbesar sekalipun di Indonesia.
Di sini, salah satu opsi untuk menaikan jumlah pendapatan atau sumber dana perbankan di Indonesia satu tingkat dari semula adalah dengan cara konsolidasi.Dengan cara tersebut maka memungkinkan sekali Perbankan di Indonesia dapat setara dengan Perbankan yang ada di Negeri Jiran Malaysia karena bagaimanapun bagian yang terpenting untuk bersaing dengan bank di era Global adalah menyusun strategi, Mengapa kita harus melakukan konsolidasi?
Karena dalam bersaing kita tentu membutuhkan modal yang besar, karena penguatan modal merupakan syarat wajib melakukan ekspansi. Bagi The Financial Industry,modal menjadi sumber daya utama. Â Jika di analogikan dalam kegiatan peperangan, modal menjadi sebuah senjata untuk berperang, berperang di sini maksudnya adalah berperang di era ekonomi global, dan hal tersebut bersifat mutlak. Ada banyak opsi untuk memperkuat permodalan, Dan jika kita belajar dari pengalaman-pengalaman Indonesia di masa lalu dan juga jika melihat pengalaman dari Negara lain yang memiliki kemajuan di sektor Perbankan seperti Malaysia misalnya, Konsolidasi menjadi strategi yang ideal untuk memperkuat modal bank.
Mengutip perkataan Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono menyatakan berlaku formula atau rumus "size does matter"[3]Â yang berarti siapa yang besar skala bisnis dan asetnya , maka bank itu akan semakin efisien. Hal itu pernah dilakukan oleh Malaysia dan terbukti hasilnya sangat luar biasa dan patut di contoh. Dengan adanya konsolidasi tersebut berarti kita meningkatkan efektivitas kinerja bank untuk memperoleh sumber dana yang besar, yakni dengan meringkas. Misalnya sekarang, sektor perbankan di Indonesia yang berjumlah dari 199 bank diringkas menjadi 70 bank dengan cara melakukan konsolidasi.
Menilik dari adanya pengalaman di masa silam, sepertinya konsolidasi bukan menjadi hal yang baru bagi Indonesia. Dan saatnya hal ini menjadi suatu spirit untuk menjadikan sektor Perbankan di Indonesia menjadi lebih baik. Jika kita melihat pengalaman panjang mergerbank sebelum dan pada saat krisis ekonomi tahun 1998 lalu, terbukti konsolidasi melahirkan bank yang sehat dan kuat. sehat dan kuat disini adalah dapat bersaing luwes dengan pangsa pasar juga jauh dari ancaman pailit.
Pada tahun 1998 lalu, Indonesia menggabungkan empat bank pemerintah sekaligus yakni Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor, dan Bank Pembangunan Indonesia menjadi Bank Mandiri. Dan sampai saat ini terbukti Bank Mandiri masih menjadi bank konvensional terbesar di Indonesia.