Mohon tunggu...
Uluk Suharsi Putra
Uluk Suharsi Putra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mencoba untuk sebisa mungkin menulis, berkata dan melakukan apa yang tersimpan di hati

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gugur, Bersemi Teratai Hati Rianti

22 September 2011   02:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:44 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi yang begitu cerah. Matahari bersinar tanpa malu-malu dari ujung timur, merambat terus menggapai langit yang siap mendekap. Angin sepoi berhembus, membelai terus helaian daun dan menimbulkan suara lembut. Membangunkan setiap makhluk untuk bergerak. Mereka semua bersujud pagi ini. Begitu juga dengan perasaan Rianti.

Setelah shalat Shubuh, Rianti langsung mempersiapkan semua buku pelajaran. Hari pertama sekolah setelah liburan semester. Dia begitu bersemangat. Bersemangat untuk bertemu kembali dengan teman-teman sekolah yang sekitar dua minggu tak jumpa. Kembali menikmati setiap jam pelajaran dengan ceria dan sedikit canda khas anak sekolah. Rianti tersenyum halus dan merasakan lompatan-lompatan senangnya untuk menyambut hari ini. Tapi bukan itu, ada sesuatu yang lain dan baru.

Mata Rianti semakin berbinar. Tabuhan genderang di dalam hatinya pun akhir-akhir ini semakin nyaring. Saat ini semakin sering matahari bersinar dan tak mau tenggelam di mata Rianti. Semakin sering juga Rianti merasakan degup jantungnya berlarian tak menentu. Terlebih ketika dia melihat kilatan cahaya di matanya. Mata seorang pemuda yang tak pernah disangka bisa dia lihat secepat itu. Cinta datang ketika dia tak meminta.

Pemuda ini berasa luar biasa, pancar matanya yang begitu tajam menatap. Bercahaya tanpa memberikan kesempatan dia untuk berlari dan menghindar. Rianti bergeming. Dia tak tahu harus berbuat apa. Udara yang sampai ke parunya juga terasa terhambat ketika pemuda itu menghampiri. Dengan memberikan senyuman yang seakan luncuran udara dingin membeku, membuat dia terpaku dan hanya menjulurkan tangan. “Ramdhan”, begitu bisiknya lembut ke telinga Rianti. Suara yang begitu menghipnotis dia dan hanya membalas dengan bisikan tergagap, “R…R…Rianti”. Pertemuan di festival band remaja itu menjadi awal perkenalannya dengan sang pujangga. Pujangga yang bukan lagi setiap saat membisikkan kata cinta tapi setiap liuk udara yang masuk ke aliran darahnya. Hingga sekarang.

Seperti yang sudah dijanjikan padanya tempo hari, sang pujangga telah menunggu di depan rumahnya. Senyum manis mekar bak teratai di riuhnya hujan menyambut Rianti pagi ini. Dan dengan kesigapan bersedia menemani Rianti sepanjang jalan ke sekolah. Mereka tertawa sepanjang jalan. Mereka menarikan setiap liuk dari pasangan yang sedang jatuh cinta. Genderang di hati mereka menjadi irama, lantunan langkah kecil angin di dedaunan menjadi pengiringnya. Setiap koreografinya mereka serahkan pada mentari yang menghangatkan dan menyinari. Alangkah indahnya pagi di awal hari ini. Tak peduli ada tidaknya mata yang mengintip, mereka terus menyerahkan diri pada cinta.

Waktu terus berlari meninggalkan mereka berdua. Tak mau peduli akan yang mereka lantunkan dan mainkan, hingga terlupa. Ramai, gemuruh asmara di mana-mana. Hingar bingar hati dan pergelutan suara yang tak lagi bernuansa cinta. Rianti tergoda. Ramdhan hanya senyum dengan mulut menganga. Terlintas hanya gairah dan ingin meraba mulusnya paha. Mungkin akan lebih dari itu kalau dia semakin pintar lagi menggoda. Akhirnya, Rianti hanya mengerjap-ngerjapkan mata. Tak ingat lagi pijakan, hanya mabuk dan nikmatnya dunia.

Di lingkar setan,

“Sialan! Gak pake pengaman”

***

Dia tahu ayahnya menahan marah, yang dia lihat seakan hendak meluncur keluar dari ubun-ubun. Dia melihat hampir saja bapak mendaratkan tangan kanan ke pipinya. Rianti, hanya tersedu menangis dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan saking takut. Tangisnya meledak di sepi malam. Setelah itu yang Rianti dengar hanya bantingan pintu kamar. Rianti berlari masuk kamar. Adik dan ibunya hanya terdiam. Terdiam di bekunya malam.

Malam lewat dengan menimpakan bebannya pada Rianti. Dia merasa tak berharga dan kecewa akan dirinya sendiri. Sesal menjalar menyelimuti Rianti, mencekik tanpa tahu bagaimana cara dia melepasnya. Dia kecewa pada kelemahan dirinya sebagai seorang anak. Dia terus bertanya, kenapa dengan begitu mudahnya dia melarutkan itu hanya untuk kesenangan semu dan janji tak pasti. Janji monyet! Janji yang membuat dia hamil tiga bulan. Dia telah berbadan dua meski belum bersuami. Dia telah menyerahkan kehormatannya pada seorang pemuda. Pemuda yang sekarang lari entah ke mana.

Malam melingkarkan pelukannya pada Rianti. Dia tertidur dengan isak tangis yang baru sajaterhenti. Malam hanya melihat dan berlalu. Tanpa tahu-menahu. Badan Rianti melingkar seakan berkata jangan lagi kau sentuh aku. Rianti berharap bisa bangun dari mimpi lebih awal. Hingga dia sadar dan mencegah daging dalam rahimnya menggumpal.

“Ya sudahlah, aku tak mau lagi tertelan dosaku sendiri. Akan aku berikan hidup pada jabang bayi. Biar bapaknya terbirit lari. Tak akan mau aku takut akan hidup yang mengebiri”.

***

Lima tahun berlalu sudah, meninggalkan banyak pahatan dan sakit dalam hatinya. Rianti kini sudah semakin dewasa, sudah hampir berumur dua puluh dua. Telah banyak pelajaran hidup yang sudah dia terima. Mulai dari dipaksa menikahi pemuda yang sama sekali tak disukainya. Jika tahu semuanya akan terjadi seperti itu, aku akan kembali berpikir ribuan kali untuk hamil muda. Mas Doni, anak dari juragan ikan yang ada di kampung. Senyum mas Doni saja sudah cukup membuat dia berpikir dua kali untuk makan meski perut lapar meronta. Bau badannya yang sama sekali tak menyenangkan, bau ikan yang dia jual mungkin lebih enak baunya.

Kini, enam bulan tak terasa semenjak Doni pergi meninggalkan dia lantaran bertemu dengan gadis muda, yang pastinya masih perawan. Untung saja dia tak lagi memberi Rianti anak. Entah kenapa, mungkin karena baunya sperma pun tak mau tumbuh dalam tubuhnya. Rianti yakin gadis itu juga akan menutup mata apalagi hidung ketika bercinta, hanya uang yang dikantungi yang akan membuat dia buka mata. Ha…ha…ha… Jahat! Setidaknya itu yang pernah terlintas di pikirannya. Ketika memilih untuk membesarkan anak dari Ramdhan, lelaki yang hingga kini tak juga mau diakui kalau ada.

“Beruntung kamu masih ada yang mau Rianti, ada yang mau bertanggung jawab dan mengurus kamu dan anak kamu. Pikirkan masa depan anak kamu, jangan egois! Bapak sudah cukup lelah hanya untuk mengurus dirimu, sekarang ditambah anakmu lagi.”, bujuk bapaknya dulu ketika memaksa Rianti menikah dengan Doni. Terasa seperti hempasan meriam di kepalanya. Rianti merasa tak memilik banyak pilihan saat itu, disamping juga rasa bersalah yang dia miliki atas bapaknya. Dia terpaksa menerima pinangan Doni ketika anak Ramdhan masih berumur tiga minggu dan masih terlihat begitu merah bagi dia. Dia masih berharap Ramdhan datang dan mencegahnya menikahi pemuda yang membuat dia sendiri tak mau berlama menatapnya. Rianti masih saja menyimpan ruang kosong untuk Ramdhan dalam hatinya.

Berulang kali dia berusaha menghilangkan bayangan-bayang akan wajah Ramdhan dari hidupnya, berulang kali pula bayangan itu menusuk kembali. Berusaha untuk membenci juga tak banyak membantunya. Benci untuk apa? Meninggalkan dia dan anak yang kini dibesarkannya? Itu bukan sesuatu yang pantas untuk dibenci. Melihat wajah anak itu saja membuat dia semakin tersenyum lebar, bukan antipati yang dirasa. Lalu apa yang seharusnya Rianti rasa untuk dia?

Mungkin saja saat itu Ramdhan takut dan meninggalkan untuk kebaikan mereka berdua. Toh, saat itu mereka masih sama-sama muda dengan ego yang masih meledak-ledak. Rianti berumur enam belas tahun dan Ramdhan sembilan belas tahun. Mungkin saja dia akan kembali dan menanyakan anak yang pernah dititipkan padanya. Mungkin saja… Rianti masih berharap dan terus berharap dirinya masih kuat untuk siap menerima dia. Seandainya saja suatu saat dia berani menampakkan lagi batang hidungnya.

***

Riuh rendahnya suara dari para tamu yang saling bertukar kata dan berbincang terdengar di pesta pernikahan itu. Sebuah pesta pernikahan yang bisa dikatakan cukup besar. Pesta pernikahan yang diadakan di sebuah gedung pertemuan dangan dekorasi yang luar biasa. Bunga berwarna-warni di depan gapura dan di sekeliling pelaminan. Pengiring pengantin yang berjejer dengan busana yang tak kalah menggoda. Beberapa hidangan makanan pun tersebar, mulai dari makanan tradisional hingga makanan barat yang sangat menggugah selera. Semua tertawa. Semua merasakan atmosfir bahagia. Sebuah bingkisan dari mempelai pria.

Di panggung sana, kedua mempelai saling tak mau melepas pandangnya. Setiap ada jeda menyalami para undangan keduanya bertatap dan saling bertukar gelora cinta. Gelora yang sepertinya tak pernah sekalipun padam meski pernah terpisah masa. Semua berlangsung seolah yang pernah mereka tempuh hanyalah bagian dari cerita. Tak pernah ada rasa pedih atau pun kecewa. Terpenting hanyalah yang ada saat ini. Dan satu senja…

Senja yang tak pernah disangka jadi awal dari cerita bahagia, yang lakonnya adalah mereka. Satu senja ketika mereka hanya berdiri dan terdiam untuk sementara, yang akhirnya meledakkan tangis dan peluk. Sebelumnya, Rianti hanya teringat dia tak mau memberi peluk itu. Dia hanya berusaha untuk tetap mengendalikan emosi yang dia rasa. Dia merasa ada amarah. Dia merasa ada jengkel yang tiada tara. Ingin rasanya dia melayangkan tamparan di muka. Tapi semuanya terkalahkan dengan lega dan peluk yang melingkup sekejap mata. Satu hal yang ingin sekali dia lakukan dan terus lakukan, meneteskan air mata juga di pundaknya. Pundak seorang pemuda yang kini telah menjadi seorang pria. Ramdhan kembali untuknya.

Tidak banyak yang bisa dia ceritakan dan Ramdhan juga tak banyak berkata. Ada binar mata yang tak pernah pudar dari mata Rianti, dia juga melihat cahaya di mata Ramdhan yang tak pernah padam dan terus bergelora.

“Maafkan aku karena telah bodoh dan meninggalkanmu. Tak banyak yang bisa aku perbuat untukmu selama lima tahun ini. Aku juga tak berkata-kata sebelum aku pergi dan hanya membuatmu tak berharga dan merasa terbuang. Mungkin kini sudah terlambat bagiku untuk memperbaiki semuanya. Aku juga tak berharap maafmu, karena siapa pun mungkin akan terasa berat untuk memberinya. Aku mengerti kamu tersakiti. Aku mengerti juga kalau kamu merasa ingin sekali menusukkan bilah pisau dan mengeluarkan semua isi perutku yang kurasa tak akan mungkin cukup menebus seluruh dosa”, Ramdhan bertutur dengan pelukan yang semakin erat.

“Izinkan aku mengabdikan seluruh sisa hidupku untuk menjagamu. Aku bersumpah kali ini tak akan pernah meninggalkanmu. Aku telah banyak belajar, sejauh apa pun aku pergi…kaki ini tak pernah bisa terlepas dari talimu”. Mereka berpelukan semakin erat, dan Rianti hanya menjawabnya dengan anggukan dan tetes mata.

Rianti tak mungkin akan lupa. Satu senja yang telah merubah seluruh hidupnya. Semua rasa perih. Semua rasa kecewa. Semua rasa terabaikan dan terbuang. Semua itu rasanya dengan mudah menguap entah kemana. Terpenting buat dia adalah sekarang, dia dan cinta yang tetap dinantinya dengan percaya. Masa depan dengan permata hati. Dan semoga yang mengalami hanya cukup dirinya, tidak untuk puteri kecilnya.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun