Mohon tunggu...
Uluk Suharsi Putra
Uluk Suharsi Putra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mencoba untuk sebisa mungkin menulis, berkata dan melakukan apa yang tersimpan di hati

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Asingkah Dia?

23 September 2011   08:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sudah satu jam lebih dia menatap dirinya dalam-dalam. Termenung sendiri dalam kebisuan dan keterasingan. Asing akan dirinya sendiri yang sekarang. Asing pula akan udara yang perlahan mencubiti dengan kejam dinginnya.

Sungguh asing bukanlah hal yang baru buat dia. Asing sudah akrab semenjak dia dilahirkan. Asing akan ibunya yang lebih sibuk dengan arisan. Asing akan bapaknya yang lebih senang berada di gedung perkantoran. Asing karena asing yang membuat dia merasa tak pernah kenal mereka. Adakah yang lebih dekat dari keterasingan? Urat nadinya pun masih perlu dia raba dan cari. Lebih jauh. Sedang asing, ketika dia terbangun pun asing telah memeluknya. Seolah hendak melambungkan dan terus menenggelamkan hingga dia ujungnya mengerti. Asing tak mungkin pergi dan lebih jauh lagi.

Dia ingin mengisap rokok saat itu. Tapi sial, keadaan dia saat ini tak mengizinkan. Dia harus bisa lebih menjaga diri. Dia sudah berhenti. Bahkan dia sudah bertaubat. Tak mau lagi menyentuh apalagi mengepulkan uapnya ke udara. Baginya, rokok adalah sesuatu yang haram untuk dinikmati sekarang. Rokok akan membalikkan badan dia ke posisi sebelumnya. Keadaan di mana asap rokok menemani dengan temaramnya lampu diskotik dan kerasnya hawa alkohol.

Hawa alkohol yang juga haram baginya sekarang. Dulu, meskipun Tuhan telah mengharamkan dia tak pernah alpa untuk menenggaknya. Satu seloki, dua gelas bahkan satu pitch penuh pun pernah meraba tenggorokannya. Menjelajah jauh ke dalam lambungnya. Mungkin berkerak lama di dalam ulu hatinya. Tapi tak pernah dia ambil pusing. Dia malah semakin rajin menghirup, semakin haus meminum. Apalagi ketika tuntutan dari teman-teman lelakinya. Ketika musik menghentak keras di lantai diskotik. Ketika setan-setan dengan dasi dan setelan mahal mereka berpesta pora.

Tapi tunggu… apakah mereka setan? Apakah berkumpul di diskotik perbuatan setan? Dia bingung. Dia tak mau menghakimi. Yang dia pernah tahu setan pernah datang dan menawarkan ngajak nyabu. Bukan nyarap bubur. Tapi nyabu! Pikiran dia mampat. Dia pikir tak ada salahnya sekali ini menikmati uap yang bisa membuat dia melayang. Sekejap menikmati indahnya melayang tanpa beban. Seperti dilambungkan ke angkasa. Seperti dia terbang dengan kuatnya sayap elang. Seperti dia berkelana dengan ringannya tiupan udara. Seketika. Seketika pula membantingnya ke bumi. Bukan tanah yang dia maksud dengan bumi. Tapi tumpukan lembut dari bed cover dan spring bed. Tanpa pakaian. Dengan setan yang terbaring di sebelahnya, terkulai lemas dan tak juga berpakaian.

Dia tak sadar dan tak juga ingat apa yang telah terjadi. Dia hanya menangis dan mempertanyakan padanya. Apa yang telah dia lakukan terhadapnya. Apa yang telah terjadi hingga mereka terbangun berdua tanpa pakaian. Terluka hati. Terluka juga badan. Dia merasakan sesuatu yang perih di daerah selangkangan. Sakit yang membuat dia tak lagi perawan. Setan! Dia tak mengharap lebih kenapa jadinya seperti ini.

Setan yang dia perkirakan umurnya lima puluh tahunan. Padahal dia masih dua puluh tahun dan masih belajar berjalan. Teganya setan membuat dia merasa bersalah karena ketidak-tahuan. Tak tahu hanya karena dia memakai rok sebatas paha, setan mengira dia diperjual belikan. Tak akan mengira jika hanya karena hobinya tinggal di tempat temaram, setan mengira dia mudah dipermainkan. Dia tak merasa ada yang salah dengan dirinya. Tak salah jika dia lebih suka disana daripada di rumah. Rumah? Hah! Tempat yang diisi hanya dia dan pembantu rumah tangga orang tuanya. Dia hanya butuh hiburan.

Tapi ya sudahlah. Sekarang itu sudah bukan lagi menjadi masalah. Dia tak mau menyalahkan. Dia menganggap semua yang terjadi adalah akibat dari semua salahnya. Tak bisa menyesuaikan. Mungkin… Dia memang hidup di tengah lingkungan yang sangat pandai untuk menghakimi. Pandai untuk menghakimi dan mengabaikan diri sendiri. Lebih pintar untuk mengorek borok yang terlihat dibanding borok yang ada di diri. Tak pandai merasakan. Lebih pandai untuk mengamati. Menghakimi dia gadis yang dengan mudahnya ditiduri.

Dia berhenti memandangi dirinya di depan cermin. Sudah cukup dia lalai dengan keterasingan akan dirinya yang baru. Dirinya di balik tabir kain yang lebih panjang menyentuh tanah. Melindungi setiap inchi dari tubuhnya. Yang dia rasa akan membuat lelaki berhenti memelototi. Karena dia hanya ingin perlindungan. Dia ingin berhenti dihakimi. Oleh lingkungan karena orang tua sepertinya tak bisa.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun