Mohon tunggu...
Uluk Suharsi Putra
Uluk Suharsi Putra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mencoba untuk sebisa mungkin menulis, berkata dan melakukan apa yang tersimpan di hati

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cahaya (Sebuah Cerita)

22 September 2011   07:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:44 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dia menyeka mata. Merasa terluka dan sejenak tersesat. Menangis, cengeng dan menyalahkan dunia akan apa yang terjadi. Berandai saja dia lebih tahu. Berandai dia mengetahui lebih dalam tentangnya.

Akhirnya seberat apa pun aku menolak

Perpisahan dan sakit akan ada dalam bagian

Cerita yang pasti akan tertulis, hingga akhirnya aku berhenti dan mati

Meneteskan air mata satu hal yang dari tadi dia belum sadari. Dia kuat, dewasa dan mandiri. Lalu, kenapa dia harus menyerah pada sepucuk surat yang akhirnya buat dia menangis dan merasa terhimpit? Perpisahan, satu hal yang dia sangat benci

Cahaya…

Maafkan ketika aku harus meninggalkanmu

Tapi jangan biarkan kau terjebak hampa, karena aku menangis

Disini, disana tak ada beda

Aku tetap perlu kamu, untuk berjalan di dunia yang kini tak sama

***

Hari-hari biasa, Safira melewati pagi dengan berjogging dan meminum dua botol susu kedelai. Tubuhnya, yang menjadi pusat perhatian dia selama lima tahun ini. Dia ingin berhenti membayangkan tua dan kehilangan lekuk tubuh indahnya, meski tak tahu sebenarnya untuk siapa tubuh itu dia pelihara. Pola hidup sehat terasa lebih rasional. Sebungkus burger yang dimakan akan dia imbangi dengan dua jam tanpa henti di fitness center. begitulah dia.

Sarapan terhidang dengan manis di atas meja ketika dia sampai di rumah besarnya. Rumah besar dengan penghuni hanya dia, lima orang pembantu, dua orang supir dan dua orang tukang kebun. Fantastis! Bisa dibilang sebuah mansion. Dia terbilang wanita yang sangat sukses di umurnya yang baru menginjak awal tiga puluh tahun. Empat biro advertising dan lima production house. Semua yang paling diinginkan setiap orang, meski dia memperoleh itu dari ayahnya. Tapi dia mempertahankan dan membesarkannya.

Sudah pasti bisa diduga, puluhan approval telah menunggu di atas meja setibanya di kantor. Janji dengan beberapa klien dan rekanan juga sudah dijadwal dengan rapi sekretarisnya. Safira sudah terbiasa dengan rutinitas dan memimpin. Dia dominan, dia wanita tegas dan wanita yang takkan mau menyerah pada negosiasi awal. Terbiasa mengejar keuntungan, setiap detik dari hidupnya harus dia manfaatkan dengan optimal. Takkan ada lamunan, takkan ada obrolan basa-basi, terutama tak ada waktu untuk laki-laki. Ya…setidaknya hingga awal tahun ini.

Awal tahun ini, ketika dia bertemu seorang pria. Seorang pria muda yang tiba-tiba bisa mengalihkan setiap bola matanya. Pria tampan berkulit coklat, dengan barisan gigi yang rapi dan penampilan bersahaja namun begitu mature. Emh…tapi bukan! Bukan karena tampan dan bukan karena kesempurnaan fisiknya yang mencuri perhatiannya. Pria tampan bukan hanya yang ini, sudah berpuluh bahkan beratus pria tampan yang pernah dia temui. Berlalu lalang, ada yang mencoba mengambil alih simpatinya, ada yang sudah sampai dengan kesediaan mengirimkan rangkaian bunga setiap hari. Setiap hari? Luar biasa… Tapi, tak ada seorang pun yang bisa mencuri rangkaian bola matanya yang begitu indah selain pria ini. Yang ini berbeda. Entah apa yang dimiliki pria ini, mungkin auranya yang menusuk dan membangkitkan semua kekaguman atau hanya sekedar desakan feromon yang membuat indera-indera nya bangkit. Pria yang tak lama kemudian dia ketahui bernama Daniel. Nama yang pria ini sendiri perkenalkan karena adalah pembicara dalam satu simposium Young Enterpreuneur di Surabaya. Pria muda yang diketahui memiliki jaringan perusahan jasa laundry dan franchise restoran ayam bakar yang terkenal di ibukota.

Safira berhenti di situ, dia berhenti dan mengendalikan diri untuk lebih tahu tentang pria muda yang sukses itu. Dia berhenti sebelum rasa ingin tahu menjadi rasa kagum dan penasaran. Dia tak ingin mulai menjadi wanita cengeng yang suatu saat bisa menangis karena romansa dan cinta yang dari dulu dia pikir cuma omong kosong. Omong kosong karena telah merenggut ayah dan ibunya di saat dia belum siap menghadapi dunia seorang diri. Perselingkuhan, kebohongan dan pertengkaran yang telah merenggut semua orang yang mungkin, mungkin bisa mengajari apa itu cinta. Memberikan makna dan ikut merasakan, bukan hanya ucapan “Aku cinta kamu” atau “ J’etaimee”. Kosong, hampa, tanpa makna. Sebuah pertengkaran di mobil, sederhana…, dimulai denganperselingkuhan dan berujung di dasar jurang sedalam lima belas meter. Kecelakaan tragis yang mengubah seluruh hidupnya. Kejadian yang membuatnya jauh dari cinta selama lima belas tahun ini. Bersikap skeptis tak pernah mau menyentuh apalagi bermain-main dengan itu.

***

Tiga bulan berlalu semenjak simposium itu. Dia terus berusaha mengubah bayangan yang terus datang dan terkadang membuyarkan semua perhatian materialisnya atas pekerjaan. Semakin berusaha dan menekan dirinya sendiri untuk lupa, semakin sering frekuensi “si dia” muncul. Entah hanya sekedar kilasan-kilasan akan senyum ramahnya, yang secara konstan muncul di hatinya. Hati? Sejak kapan dia punya hati untuk ditempati seorang pria? Pria yang baru dia temui, bukan dia kenal. Lagipula dia terus bertanya, perasaan apa ini? Terus bergelayut dan tak mau lepas. Aneh… ah…mungkin hanya rasa kagum atas kesuksesan di usia relatif sangat muda.

Tersadar melamun, Safira mengalihkan perhatiannya. Telepon berdering.

“Bu, ada telepon dari bapak Daniel. Beliau mohon bicara dengan ibu untuk kepentingan bisnis. Pak Anton kebetulan sedang tidak berada di ruang, bu”, sekretarisnya berbicara di seberang telepon.

“Oke, sambungkan saja.”, jawab Safira dengan sedikit tertegun

Daniel? Sedikit senyum heran dan menunggu panggilan itu tersambung. Aneh, baru dia berhenti menganalogikan dan menganalisa perasaan dan pikirannya tentang seorang pria bernama Daniel.datang seorang lgi Daniel yang ingin membicarakan bisnis, untunglah Daniel ini ingin berbisnis bukan mengaduk-aduk pikirannya. Seperti telepon biasa, dia menerima dan berbincang sekitar lima belas menit. Selesai, dia langsung menugaskan sekretarisnya untuk mengaturkan meeting dengan calon klien barunya. Tak ada prasangka sama sekali akan seperti apa pertemuan itu.

Hingga hari itu tiba, hari untuk meeting pertama dengan calon kliennya. “Sang Daniel” gurau dalam pikirnya, mencoba untuk tetap mentertawakan semua ingatan dan ilusi tentang Daniel. Semua hal terjadi begitu wajar. Hingga akhirnya, calon kliennya masuk ruangan.

Mampus! Benar semua ini yang terjadi? Mimpi dia? Daniel ini, Daniel itu, semua sama. Daniel yang dia lihat di Surabaya. Daniel yang selama ini terus datang tanpa diundang dalam pikirannya. Cinta pada pandangan pertamanya. “Aduh…apalagi itu? Kenapa mampir dalam kamus pikiranku?”, bantahnya dalam diri. Safira bersikap biasa. Menekan semua emosi yang tak sabar ingin meluap. Semua berjalan biasa. Biasa, hingga pertemuan pertamanya selesai. Pertemuan yang menghasilkan sebuah kesepakatan bisnis bagi biro advertising yang dia miliki.

Pertemuan demi pertemuan dia lalui dengan biasa. Entah dia hanya berusaha untuk tetap biasa. Dia sadar semakin sering dia bertemu “sang Daniel” ini, semakin padat dia dijejali dengan bayangan yang tak penting. Tak ada kaitannya dengan urusan bisnis. Tak ada sangkut pautnya dengan sesuatu yang bisa dijelaskan logikanya. Semua terkesan intuitif dan non-produktif. [Bayangan-bayangan mulai mampir. Cara senyum, cara berjabat tangan, cara bertutur kata, cara menyambut hangat negosiasinya, cara berjalan yang sangat mencerminkan kedewasaan, kehangatan, dan jiwa pelindung seorang pria]. Mengalir…dan setiap bayangan-bayangan itu datang darahnya seolah menghangat. Mencairkan bagian-bagian hatinya yang terlalu lama membatu untuk seorang pria. Membuat dia rindu akan belaian seorang pria, yang dulu dia peroleh dari mendiang ayahnya. Air mata mulai tertampung, dia cegah merembes keluar dengan sapuan ringan tissue.

Cinta, kau datang

Ketika aku dengan gagah menentang

Aku menyerah, dari setiap pertempuran kau yang menang

Kau pantas, kau hangat, kau kini menempati hati yang telah lama meng-arang

Sembuhkan aku, hembus aku, menjebakku dalam tenang

***

Safira bergegas pulang, dia tak sabar bertemu kekasihnya. Kekasih yang sudah sekitar lima bulan ini dia kenal. Kehangatan pria ini yang mulai membuatnya tidak betah lama-lama di kantor. Yang membuat dia akhirnya luluh juga. Meleleh tak bersisa, hanya membentuk sebaris perasaan cinta. Dua belas sampai empat belas jam yang dulu dia relakan untuk bisnis, mulai terpotong dan hanya sisakan delapan jam. Sekarang, satu jam dengan si “dia” lebih berharga dibanding pertemuan bisnis berjam-jam yang menghasilkan negosiasi.

Selesai menyerahkan semua tugas kepada staf-staf dan juga sekretarisnya, dia bergegas berangkat ke sebuah hotel besar di pinggiran kota. Berjanji untuk bertemu, berjanji untuk lama-lama menatap wajah hingga membuay masing-masing dalam hangatnya kasih. Entahlah, meski setiap hari bertemu dan berbincang. Tak pernah lewati hari tanpa sms dan telepon-telepon pendek atau berkirim gambar lewat messenger, tetap itu dirasa tak pernah cukup.

Sesampai di hotel, dia langsung menuju restoran. Di sana tampak beberapa orang berbicang, beberapa orang yang sedang menunggu dan anak-anak kecil berlarian antara gang yang menghubungkan restoran dengan kolam renang. Musik jazz yang mengalun semakin membuat suasana santai dan akrab. Di meja dekat dengan kolam renang, tampak seorang pria. Terlihat masih sangat muda mungkin umurnya belum sampai tiga puluh. Tapi tetap aura kedewasaan tak luput terpancar. Setelan kemeja dan jeans lebih mengesankan pria yang bersahaja dan hangat dalam pergaulan. Dia melempar senyumnya, pria itu pun membalas. Tak lagi ragu, pria ini adalah kekasihnya. D A N I E L.

Pria yang selama ini mengarungi lautan pikirannya. Membuat setiap tidur dan sadarnya sekarang bagaikan lautan gula, manis dan tak pernah mau berhenti meminum. Bahkan semakin lama semakin membuat dia ingin bereksperimen dengannya, menciptakan permen dan karamel untuk memuaskan rasanya akan cinta yang lama tak ada. Sesaat dia lupa, dia bukan lagi wanita dewasa dan tangguh. Dia tenggelam dalam kasih dan hangatnya perhatian seorang pria. Dalam getirnya perasaan rindu dan hampa hari tanpa kehadiran sang penjaga hati. Iy, hati…karena perlahan mulai menyadari dia punya hati untuk ditempati. Pria ini yang sekarang menempati dengan ketenangan dan kharisma.

Mereka memesan hidangan ringan, sekedar untuk teman ngobrol. Bukan makan tujuan mereka disini. Dia yakin, mereka merasakan cinta yang begitu hebat. Keduanya merasakan telah menemukan masing-masing serpihan hati yang mereka cari selama ini. Satu jam, dua jam, dia lewati dengan cerita dan canda. Menyenangkan untuk dilihat, cukup memanjakan pasangan mata siapa pun yang menyaksikan. Safira cukup sadar untuk tahu bahwa dia telah membuka hatinya untuk Daniel. Dia begitu mencintai pria ini, seakan dia mendapatkan kembali memori masa kecilnya yang sempat hilang dan tak lengkap. Dia telah benar-benar membuka lebar seluruh jiwa dan raganya.

Malam semakin membawaku terhanyut

Dalam rengkuh tanganmu yang melindungi

Aku menyerahkan semua harta yang ku miliki, raga dan hati

Jaga mereka, cahaya…

Aku berjanji suatu saat aku akan menjadi tetesan embun ketika kau dahaga

Safira merogoh tempat obat dalam tasnya. Rasa sakit di kepala ini sudah mulai mengganggu, pikirnya. Selanjutnya, mereka hanyut…

***

Seperti di antara mimpi dan nyata, dia perlahan sadar hidupnya kini bergantung pada berbagai macam selang yang dihubungkan ke tubuhnya. Dia tersadar kangker otak yang dia sembunyikan dengan kekuatan dan keteguhan yang dia tunjukkan telah menunjukkan taringnya. Menggerogoti dia dari dalam meski sekeras apa pun dia berusaha melawan. Perjalanan ke Singapura, ke Thailand dan Australia yang dia sebut sebagai perjalan bisnis ternyata dia isi dengan ­chemotherapy. Dia lama menyembunyikan ini dari Daniel, pria yang dia cintai dengan segenap kekuatan. Dia tak mau pria ini merasakan satu hal yang pernah dia rasakan. Ketika semuanya terasa indah dan matang, Tuhan memberikan kejutan yang tidak pernah disangka-sangka. Kehilangan orang yang dicintai. Kehilangan di saat cinta itu belum habis malah semakin penuh dan hangat. Siapa yang mau merasakan itu? Tak ada!

Empat tahun dia bergelut dengan penyakit itu, di saat sendiri dia hadapi dengan gagah. Dia tak mau ketika dia telah menemukan sesuatu yang paling berharga dlam hidupnya, Daniel…dia malah merasa cengeng dan membuatnya terkesan lemah dan rapuh. Dia ingin Daniel memberikan perhatian karena cinta dan kasih, bukan karena dia lemah dan sakit yang sewaktu-waktu siap untuk melemparnya ke kematian. Dia dulu single fighter, dia juga ingin tetap begitu menghadapi ini. Kejujuran terkadang tak selamanya baik, jika hanya akan menorehkan kesedihan bagi orang lain terutama bagi orang yang sangat dia sayangi. Daniel… prinsip yang mungkin salah bagi beberapa orang tapi buat dia itu hadiah yang ingin dia berikan. Ketenangan dan ketidakkhawatiran.

Dia ingin Daniel merasakan itu akan hubungannya sekarang. Dia ingin tetap kuat di depan kekasihnya, tetap menjaga kegigihan dalam memperjuangkan hidupnya. Dia yakin kekasihnya akan mengerti, setahun ini membuat dia cukup mengerti akan sikap dan sifat yang dimiliki Daniel. Dia tahu dibalik usia yang lebih muda darinya, Daniel memiliki kedewasaan yang bahkan dia pun tak miliki. Dia tak ingin menyerah dengan penyakit ini. Dia ingin tetap berlari meski penyakit ini merantainya dengan kencang di tempat tidur. Dia ingin tetap menyayangi dan memberikan cinta pada kekasihnya, walau harus merangkak.

Satu hal yang telah dia siapkan untuk Daniel, ketika dia memang harus benar-benar berpisah. Satu persembahan terakhir yang akan membuat Daniel tahu dan tetap menyadari, betapa dia mencintai dan menginginkan hidup untuk berdua.

***

Cahaya…

Selamat tinggal kini aku ucapkan

Jangan meredup dan memendamkan dirimu dalam gelap

Aku tetap ada meski tak lagi berjalan

Tuhan, dan hembus cintaku akan tetap bersama

Cahaya…

Maafkan aku harus meninggalkanmu

Jangan biarkan kau terjebak hampa, karena aku menangis

Disini, disana tak ada beda

Aku tetap perlu kamu, untuk berjalan di dunia yang kini tak sama

Cahaya…

Kau tahu sinarmu membuka aku

Bersiap akan setiap serbuan aliran hangat dari cintamu

Membelai dengan setiap jemari kasihmu

Dan tetap membuai aku, hingga tertidur dan tak ada

Cahaya…

Tetap bergelora…

Tetap menjadi pijar yang setiap hari aku nantikan

Aku akan tetap menyempatkan

Melihatmu, dan tersenyum di keabadian.

Dia menyeka air mata. Merasa terluka dan sejenak tersesat. Menangis, cengeng dan menyalahkan dunia akan apa yang terjadi. Berandai saja dia lebih tahu. Berandai dia mengetahui lebih dalam tentang misteri yang telah disembunyikan darinya. Meneteskan air mata satu hal yang dari tadi dia belum sadari. Dia kuat, dewasa dan mapan. Lalu, kenapa dia harus menyerah pada sepucuk surat dengan barisan puisi terakhir Safira. Yang akhirnya buat dia menangis dan merasa terhimpit? Perpisahan, satu hal yang dia sangat benci. Perpisahan yang terjadi ketika dia tidak siap menghadapi dunia seorang diri. Perpisahan yang terjadi karena ditinggalkan orang yang paling berarti dalam hidupnya, wanita yang begitu dia cintai dengan seluruh raga dan jiwanya.

Daniel melipat surat dan menyimpan sepasang jam tangan di dalam lemari. Jam tangan yang diserahkan Intan, sekretaris Safira untuknya. Jam tangan yang seharusnya Safira berikan sendiri, bukan seperti ini. Tidak ketika kekasihnya terbujur kaku di peti karena menjadi mayat. Tidak! Bukan seperti ini! Jam ini tak ada artinya tanpa dia. Dia tak butuh ini, dia bisa beli beratus-ratus jam seperti ini. Dia ingin Safira, hanya itu maunya. Satu hal yang takkan mungkin dia miliki sekarang. Terhanyut dalam sepi sendiri. Kosong. Tetap pandangan kosong. Akhirnya dia menyerah dan menyimpan persembahan terakhir dari kekasihnya. Dia membiarkan semuanya tetap menjadi teman dan mengingatkan. Membuat dia ingat akan cinta yang takkan pernah mungkin tergantikan…

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun