Wacana untuk menghentikan laju politik dinasti dengan cara mengatur hak dipilih berdasar waktu sangat tidak beralasan. Rancangan UU yang mengatur keluarga petahana boleh dipilih setelah jeda lima tahun melanggar prinsip keadilan dasar dari teori Rawls.
Kebebasan politik (dipilih dan memilih) merupakan bagian kebebasan dasar yang nilainya sama dengan kebebasan berpikir, berkeyakinan, berorganisasi dan mempertahankan hak milik.
Prinsip utama dari kebebasan dasar ini adalah melihat kebebasan dasar secara keseluruhan.Orang boleh saja meminta kebebasan lebih luas dari kebebasan dasar tersebut selama tidak meruntuhkan prinsip keseluruhan. Semisal, orang boleh berbicara sekehendak hatinya, tetapi jika memaksakan kehendak, maka ia mengancam kebebasan berbicara secara keseluruhan.
Begitu juga dengan kebebasan berpolitik. Pembatasan-pembatasan kebebasan untuk memilih dan dipilih secara otomatis ditolak. Pembatasan waktu sama dengan memperkosa kebebasan dasar secara keseluruhan. Jadi kebebasan yang tetap ada batasannya.
Pertanyaannya adalah bagaimana agar politik tidak mengarah ke aristokrasi?
Jawabannya ada di prinsip kedua, yakni persamaan kesempatan dan prinsip perbedaan.
Persamaan kesempatan dan prinsip perbedaan harus dilihat sebagai satu kesatuan. Prinsip perbedaan bertujuan justru untuk menghapus perbedaaan dan ketimpangan sosial. Prinsip perbedaan adalah memberi keuntungan kepada golongan yang paling lemah sehingga punya kesempatan yang sama. Aplikasi sederhananya sering kita jumpai. Dalam bernegara, biasanya wajar jika ada subsidi-subsidi bagi rakyat miskin dari pajak yang dikumpulkan agar rakyat miskin memiliki kesempatan seperti yang lain.
Bagaimana dengan kebebasan berpolitik?
Secara luar biasa, prinsip kedua tersebut sudah ada dalam politik kita.Adanya calon independen sebagai jalur diluar parpol memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bisa dipilih dengan kekhususan persyaratan tentunya.
Pertanyaan lebih lanjut adalah jika semuanya sudah konfirm, kenapa justru terjadi ketimpangan yang lebih besar semacam politik dinasti?
Jawabannya adalah karena mereka lupa roh utama dari teori keadilan Rawls. Roh utama teori keadilan Rawls adalah bahwa pemberian perbedaan dan persamaan kesempatan adalah untuk memberikan yang terbaik bagi kepentingan umum. Praktek demokrasi yang sekarang, lebih konsern kepada elektabilitas dan popularitas ketimbang kepentingan umum. Politik dinasti adalah short-cut untuk meraih dukungan. Asumsi politik dinasti adalah kekerabatan menjadi modal utama seseorang untuk dikenal, kemudian dipilih.
Lantas bagimana solusinya?
Solusi yang saya tawarkan adalah solusi yang sudah ada dalam praktek demokrasi kita. Yakni solusi pansel KPK. Pansel tidak bertentangan dengan keadilan. Asumsinya adalah negara telah berinvestasi kepada rakyat dalam dana pendidikan misalnya, maka konsekuensi logis dari hal tersebut adalah negara berhak mendapat yang terbaik dari inventasi tersebut untuk mengatur negara sendiri.
Prinsipnya begini, setiap calon kepala daerah bisa berasal dari jalur parpol dan jalur independen. Jalur parpol adalah kader yang diusulkan parpol. Jalur independen adalah mereka yang mendaftar kepada pansel dengan persyaratan tertentu. Persyaratan yang sekarang berupa bukti dukungan bisa saja diterapkan sebagai syarat yang sama. Bedanya adalah sebelum mereka diterjunkan kepada kontestasi, mereka bertarung di pansel. Prinsip utamanya adalah pansel yang memilihkan mereka yang terbaik dari calon yang tersedia. Formasi pansel dibentuk KPU dengan peraturan UU.
Hal pertama yang dilakukan adalah kita harus bersepakat mengenai jumlah kontestan yang boleh bertarung dalam pemilukada. Jumlah kontestan bisa saja dipilih dengan asumsi biaya terkecil. Umpamanya kita memlih hanya 3 kandidat yang boleh bertarung demi kepraktisan pemilukada satu putaran misalnya.
Kita simak kondisi ideal dan tidak ideal dari pansel ini.
Kondisi ideal terjadi jika semisal 12 parpol yang ada di DPRD + independen ikut serta dalam penjaringan. Dari jumlah tersebut direduksi menjadi 3 kontestan yang boleh ikut dalam pemilukada. 3 kontestan terbaik telah dipilih, dan tidak peduli apakah yang terpilih itu punya kaitan dengan petahana atau tidak.
Kondisi tidak ideal semisal bisa terjadi seperti ini. Parpol yang ada mengerucut kepada calon tunggal dari dinasti karena kekuatan uang dan jaringan misalnya. Jika masyarakat konsern dengan hal tersebut, masyarakat bisa mengusulkan calon independen yang lebih banyak jika bertujuan sekadar mengganjal. Jika calon parpol ada 1, maka berilah n calon independen untuk disaring jadi 3 misalnya. Namun masyarakat harus menerima jika calon dari politik dinasti tetap terpilih, jika dia memang yang terbaik. Jika jumlah calon = jumlah kontestan pemilukada, maka ya sudahlah. Yang terpenting adalah prinsip kesempatan dibiarkan terbuka untuk semua.
Kesimpulannya adalah berilah yang terbaik untuk umum. Format pemilukada yang sekarang hanya punya prinsip keadilan tetapi tidak punya roh keadilan Rawls. Semuanya diserahkan kepada pasar demi kepentingan elektabilitas dan popularitas yang justru secara sah tidak berkontribusi maksimal. Jika calon tidak diseleksi sama saja mengasumsikan rakyat memiliki pengetahuan kebijakan publik dan psikologi integritas terhadap calon yang akan dipilih. Kenyataannya kan tidak. Bukan berarti rakyat bodoh, tetapi rakyat tidak semuanya belajar kebijakan publik dan psikologi. Biarlah urusan tersebut diserahkan ke pansel.
Intinya adalah:
Pansel = jagal kompetensi.
Rakyat = pemegang kedaulatan.
Asumsi yang terpenting dalam model tersebut bahwa pansel = pansel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H