Mohon tunggu...
pyoko ultra
pyoko ultra Mohon Tunggu... -

ya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Mengakui (2)

29 Oktober 2013   13:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:53 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik mengakui adalah politik yang meng-Aku kan orang lain. Politik yang melihat yang lain demi kepentingan Aku.

Inilah yang mulai luntur dari karakter orang Indonesia. Politik mengakui bukanlah didasarkan moralitas Kantian. Moralitas yang bersumber sebagai pribadi otonom. Moralitas yang bergumul dengan batin pribadi, kemudian kita bergerak dengan pertimbangan tersebut. Bahasa sederhananya adalah suara hati. Politik mengakui bukan suara hati.

Politik mengakui adalah politik Marxist yang bersumber kepada situasi sejarah sebagai fakta ilmiah. Politik yang harus kita gali dari kesejarahan nusantara. Politik dimana kita harus mengetahui kenapa kita memilih keramahtamahan terhadap “yang lain”.

“Yang lain” adalah objek bagi manusia Indonesia. Obyek yang memilih jalan memutar. “Yang lain” bukanlah obyek mesti ditaklukkan. “Yang lain” bukanlah obyek sekaligus subyek dari pertentangan kelas, sebagaimana budaya barat bergumul dengan dialektika tersebut.

Dalam politik mengakui, “Yang lain” adalah obyek kebahagiaan sekaligus patner dalam merengkuh kebahagiaan.

Kita ambil contoh mengenai masalah bulan puasa. Jika kita bersikukuh dengan menggenggam erat politik hanya sebagai politik “diakui”, maka hasilnya akan sebagai berikut. Bulan puasa adalah bulan “sebagian” bagi bangsa Indonesia. Artinya tidak semua orang Indonesia berpuasa dan ada yang berpuasa. Jika berpegangan kepada politik “diakui”, maka produknya berupa perda-perda yang melarang warung buka pada siang hari misalnya. Perda yang dibuat dari sudut pandang muslim, yang menginginkan hak-haknya untuk “diakui” oleh bangsa Indonesia yang majemuk.

Bila kita memilih jalan politik mengakui, maka jadinya mungkin agak sedikit berbeda. Muslim sebagai yang berkepentingan kepada bulan puasa, melihat bahwa ada orang lain yang selain “Aku Muslim” yang tidak berpuasa. “Yang lain” yang belum sepenuhnya menjadi bagian dari “Aku”. “Yang lain” akan menjadi bagian dari “Aku”, jika kita mengakui yang lain sebagai “Aku”. Dampaknya adalah sebagai berikut. Dalam memikirkan kebijakan mengenai puasa, maka “Aku muslim” akan memikirkan yang lain sebagai bagian dari “Aku”. Singkatnya, dalam aspirasinya, muslim memikirkan juga kepentingan-kepentingan “Yang lain”. Intinya, tidak sekedar berhenti kepada menutup warung makan, tetapi muslim memikirkan orang yang tidak puasa, bisa makan seperti biasanya. Dan juga memikirkan sumber-sumber penghasilan pekerja warung makan.

Politik mengakui adalah politik dari Aku, sehingga aspirasi memikirkan makan bagi yang tidak puasa dan penghasilan pekerja warung adalah justru dari mulut muslim sendiri, dan bukan di perjuangkan dari “yang lain”. Begitu juga bagi Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu. Mereka yang menganggap muslim sebagai “yang lain”, akan menjadi bagian bagi dirinya sendiri dengan politik mengakui tersebut. Artinya, Muslim akan dianggap sebagai bagian dari “Aku” dari status yang semula sebagai “yang lain”. Aspirasinya semisal memperjuangkan jaminana muslim tidak terganggu dengan masalah makan tersebut. Caranya misalnya dengan privatisasi ruang ruang makan tersebut. Intinya, kebijakan yang muncul tidak sedangkal hanya masalah menutup warung pada siang hari saja.

Dan ini berlaku tidak hanya masalah puasa saja, tetapi juga untuk semua masalah yang berkaitan dengan partikularitas yang lain selain agama, semisal aspirasi budaya.

Politik mengakui bukan sekedar masalah menghormati. Bagi saya pribadi, menghormati sebelas dua belas dengan kesengsaraan. Politik mengakui adalah politik kebahagiaan yang diwariskan nenek moyang kita. Artinya, sekedar untuk membayangkannya saja kita sudah merasa berbahagia. Ada janji kebahagiaan yang ditawarkan disana.

Dua orang yang bertemu tidak harus bertengkar. Kita tidak harus terbaratkan dengan masalah perbedaan. Ketika Hun, Vandal, Franks, Bavarian, Lombardi, Slavia dan suku-suku eropa lelah bertempur kemudian mengadakan perjanjian damai bagi mereka sendiiri, menciptakan mitos kesetaraan dan liberalisme yang kemudian dicangkokan kepada demokrasi kita.

Dua orang yang berbeda bertemu, di sambut oleh gerbang keramahtamahan. Gerbang yang menjanjikan kebahagiaan dan senyum. Gerbang yang melihat ada sumber kebahagiaan dari perbedaan yang dipunyai orang lain.

FPI dan sejenisnya, dan juga kaum liberal harus mengendurkan masalah politik menjadi sekedar politik “diakui” saja. Kita harus kembali kepada apa yang diwariskan sejarah yang mampu dijelaskan oleh Marxisme.

Sungguh sangat beruntung bagi kita dalam minggu-minggu ini ketika ada isu menggandeng ormas dengan pemerintah daerah sebagai isu yang konroversial. Setidaknya ada tawaran membicarakan politik kepada rel yang sebenarnya.

Bandingkan dengan isu kacangan yang ditawarkan oleh ormas Anas, dan masalah bunda puteri, atau curhat SBY. Mereka membicarakan politik murni masalah kekuasaan dan tidak memberi insight apapun tentang bagaimana kekuasaan itu sebaiknya digunakan. Sudah seharusnya kita tidak terlalu mempedulikan kekonyolan yang sering ditimbulkan dan mematikan otak kita untuk membicarakan masalah tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun