Pasca pengumuman kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh pemerintah akhir bulan Juni lalu tak pelak lagi memicu kenaikan harga-harga lainnya. Apalagi keputusan yang diambil pemerintah waktunya berdekatan dengan bulan puasa, yangmana sama-sama kita ketahui setiap tahunnya, bila mendekati maupun saat memasuki bulan puasa, harga barang-barang terutama kebutuhan pokok, pasti mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Tak terkecuali pada edisi bulan puasa tahun ini. Bagaikan tiga serangkai; kenaikan BBM, bulan puasa, dan tahun ajaran baru bagi siswa sekolah, saya secara pribadi benar-benar merasakan "hantaman" yang bertubi-tubi. Jika sebelumnya, dengan cukup membayar 15 ribu, tangki motor sudah terisi penuh dan bahkan terkadang sampai meluber. Itu bisa dipakai selama berhari-hari. Tapi sekarang, dengan nilai uang yang sama, tiap dua hari sekali, saya harus singgah di SPBU yang tidak jauh dari rumah. Ini salah satu "kekagetan" saya yang memiliki pendapatan pas-pasan.
Baru beberapa hari bisa beradaptasi dengan "kekagetan" yang pertama, ternyata masih banyakl lagi "kekagetan-kekagetan" lainnya. Seakan tidak mau kalah pamor, PDAM dan PLN juga ikut-ikutan menaikkan tarif. Mereka seakan berlomba dan tidak mau tahu akan penderitaan masyarakat akibat efek dari naiknya BBM. Sepertinya saya mesti lebih menguatkan mental untuk menghadapi kenaikan-kenaikan harga lainnya.
Mungkin memang sudah menjadi salah satu dalam prinsip ekonomi. Kalau dalam hal menaikkan harga produk dan tarif, tanpa dikomando, mereka, para pelaku usaha akan berusaha tampil terdepan. Dan sepertinya jika harga sudah naik, sudah pasti susah untuk turun kembali. Seperti halnya harga gula dan beras. Saya memang tidak bisa menyalahkan pelaku bisnis. Siapa sih yang mau menanggung rugi. Salahkan diri sendiri saja, kenapa penghasilan tidak naik-naik.
Selamat sore semuanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H