

Di sebuah sudut kota Kudus, sebuah usaha kecil tetap berjuang menjaga tradisi yang mulai memudar. UMKM batik milik Ummu Asiyati, seorang pengrajin batik yang telah bertahun-tahun menekuni dunia ini, menghadapi tantangan berat. Meskipun karyanya dikenal dengan motif khas seperti bunga parijoto dan Menara Kudus yang memikat, dia kini menghadapi kenyataan pahit generasi muda lebih memilih bekerja di pabrik daripada meneruskan tradisi batik.
Berbekal cinta terhadap seni batik dan budaya lokal, Ummu Asiyati menciptakan motif-motif unik yang mencerminkan keindahan dan kearifan lokal Kudus. Bunga parijoto, yang dipercaya memiliki nilai spiritual dan simbol kesuburan, menjadi salah satu motif andalannya. Begitu pula dengan menara Kudus, ikon sejarah dan kebudayaan kota ini, yang sering muncul dalam karya-karyanya.
"Batik ini bukan sekadar kain," ujar Ummu Asiyati. "Di setiap guratan malamnya, ada cerita tentang Kudus, tentang siapa kita, dan tentang apa yang ingin kita wariskan." Namun, warisan itu kini terancam. Generasi muda yang seharusnya melanjutkan seni batik ini justru beralih ke industri modern yang menawarkan stabilitas finansial lebih menjanjikan.
Banyak anak muda lebih memilih bekerja di pabrik karena dianggap memberikan penghasilan yang lebih stabil dan fasilitas yang lebih terjamin. Kondisi ini menyebabkan UMKM Batik kekurangan regenerasi. Padahal, sektor ini memiliki potensi besar untuk mendukung pelestarian budaya sekaligus menciptakan peluang ekonomi kreatif. Jika tren ini terus berlanjut tanpa adanya upaya menarik minat generasi muda, maka keberlangsungan usaha kecil, khususnya pengrajin batik, dapat terancam dan seni tradisional ini berisiko kehilangan penerusnya
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Kudus, tetapi juga di banyak daerah lain di Indonesia. Pilihan bekerja di pabrik dengan jam kerja tetap dan gaji bulanan lebih menarik bagi generasi muda. Proses membatik yang memerlukan kesabaran, ketelatenan, dan keterampilan tinggi dianggap terlalu rumit dan tidak menguntungkan secara finansial.
"Anak-anak muda sekarang tidak ingin repot-repot belajar membatik," kata Ummu. "Mereka lebih memilih pekerjaan yang hasilnya cepat terlihat."
Perubahan pola pikir ini memengaruhi keberlangsungan UMKM batik milik Ummu Asiyati. Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah karyawan yang bersedia belajar dan bekerja sebagai pengrajin batik terus menurun. Dari belasan karyawan yang dulu dimiliki, kini hanya tersisa beberapa orang saja, kebanyakan adalah generasi tua yang sudah hampir pensiun.
Di tengah tantangan ini, Ummu Asiyati mencoba berbagai cara untuk menjaga usahanya tetap berjalan. Dia aktif mengikuti seminar dan pelatihan agar batik yang diproduksi bisa lebih dikenal banyak orang. Dan dia juga tidak ketinggalan untuk promosi batik di media sosial. Selain itu, dia juga mulai berkolaborasi dengan desainer muda untuk menciptakan produk yang lebih modern dan sesuai dengan selera pasar.
Namun, masalah utama tetap ada regenerasi. Tanpa pengrajin muda yang mau belajar dan mendalami seni batik, sulit bagi usaha ini untuk bertahan dalam jangka panjang.