Sudah jam 8 malam, hujan baru saja berhenti. Udin tersenyum sumringah mengintip dari balik jendela. Dia segera membuka pintu rumahnya yang reot dan segera memakai sendalnya yang butut. Samiyem istrinya berteriak dari dalam rumah memanggil Udin.
"Mas! Kemana toh, Mas?"
"Beli rokok sebentar..." Jawab Udin sambil berjalan menjinjit membelah jalanan becek di perkampungan kumuh itu.
Walau hujan masih rintik-rintik, Udin tetap bertahan pergi ke warung demi rokok yang belum dihisapnya sehari karena hujan. Padahal dari rumah Udin ke warung rokok Mang Mamai sekitar 500 meter. Sesekali Udin mengigil kedinginan diterpa angin malam. Jalanan sepi sekali.
Tiba-tiba Udin menoleh ke arah rumah Nenek Mumun. Nenek Mumun biasa duduk-duduk di depan rumahnya sambil melihat orang-orang yang berseliweran. Terkadang Nenek Mumun bertegur sapa dengan orang-orang yang lewat. Kasihan dia kesepian. Suaminya sudah meninggal dari setahun yang lalu. Udin melemparkan senyuman ke arah Nenek Mumun, Nenek Mumun pun membalasnya. Udin menoleh lagi sambil mengernyitkan dahi, Nenek Mumun tetap membalas dengan senyuman. Ada yang aneh, tapi Udin bingung entah apa.
Udin pun hampir tiba di warung Mang Mamai. Langkahnya dipercepat, karena tiba-tiba hujan turun lagi dengan derasnya. Mang Mamai terlihat terkantuk-kantuk di dalam warung kecilnya.Â
"Mang... Mang..." panggil Udin.Â
"Eh..." Mang Mamai terbangun dari mimpinya dan masih gelagapan. "Udin... Apaan?"
"Rokok, Mang..." Kata Udin.
"Bon lagi?" Mang Mamai menatap dengan curiga.
"Pastinya dong... Hehehe..." Tawa Udin.