“Hai, selamat siang,” Sapaku padamu yang aku tebak berumur sekitar 28 tahun yang tengah membawa beberapa botol minuman dan snack. Kamu menaruh satu per satu belanjaanmu itu di hadapanku. Dan aku hanya bisa menatapmu lekat-lekat sambil menelan ludah. AC di minimarket masih bekerja dengan baik-baik saja, tetapi entah kenapa aku merasa gerah saat melihat sosokmu. Kuambil catalog yang tersusun di meja kasir untuk aku kipas-kipaskan agar gerahnya berkurang. Well, aku mungkin jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Sebentar, ya, Mba,” Katamu sambil menyisihkan rambutmu yang sedikit gondrong. Langkahmu kembali pada barisan rak yang berisi coklat-coklat. Mataku tetap mengekori langkah kakimu yang mempesona itu, ah, aku mungkin terlalu berlebihan. Saking terpesonanya pada sosok yang sedang mondar-mandir di minimarket ini, aku malah lupa menawarkan keranjang belanjaan.
Kau kembali lagi ke hadapanku membawa sebagian belanjaanmu, “Ini aja, Mba,” Katamu sambil merogoh kantung celana. Aku mulai scan barang belanjaanmu pada mesin kasir dengan gerakan yang lemah, berharap bisa melihatmu lebih lama lagi. Namun sayang aku sudah mulai selesai menghitung belanjaanmu dengan tidak teliti, karena aku harus tetap siaga menatapmu lekat-lekat, siapa tahu kegantenganmu bertambah lagi.
“Mba, kenapa?” Tiba-tiba tanyamu memecahkan kekaguman yang aku rahasiakan di balik mataku. Aku mulai salah tingkah, terlebih saat melihatmu memicingkan mata seolah mencurigai aku yang tengah menaruh hati begitu cepat.
“Maaf, Mas. Abisnya Mas mirip artis, sich,” Kataku berkilah, padahal bisa dibilang tak ada artis segantengmu. Kau tertawa renyah seperti tersanjung atas ucapanku.
“Totalnya Rp. 85.000,00. Apa ada tambahan lagi?” Tanyaku sambil membalas tatapanmu. Oh, aku suka saat-saat itu terjadi, seperti terbang ke langit ketujuh.
“Enggak ada, Mba,” Katamu sambil menyerahkan uang pecahan seratus ribu rupiah. Aku segera mengambil kembalian dan menyerahkan padamu, berikut dengan kantong plastic belanjaanmu. Kau memamerkan gigimu yang rapih padaku.
Tiba-tiba dari arah pintu masuk ada seorang anak kecil berkepang dua berlari masuk sambil membawa balon warna-warni yang tinggal empat.
“Papa!” Pekik anak kecil berkepang dua itu. “Balon aku pecah, sekarang tinggal empat,” Tangisnya sambil mengusap airmata yang membanjiri pipi tomatnya. Pada saat itu juga aku merasa seperti disambar petir di siang bolong. Hancur. Pecah. Meletus. Sama seperti balon warna-warni anakmu yang meletus. Padahal, tadi aku sempat meniupi dengan asa balon warna-warni cinta itu, malah harus meletus ketika kutahu kau bukan lajang lagi. Aku memegangi dadaku yang sedikit sesak. “Oh!”
“Lho, kok, keluar dari mobil, sich? Mama di mana?” Katamu sambil menggendong anak kecil berkepang dua itu.
Mama? Oh, No. Mesra sekali panggilan itu, aku cemburu, wahai pria yang belum aku tahu namamu. Aku cemburu. Kupegangi kepalaku yang nyut-nyutan. Rasanya mau pecah.