pesantren terkadang bahkan sering kita lihat, beberapa santri putra dijodohkan dengan santri putri oleh pengampu atau ustadznya, atau sebaliknya, kemudian menikah. Ada juga seorang ustadz di jodokan dengan menikahi seorang santriwatinya, atau sebaliknya. Hal ini, sering kita jumpai dalam realitas dunia pesantren. Mungkin dalam perjodohan ada yang menerima ada pula yang tidak.
Dalam pondok
Sering kita jumpai juga, seorang ustadz atau kyai mengawinkan anak perempuan atau anak laki- laki mereka dengan muridnya yang pandai, terutama masih ada hubungan kedeketan atau keluarga dekat seorang kyai. Sehingga santri/ atau muridnya dipersiapkan dengan matang dan mumpuni dalam segala bidang, sebagai calon yang potensial untuk meneruskan perjuangan dalam kehidupan pesantren kelak serta dapat meneruskan estafet kepemimpinan pesantren di masa yang akan datang. Mungkin dengan hal ini, ada yang menerima juga ada yang belum bisa menerima dengan hal ini, Apakah dengan perjodohan terkesan memaksa atau bisa menjadi hal yang tabu? Bagaimana jika kita lihat di era ini ?
Tidak jarang kita temui bahwa kehidupan saat ini, mengenai perjodohan dianggap hal yang tidak adil dan terkesan memaksa. Bahkan kita sering mendengar untaian “ wes rak zamane dijodohke” ( Sudah tidak zamannya dijodohkan). Banyak faktor mengenai hal ini, merasa dipaksakan, merasa tidak bahagia, tidak ada rasa untuk saling menyukai, bahkan terkesan sudah hilang harapan untuk kehidupan seakan indah yang diimpikannya.
Apalagi di era sekarang, dalam kehidupan generasi Z, sudah sangat tidak asing mengenai mempunyai pasangan kekasih diluar nikah atau sering kita dengar yaitu pacar. Coba kita lihat di berbagi media sosial bersama seorang kekasih yang belum terikat dalam pernikahan yang sah. Bahkan sering kita jumpai, disekitar kita dalam meluapkan kejenuhan dengan staycation bersama sang kekasih yang belum terikat perkawinan secara sah sering terjadi pula.
Bahkan sering kita jumpai dalam realitas hari ini, bercumbu rayu dengan pacar bagai seorang suami istri dalam berumah tangga menjadi hal yang tidak tabu lagi. Dalam hal kongkow bersama coba, kalau tidak mempunyai seorang pacar seakan menjadi bahan ejekan sana-sini, bahkan menjadi bahan lelucon yang asik untuk diperbincangakan. Sudah tidak heran lagi, bahwa dampak yang akan terjadi ialah seperti ketagiahan emosional dan hasrat seksual, bahkan juga sampai pada terjadinya hamil diluar nikah, kekerasan yang terjadi dalam hubungan, dan perselingkuhan yan terjadi sesudah pernikahan.
Bagaimana jika perjodohan kita tinjau dalam perspektiif hukum Islam?
Dalam mayoritas masyarakat berasumsi bahwa perjodohan seakan menjadi momok, karena ada unsur pemaksaan sehingga apabila melalui perjodohan dalam pernikahan seakan menjadi tidak harmonis dan tidak langgeng.
Dalam perjodohan jika ditinjau dari kompilasi hukum islam pasal 16 ayat (1) dan (2). (1) perkawinan didasarkan atas pesetujuan calon mempelai. (2) Bentuk persetujuan mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tlisan, lisan, atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Mungkin, perjodohan yang dilaksanakan dalam kalangan pesantren terkesan memaksakan putra-putrinya. Padahal, persetujuan kedua calon sangatlah penting, agar terciptanya keharmonisan dalam berumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah. Perkawinan yang banyak dilaksanakan di keluarga kyai atau ustadz pesantren ialah dengan konsep endogami yaitu dengan cara ditawarkan tanpa ada pemaksaan , walaupun dalam keluarga kyai atau ustadz melangsungkan pernikahan melalui perjodohan akan tetap terjalin dengan harmonis.
Dalam sebuah hadits yang diriwyatkan oleh imam muslim, yakni :
وَحَدَّثَنَا قُتَيۡبَةُ بۡنُ سَعِيدٍ: حَدَّثَنَا سُفۡيَانُ، عَنۡ زِيَادِ بۡنِ سَعۡدٍ، عَنۡ عَبۡدِ اللهِ بۡنِ الۡفَضۡلِ، سَمِعَ نَافِعَ بۡنَ جُبَيۡرٍ يُخۡبِرُ، عَنِ ابۡنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفۡسِهَا مِنۡ وَلِيِّهَا، وَالۡبِكۡرُ تُسۡتَأۡمَرُ وَإِذۡنُهَا سُكُوتُهَا).
”Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami: Sufyan menceritakan kepada kami, dari Ziyad bin Sa’d, dari ‘Abdullah bin Al-Fadhl, beliau mendengar Nafi’ bin Jubair mengabarkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya. Adapun perawan dimintai pendapatnya dan izinnya adalah diamnya.”