Ketika ada debat Kurikulum Merdeka (Kumer), jujurly ya sebagai Ibu yang bekerja which is peranan emak-emak inikan besar banget dalam membersamai anak-anak belajar. Mungkin juga karena anak-anak bersekolah di sekoalh swasta maka kondisiku dengan Kumer ini agak klop. Pasalnya aku merasa lebih mudah dalam membersamai anak-anak belajar, mereka jauh lebih mandiri tanpa ada beban ujian tengah semester namun faktanya mereka selalu ada worksheet, ulangan harian per bab dan ulangan harian bulanan so aku nggak pusing lagi membuat materi latihan soal karena sudah dilakukan secara bertahap di sekolah. Sekolah tentu saja punya peranan besar dalam suksesnya Kumer, makanya Mas Menteri membuat Kumer pasti berdasarkan pengalamannya, ya iyalah diakan sekolahnya di Luar Negeri yes, dimana pendidikan keren dan budaya kemandirian buat anak LN tuhkan keren banget ya, anak-anak habis lahir aja udah pisah tidur sama Emaknya lah sementara anakku? Haha sampai hari ini masih bobok bareng emaknya haha.
Setelah ganti menteri salah satu isu yang hangat dibicarakan adalah wacana penghapusan Kurikulum Merdeka. Kalau melihat sekolah lain terutama yang Negeri dekat rumahku ya maka penerapan Kumer masih jauh dari kata efektif, terutama dalam konteks pendidikan di Indonesia. Konsep kemandirian belajar, yang jadi inti dari Kumer, terdengar mulia dan progresif. Namun, kenyataannya, banyak mahasiswa yang datang ke kampus masih di level pemahaman setingkat SMP (Evaluasi adikku sebagai Dosen loh ini). Standar akademik mereka menurun, dan kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka. Pandemi Covid-19 memang mempengaruhi banyak hal, termasuk proses belajar.
Namun, bayangkan kalau saat pandemi kita tidak menerapkan Kumer, mungkin hasilnya akan lain lagi ya. Kurikulum Merdeka lebih cocok di tempat yang infrastrukturnya mendukung kemandirian belajar, sementara di Indonesia, banyak daerah yang belum siap. Kumer ini lebih terkesan sebagai proyek besar tanpa mempertimbangkan kesiapan siswa dan fasilitas pendukung. Sederhananya, anak-anak di Indonesia belum terbiasa untuk mandiri dalam belajar. Di Barat, kemandirian sudah tertanam sejak kecil, bahkan budaya mereka menekankan anak yang sudah dewasa untuk keluar dari rumah orang tua. Di sini? Setelah menikah pun masih banyak yang tinggal bersama orang tua hihi. Jadi, konsep kemandirian belajar ini terasa seperti permainan yang belum cocok untuk diterapkan di Indonesia saat ini.
Ujian Nasional : Perlu atau Tidak?
Nah berbicara tentang evaluasi, wacana mengembalikan Ujian Nasional (UN) juga menjadi perdebatan. Dari sudut pandangku ya saat ini mental anak-anak memang tak seperti kita dahulu penuh daya saing. Entahalah akupun melihat anakku juga merasa nilai itu nggak penting, ngapain juga bersaing sesama tema. Jelas konsep nilai itu untuk anak zaman now jauh berbeda dengan aku dulu. Rasanya dulu bahagia banget bisa dapat nilai lebih tinggi dari teman, tapi tidak dengan anak-anak saat ini, mungkin ya itu juga faktor mengapa UN ditiadakan.
Meski UN ditiadakan, untungnya sekolah anakku SD Islam Permata Hati Tangerang tetap mengadakan ujian versi sekolahnya, Sekolah Permata Hati Tangerang tetap menganggap penting adanya tolak ukur nilai bagi prestasi anak-anak dan sebagian besar orang tua juga beranggapan bahwa UN itu penting. Selain menjadi tolok ukur kemampuan siswa secara nasional, UN juga bentuk pertanggungjawaban pendidikan. Saat ini, tanpa UN, raport siswa menjadi satu-satunya acuan, dan itupun tetap ya Bu ada saja yang rela melakukan atur-atur nilai raport. Menurut adikku nih mahasiswa yang diterima melalui jalur raport sering kali menunjukkan kemampuan akademik yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang melalui jalur tes. Jadi, keberadaan UN sebetulnya penting untuk menjaga standar pendidikan di Indonesia.
Namun, tentu ada kekhawatiran mengenai tekanan psikologis pada siswa yang diakibatkan oleh UN. Hal ini memerlukan pendekatan lebih bijak dalam pelaksanaannya, mungkin dengan mengurangi bobot UN atau mengintegrasikannya dengan sistem evaluasi yang lebih komprehensif. Biar nggak ada lagi yang kepikiran buat mencurangi segala peraturan yang dibuat gitu loh! Otak kriminal di Indonesia ini banyak banget, apalagi kalo udah urusan anak duh semuanya mau memberi yang terbaik dengan segala cara yang dia mampu, aku masih ingat eraku dulu anak-anak yang berpunya itu bisa dapat nilai akhir yang fantastis haha, emang bisa gitu mendadak pintar diujung? Hadeuh! Tahu sama tahulah kita yakan! haha
Menuju Pendidikan yang Lebih Baik
Dengan berbagai perubahan yang sedang dibahas, jelas bahwa tantangan di dunia pendidikan Indonesia masih panjang. Pemecahan Kemendikbud menjadi tiga kementerian mungkin akan membawa fokus yang lebih baik, tetapi juga akan membutuhkan sinkronisasi kebijakan yang solid. Menghapus Kumer mungkin terasa perlu saat ini, tetapi kita harus siap dengan penggantian kurikulum yang lebih sesuai dengan karakter dan kesiapan siswa Indonesia. Dan mengembalikan UN mungkin bisa menjadi jalan keluar untuk menjaga kualitas pendidikan, tetapi perlu pendekatan yang lebih manusiawi, biar nggak ada lagi otak-otak kreatif yang mengaduk-ngaduk kebijakan pendidikan di Indonesia.
Bagaimana pun, semua perubahan ini adalah upaya untuk mencari sistem yang lebih baik. Kita hanya bisa berharap bahwa setiap kebijakan yang diambil mempertimbangkan realita di lapangan dan bukan sekadar wacana yang ambisius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H