Monza vs Thrifting
Waktu aku kecil sering mendengar Monza sebagai istilah pengganti barang bekas, tak terbatas pada baju melainkan bisa tas, sepatu, tali pinggang dan banyak lagi. Teman sekelas ku selalu punya barang branded dan dia bilang belinya di Monza. Bagi orang Sumatera Utara mendnegar Monza sudah paham bahwa itu adlaah barang bekas. Monza singkatan dari Mongonsidi Plaza, ya dulu di sana pusat penjualan barang bekas, meski bekas dulu haragnya termasuk mahal bila dibanding baju yang ku beli di Matahari Departemen Store.Â
Lambat laun image Monza memudar karena sudah tak sebagus dulu juga, namun akhir-akhir ini di berbagai platform khususnya Tiktok selalu ada saja Live dari Thrift store dan jelas tertarik ya melihat penjual mengiklankan berbagai pakaian branded dengan harga murah and looks like new.
Kini Thrifting menjadi istilah bagi pakaian bekas, kebetulan istri temanku menjadi pelaku usaha thrifting sehingga dia kerap membawa dagangan istrinya ke kantor dan diserbu oleh karyawan karena memang bagus dan murah. Aku juga senang bisa mendapatkan baju hangat untuk anak-anak hanya dengan harga 25K saja, sementara bila aku membeli di sebuah toko branded harganya bisa 10x lipatnya so dalam keuangan yang pas-pasan namun ingin bergaya maka thrifting adalah salah satu solusi menurutku.
Benarkah Thrifting Mengganggu Produk UMKM?
Beberapa waktu lalu berita didominasi persoalan larangan thrifting oleh Pak Presiden, saat mendengar alasannya "membunuh produk UMKM" jujurly aku langsung tak setuju. Thrifting bukanlah satu-satunya penyebab produk UMKM tak laku. Pernah dengar ya pejabat membeli produk UMKM? Wah sebagai rakyat jelas aku juga tertarik namun begitu dicari tahu harga jaket produk lokal yang dibeli Pak Presiden ketika ada di Mandalika wow! Produk lokal itu nyaris dibandrol 1.5 juta! Wah sorry Pak aku gak senasionalis itu untuk merogoh tabungan demi sebuah jaket lokal.
Rerata fashion UMKM yang bagus harganya nggak murah, jadi ya wajar saja kalau Presiden sampai pejabatnya mampu beli produk UMKM ya monggo, bahkan konon daster yang ku beli 100 ribu untuk 3 potong juga datang dari china, yah meski nggak bekas tapi sama toh ini juga bukan produk lokal? Thrifting justru menjadi peluang bisnis bagi banyak anak muda saat ini, lagian pakaian bekas yang dimaksud juga menurutku bukan seperti apa yang tertuang dalam Undang-Undang Kementerian Perdagangan, namanya saja bekas tapi ternyata sebagian besar adalah produk yang tak lolos Quality Control makanya sebagian besar pengguna pakaian thrifting keberatan nih bila larangan ini diberlakukan.
Bagaimana Kalau Larangan Beli Barang Mewah?
Menurutku sih larangan thrifting tak efektif, tahukan ya ilmu  parenting bila dilarang maka akan ada selalu ada cara untuk menemukan jalan. Lagian yang kena dampak tetap saja rakyat kecil, yang punya usaha Thrifting juga rakyat yang berjuang untuk menemukan usaha yang murah modalnya namun bisa mendapatkan keuntungan yang OK, sementara itu kenapa tak mengeluarkan larangan untuk store branded yang harganya rerata hanya mampu dibeli oleh kalangan berduit.Â
Oh itu resmi ada devisa masuk? Nah kalau begitu mengapa pemerintah tak memikirkan regulasi terbaik untuk bisnis thrifting, daripada membuat larangan mungkin akan terlihat lebih bijak bila dibuatkan aturannya sehingga rakyat yang melakukan bisnis ini nggak merasa bisnisnya di rampas.
Toh pelaku UMKM dan Thrifting sama-sama rakyat Indonesia loh Pak! Janganlah lagi-lagi pepatah simiskin makin miskin nih nyata adanya, yang merdeka ya si kaya mau beli branded bisa sampai ke pabrik di negara lain, lah ya ini rakyatmu yang uangnya pas-pasan ya pengen pak pakai baju branded meski tak layak edar di pabriknya.
Lagian ya ikut bangga juga sih buat konsumen thrifting which is bukan sekedar mikirin harga yang murah tapi sebagian ada juga yang rela membeli pakaian thrifting demi mengurangi limbah tekstil, banyak loh pak usaha fashion yang udah mikirin bumi buktinya sekarang juga marak jasa penyewaan baju branded dan diminati karena prinsip menjaga bumi.