Kali ini gue mau membagikan kisah absurd gue dengan sahabat terbaik gue Lela, dia kaka gue 1 tahun lebih tua dari gue. Tapi gue lebih menyukai untuk menganggapnya sahabat terbaik, terbasurd, tergila, terjelek, terpendek dan terpintar yang pernah ada. Gue jarang manggil dia kaka, gue lebih sering manggil namanya “Lelaaak!”, “Lel!”, “Lek!”, “Nuurlela!”, “Lettut!”. Bukan karna gue gak menghormati dia, tapi ketahuilah itu tanda keakraban seseorang dengan yang lain.
Valentines day, Lela ngajak gue buat ketemuan, what the heck?. Dia tau kali gue masih nyomblo. Tenang dulu, dia ngajak ketemuan hari Rabu tanggal 15 Februari 2017 (komplit kyak mie ayam). Jam 11.45 wib si Lela udah jalan dari serpong, sedangkan gue masih nyantai depat tv sambil mencet-mencet Hp gue, kebetulan gue emang lagi off hari itu. Padahal dia udah bikin ultimatum katanya, “ Kalo lama kau, ku bunuuh kau!”, begitulah bahasanya.
Kita janji temu dengan rencana pembahasan masalah kerjaan yang di setting untuk berada di lokasi Taman Suropati Menteng Jakarta Pusat. Nah kenapa harus di taman Suropati Menteng?, kenapa engga di kafe?, kenapa engga di mall?, kenapa engga di restoran mahal?, kenapa engga di Lapas? dan sebagainya?.
Menurut paham gue Taman Suropati adalah taman rakyat jelata, dimana gue masih bisa menemukan berbagai karakter orang. Varian karakter yang apa adanya, makanan yang dijajakan masih terjangkau dengan upah yang kita terima sebagai babu perusahaan orang. Bukan seperti mall, kafe dan resto tempat dimana kebanyakan orang dengan 2 karakter yang sama yaitu gengsi dan style. Ketika seseorang berada di tempat mahal pribadinya akan terlihat berbeda. Kenapa engga di Lapas?, ya emang kita narapidana ces?
Ya gue engga memungkiri kalau gue memang pernah ke mall, kafe dan resto. Tapi jujur aja gue tetap jadi diri sendiri kok bahkan kebanyakan absurdnya. Temen gue terkadang kebanyakan malu sendiri kalau ngajak gue bahkan dari tahap menegur sampai kepada level marah . Gue bangga aja ketika gue bertanya menu, “ada onde-onde gak mas?”, “ada sayur lode gak mbak?”, “Mas es krimnya jangan pake garem ya?”.
Tapi tiap kali gue jalan sama ciptaan Tuhan yang absurd ini, kita lebih suka dengan petualangan dari yang aneh-aneh bahkan sampai kegila-gilaan. Kita lebih menyukai hal-hal yang sederhana, merakyat dan menjadi diri sendiri dengan apa adanya. Apa mungkin karna kita berasal dari golongan kelas menengah ya?.
Tapi gue sekarang memfokuskan untuk bercerita tentang bagaimana girangnya bertemu dengan sosok yang selama ini mata melihat melalui media. Rabu 15 Februari 2017, hari bersejarah yang sederhana bagi kami berdua. Sederhana yang membuat bergirangnya hati untuk mencari spot yang tepat dengan memanjat pagar, sampai berteriak dengan sangat keras.
Gue dan Lela janji ketemu di stasiun Cikini. Yup akhirnya dengan bangga gue telat 2 jam lebih, dan gue berhasil ngebuat dia nunggu sampai emosian, jamuran dan kelaparan di stasiun. Lagi, inilah namanya true friends walau gue telat 2 jam lebih pas ketemu dia, malah gue yang diluan ngejambak rambutnya dan narik jaketnya sambil kita terbahak-bahak tanpa memperdulikan security dan orang-orang tak dikenal.
Waktu di stasiun tujuan utama hari itu adalah Taman Suropati. Sebenarnya kita engga tau dimana lokasinya, kita cuma modal nekad dan GPS. Di GPS kita harus menemppuh jarak sekitar 1,7 Km dengan waktu 17 menit. Sepanjang jalan kita asik cerita tentang masalah kerjaan, teman-teman kita, pahitnya jadi jomblo, rumah-rumah mewah, apartemen klasik ala-ala Belanda, dan orang-orang kaga jelas dijalanan alias penggoda. Yah gak salah lagi waktu kita jalan berdua banyak bibir-bibir dan mata-mata yang berusaha memikat (eaaak najis hoeeeek).
Kita sempat bolak-balik karna salah arah terus sampai-sampai seorang security mengejek kita, ya kenapa tidak yang baca GPS si Lela. Nah kali ini berkat gue akhirnya kita berada di jalur sesuai GPS. Jaman sekarang gak ada lagi kata lost in a big city, elo Cuma butuh smartphone dan kuota elo bisa kemana aja. Kecuali di hutan, dusun atau desa-desa layak untuk dikatakan tersesat karna memang mungkin engga terdeteksi sama google map kali ya hehe.
Saat di GPS kita terlihat sudah hampir mendekati Taman Suropati, sepanjang jalan kami melihat jejeran mobil terparkir. Banyak orang lalu lalang, lalu ada tiba-tiba seseorang memakai baju kotak-kotak berlari menuju suatu arah. Kita cuma mikir ini orang pendukung si Ahok. Saat memasuki Jalan Lembang kita melihat semakin banyak orang dan kendaraan yang terparkir.
Gue ngomong sama Lela, “Lel ini kayaknya rumah lembang tempat kampanye si Ahok lah”.
“Iya beng”
“Ayok ke sana”
“Ah gak make baju kotak-kotak kita, nanti disangka mata-mata”
“Gak mungkin lah kek kita ini mata-mata, ayok”, sambil gue tarik paksa tangannya.
Kita melihat ada portal dan petugas keamanan di portal itu. Si Lela balas ngomong, “kayaknya cuma pendukung Ahok yang boleh masuk beng”. Tapi gue tarik tangannya sambil mengikuti orang-orang yang tampaknya memang pendukung pasangan nomor 2. Dan akhirnya kita tiba di sebuah rumah, banyak orang, banyak media pers berdatangan. Kita tetap pede dan dengan bangga memasuki rumah itu.
“Kak leek, rumaah Ahok kaa rumah Ahok yang di tv itu”
“haha iya iya, ayok masuk”
Sungguh banyak orang dan sangat sesak dan sempit, kita berdua orang kecil badan yang membuat kita sangat sakit, kepanasan, terjepit, terseok-seok hanya karna ingin berada di dalam rumah itu.
Akhirnya setelah berada di dalam, kita saling berbicara bahwa gak nyangka kita udah berada di dalam sebuah rumah yang bersejarah.
Seperti kebudayaan orang jaman sekarang, smartphone adalah benda keramat yang siap sedia memomentkan setiap kejadian. Kita pun sibuk selfie dan bikin video langsung upload ke instagram, twitter dan Fb.
Senang tak terkira berada di dalam rumah itu, senang tak terkira mendengar teriakan pendukung ketika melihat hasil quick count, senang tak terkira melihat reporter sedang life diantara banyaknya pendukung paslon 2. Kita memang tidak berpartisipasi dalam Pemilu DKI Jakarta, tapi entah kenapa girang hati berkecamuk mendengar mereka berteriak, melihat seragam kotak-kotak. Mereka berteriak , kita juga berteriak.
Astaga jauh-jauh dari Sumut cuma datang ke Jakarta Rumah Lembang si Ahok Djarot. Pokoknya girang segirang-girangnya. Saat pendukung sudah semakin banyak, kita kemudian memutuskan cukuplah hari itu di rumah lembang. Kita mau keluar, tapi kita mendengar bahwa Ahok akan menuju rumah lembang. Cuman gue mikir itu gak mungkin, karna barusan gue liat di twitter Ahok lihat hasil quick count di rumah Megawati.
Akirnya kita sudah puas berada di dalam rumah itu dan setelah berdesak-desakan dan hampir terjatuh serta tercepit kita pun sukses berhasil keluar. Saat menuju luar gerbang, terlihat banyaknya pendukung semakin riuh meneriakkan dua dua dua. Wartawan semakin banyak dan mereka semakin menggila, ya ampun beginilah nikmatnya passion bekerja di media pers. Sampai-sampai wartawan manjat genteng dan naik motor orang.
Ternyata Ahok sudah berada di jalan Lembang, gilaak gilak gilaak, kita berdua engga jadi menuju Taman Suropati. Pendukung meneriakkan dua dua dua, gue dan lela tak kalah keras meneriakkan dua dua dua. Badan boleh kecil dan mungil tapi suara bisa diandalkanlah. Saat petugas keamanan berusaha mensterilkan jalan untuk Ahok boleh lewat, kita berdua semakin antusian dan semangat. Gue berusahan untuk mencari spot untuk melihat dengan sempurna. Bagaikan Zakeus, gue dan Lela manjat pagar bonsai rumah lembang. Smartphone sudah siap sedia. Pendukung semakin berteriak dengan keras.
Oh Tuhan gue gak sabaran, gue belum pernah bertemu langsung dengan Ahok. Rasanya ingin menangis saat itu. Gue gak peduli dengan getah bonsai yang membuat baju gue bakalan jelek, gue gak peduli orang liatin kita manjat pagar bonsai. Gue Cuma mau lihat Ahok meski dari kejauhan. Kita berteriak lagi dua dua dua.
Astaga itu dia udah kelihatan. Aaaaaaaaaa....... Tuhan. Ahokk. Gue gak nyangka walau dari jarak 3 m gue liat Ahok berusaha menerobos kerumunan massa. Wartawan semakin menggila, pendukung semakin riuh, dan kita semakin syok. Ahoooooook gue teriak sekencang-kencangknya. Gue lihat Ahok kemudian menaiki tembok dan menyapa pendukungnya dengan salam 2 jari. Astaga Ahok... gue ngak nyangka gue udah liat Ahok. Ahok kemudian tak terlihat oleh mata lagi.
Kitapun pulang dang menuju lokasi berikutnya Taman Suropati.
Sepanjang jalan kita bercerita tetang dahsyatnya hari ini. Pada saat itu gue ngomong ke Lela,
“Kak aku senang kali liat Ahok langsung, ahh cita-cita ku pengen nyalam Jokowi lah”. “Sederhana kali cita-citamu ya?, buat nyalam Jokowi?”.
“Iya kak hehe, bisanya masuk ke Istana orang kek kita ini?”
“Gak tau aku, tapi ayok kita coba”
Intinya sepanjang jalan semangat kita seperti semangat sewaktu masih sebagai mahasiswa, ah andaikan saja waktu itu kita masih mahasiswa.
Akhirnya sampai lah di Taman Suropati. Taman yang bagus menurutku, kita keliling dan mencari spot untuk istirahat dan berdiskusi. Saat itu kita menemukan sejumlah kaum muda-mudi sedang menatakan banyak buku beralaskan spanduk putih.
Ternyata setelah bertanya mereka adalah sekumpulan mahasiswa yang membuat komunitas pecinta buku. Jadi buku tersebut bebas dibaca siapa saja. Gue sempat disapa oleh sosok laki-laki brewokan, menakutkan, gondrong dan tatoan. Gue kira dia itu preman Suropati, gue dan Lela menjauh. Namun ternyata laki-laki itu termasuk dalam anggota komunitas tersebut. Dari situ gue belajar astaga Uli, you do not look people by his looking. Gue sempat berdebat dengan salah satu anggotanya, cowo jurusan pendidikan Pancasila UNJ, mengenai masalah pendidikan di Indonesia dan filosofi Karl Max. Pada awalnya gue cuma melirik-lirik buku mereka dan gue belum tertarik. Ketika gue bertanya,
“ada buku Marxisme gak?”.
Sepertinya dia terperanjat, “apa? Marxism mbak?”
“Iya, Karl Marx loh ada ngak?”
“Mbak baca buku Karl Max?”
“Iya ada engga?”
“Ada sih tapi belum ada di sini, soalnya punya temen”
“Oh ya udah gak papa”
“Mbak kenapa baca buku Karl Max?, mbak umuran berapa?”
Astaga ini anak mungkin mengira kita anak SMP atau SMA kali ya?. Gue pu balik bertanya,
“coba tebak umuran berapa?”
“em umur jalan 20 an kali ya?”
Gue dan lela tertawa kecil, gue lalu balas dengan komentar,
“Kita ini udah tuir, aku 24 dia (nunjuk Lela) udah jalan 26”. Lela mukul badan gue dengan mengatakan, “Jangan ngomong umur!”. Sepertinya dia malu karna masanya yang semakin tua.
“Oh iya ya mbak?, aku juga heran kenapa kayak mbak baca buku Marxisme?. Mau menganut sistemnya?”
“ah engga cuma mau belajar filosofinya aja kok”.
Si cowok itupun mulai membahas beberapa topik penting soal pendidikan di Indonesia. Saat itu kita bertiga sempat diskusi. Si cowo tadi tergolong cakeplah tapi adek awak ya kan? Haha.
“Mbak sebenarnya kita ini sedang dibohongin sama pemerintah lewat pendidikan”
“Itu opinimu apa nyerap omongan orang?”
“Engga mbak, ini opini saya sendiri”
“Oh gitu, alasannya? Kenapa kamu bilang begitu?”. Dia tampaknya bingung untuk menjawab. Setelah beberapa lama berdiskusi dia mulai menawarkan buku yang menarik untuk dibaca.
Gue dan Lela dapat 3 pinjaman buku yang boleh kita baca pada hari itu juga. Jadi gak boleh dibawa pulang critanya. Gue milih buku A’an Mansyur. Gue dan Lela belum sempat baca buku karna bahas masalah kerjaan dulu. Yups, kembali lagi ke dia si Lela motivator gue, idola gue (ceileeeh semoga dia baca pos gue yang ini. Bisa-bisa bola matanya keluar ntar). Emang gue akui dia itu cewe pintar, gue sering mengadopsi pemahaman dia. Dia paling hobi negbaca buku apalagi buku-buku Dee, Tere Liye, A’an Mansyur aah masih banyak lagi lah. Sangkin banyaknya buku yang dia baca, setiap kata-katanya yang keluar itu kata novel semual, sok puitis dan kandang kala dia melankolis.
Hujanpun datang, lalu kita balikin buku yang kita pinjam. Berlari mencari tempat peteduhan sebuah tenda bekas TPS yang isinya para couple semua. Astaga beginilah nasib si jomblo. Hujan semakin reda, kita berlari pulang menuju stasiun cikini. Sepanjang jalan kita dijatuhi rintik hujan yang semakin deras. Tak peduli, yang penting HP aman gak basah. Kita melewati rumah-rumah mewah, dijalan Lela berdoa, “semoga aku bisa beli rumah di lembang”.
Di setiap rumah ada CCTV berada diluar pagar, dan setiap kali kita bertemu dengan CCTV kita memasang aksi absurd di depannya. Sampai di stasiun kita harus mutar arah lagi karna tidak hanya ada satu jalan masuk stasiun. Malas untuk mutar arah kita loncat pagar. LU bayangin dua cewe sudah umur tuir, yang satu pakai dress satu lagi pakai jeans manjat pagar stasiun. Ah mungkin orang lain mengira kita masih anak SMP kali. Kita sempat makan ala pinggir jalan dekat stasiun.Hp mati dan kita ngecharge dulu distasiun.
Akhirnya kita dapat kereta, dan kita pulang pada pukul 20.30 WIB. Di kereta kita masih bisa mengingat bagaimana seru dan dahsyatnya hari itu. Lela turun di Manggarai dan harus transit lagi di Tanah Abang menuju Serpong. Gue tetap di kereta gak dapet tempat duduk dan Cuma bisa nyandar.
Anehnya, saat gue di kereta ada cowo umur sekitar 28-30 an, Chinese, tinggi 179 an cm, berat kayaknya 90 an, wajah lumayan. Asik liatin dan curi-curi pandang ke gue. Awalnya sih gue cuek aja dan gak peduli. Mungkin karna lagi pas saling negliat kali ya. Tapi lama kelamaan itu pria kayaknya semakin aneh, kadang dia senyum liati gue. Gue balikin pandangan gue ke arah jendela pintu kereta.
Gue lihat bayangannya dari jendela, dia masih liatin gue. “Astaga mate maho”, tapi gue tetap pasang muka datar. Gue tabiatnya suka ngeliatin tingkah laku orang dalam kereta. Dan lagi setelah spontan mata berputar, si chinese ngeliat gue lagi sambil senyum. Eeh ini orang sakit ayan kali ya, padahal dari penampilannya dia orang kantoran, jaket boomber, ranselnya kayaknya mahal itu, sepatu kulit, kemeja rapi bahan katun kayaknya, cela itam dasar.
Sampai di stasiun Depok, si Chinese tampaknya mulai bergerak dari tempat duduknya mempersilahkan seorang ibu yang membawa anak cewe umur 7 tahun yang udah lama berdiri di dekat gue. Dan sewaktu si Chinese berdiri, dia memalingkan wajahnya ke belakang sambil neglirik gue. Anjayyy... pikir gue “Na loak ma ho”. “Asataga jijik kali aku, ntah apalah dipikirannya itu yah?”. Gue kecil, ada juga yang ngelirik sampai segitunya. Suara seorang wanita pun mulai terdengar di kereta, “ stasiun Depok Baru, Depok Baru station”. Si Chinese itu tampaknya akan turun dari kereta, dan gue kali ini gak bakalan liat dia.
Akhirnya sampai di stasiun Bojong Gede, gue pesan gojek dan untung saat itu gue gak terlalu jauh untuk mendapatkan drivernya. Soalnya sih ojek pangkalan ngelarang ojek online buat ambil penumpang di sekitar stasiun. Finally akhirnya gue sampai di rumah dengan selamat pukul 10.10 WIB Puji Tuhan.
Sekian untuk hari absurd dan dahsyat yang gue punya. Thank’s for reading semoga gak ngantuk, muntah dan bosan amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H