"Eh Mbah, duitnya jatuh"
"Biar saja", sahutku kepada anak muda yang sering mengikutiku.
"Loh, tapi mbah... Kan sayang. 20ribu lo, lumayan bisa buat beli rokok sebungkus. Aku ambilin ya?" Ujarnya kepadaku.
"Sudah biar saja, memang sengaja mbah jatuhkan"
"Lah terus...", Sahut anak muda ini, setengah bertanya setengah memprotes.
"Jadi begini loh,,, duit itu memang sengaja mbah jatuhkan sebagai sedekah. Mbah menyebutnya sedekah sunyi", jelasku.
"Maksudnya?"
"Sedekah sunyi itu untuk melatih ikhlas dan menghindari riya. Kalo kamu sedekah langsung ke orang atau lembaga amal secara langsung pasti akan kepikiran dan keingat-ingat terus, sehingga mengurangi kadar keikhlasannya. Ditambah kamu pasti juga akan merasa berbangga diri, menganggap diri orang yang sangat baik, sehingga menimbulkan riya" jelasku kepadanya.
"Oh begitu mbah, tapi kok cuma 20ribu?'
"Iya, karena ini sedekah sunyi jangan terlalu banyak juga jangan terlalu sedikit. Kalau terlalu banyak umpamanya 100ribu, maka orang yang banyak duit pun kalo nemu duit 100ribu pasti diambil, tapi kalau 20ribu, kemungkinan yang punya banyak duit ga mau ngambil karena pamali. Sementara orang yang ga punya banyak duit nemu 20ribu senengnya bukan main, syukurnya segunung semeru." Ujarku panjang lebar
"Duit 20ribu itu bagi mereka yang ga punya duit besar sekali gunanya, bisa beli beras 3kg, bisa kasih sangu sekolah anaknya 4hari, bisa dipake suntik ke mantri untuk istrinya yang mungkin sedang sakit.", Tambahku.
Anak muda itu hanya manggut2 menyimak penjelasanku.
"Dan yang paling penting, si orang tidak berduit itu tidak perlu merasa berhutang budi kepada yang ngasih duit, karena memang dia hanya nemu. Dia akan benar2 bersyukur dan memuji kebesaran Tuhannya"
"Karena itu selain sedekah ke orang atau lembaga amal, ingatlah untuk juga sering2 melakukan sedekah sunyi. Bayangkan dirimu sendiri betapa gembiramu, betapa bahagiamu, dan betapa besar terimakasihmu kepada Tuhan karena nemu duit yang hanya 20ribu pada saat kantongmu benar2 kempes".
"Ohya mbah, faham aku sekarang", sahutmya sambil menghela nafas, mungkin takjub atau terharu dengan uraianku. Atau entahlah aku sendiri juga tidak ngurus.
"Bagus, kalu kamu sudah faham, yuk lanjut jalan lagi".
Kami berdua pun melanjutkan perjalanan yang masih jauh dari selesai. Perjalanan menemukan rasa sejati, rasa yang fitrah dari sesungguhnya manusia sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H