Mohon tunggu...
Reza AS
Reza AS Mohon Tunggu... Wiraswasta - Founder Jamaah Angon Roso (Jongos)

Belajar Berfikir Titik-Titik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Belajar Budaya Vs Menjadi Lebih Berbudaya

28 Desember 2021   11:10 Diperbarui: 28 Desember 2021   11:26 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini dibuat bukan bermaksud untuk menggurui, ataupun memberi pencerahan ala-ala pakar kebudayaan kondang semacam Gus Mus, Cak Nun, ataupun Kyai Zawawi Imron yang kesohor itu. Tulisam ini juga tidak dimaksudkan untuk memberi solusi, namun hanya sekedar curahan hati soal budaya dan kebudayaan. Karenanya, jangan heran jika semakin dibaca isinya hanya sejumlah pertanyaan atas sekian persoalan.

Budaya menjadi salah satu mata pelajaran yang senantiasa diajarkan mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sesuatu yang terus menerus kita pelajari semenjak kecil hingga dewasa. Namun kata budaya tidak pernah benar-benar terasa dekat dengan bangunan epistem pemikiran dan keseharian kita. Dia menjadi sesuatu yang jauh, untuk tidak mengatakan asing, dengan dunia kekinian kita.

Bicara budaya tak ubahnya sekedar pembicaraan sejarah masa lalu, tentang perilaku orang-orang dahulu, tentang benda-benda yang mereka tinggalkan, juga tentang keindahan ragam seni yang orang-orang dahulu wariskan. Pembahasan budaya semacam ini niscaya akan kering dan kurang bermakna bagi kehidupan dan kebudayaan kekinian kita. Karena faktanya, ada sedikit banyak keterputusan antara kehidupan yang kita jalani sekarang dengan yang diwariskan nenek moyang.

Memang jaman semakin berkembang, dan bahkan telah berubah banyak. Tetapi tidak bisakah kajian budaya menghasilkan sesuatu agar kehidupan kekinian kita tetap berbudaya?

Tidak perlu muluk-muluk menciptakan sebuah mahakarya monumental yang bisa menjadi tandingan candi borobudur yang mampu bertahan ratusan tahun misalnya, lawong bikin gedung sekolah yang dipakai untuk belajar budaya saja harus tiap tahun di rehab. Juga tidak perlu menciptakan sebuah mahakarya seni tari semacam reyog ponorogo, tidak akan laku, juga tidak akan ada yang nonton. Lawong sekarang kita hidup dijaman joget-joget ala tik tok, yang ujung-ujungnya cuma soal ketenaran dan endorsmen.

Yang saya inginkan adalah sebuah kajian budaya, yang sambung menyambung antara kebudayaan nenek moyang dengan kebudayaan kekinian kita, entah bagaimana bentuknya. Sekali lagi saya ingatkan, tulisan ini memang bukan dimaksudkan untuk menyediakan seperangkat analisa, atau bahkam solusi kebudayaan. Jadi mari kita sama-saja membayangkan, dengan mengandalkan daya imajinasi kreatif kita masing-masing, bagaimana kajian kebudayaan kita ini seharusnya berjalan. Apakah cukup dengan mengagumi keindahan atau kehebatan peninggalan masa lalu, sementara kita sekarang terkesan tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang bahkan tidak memiliki sejarah kebesaran moyangnya.

Saya pernah dengar sebuah ceramah entah kyai siapa saya lupa, yang saya rasa memang ada banyak benarnya juga. Dalam ceramah itu, beliau sang penceramah mengatakan bahwa memang pada dasarnya sejak jaman nenek moyang kita, bangsa kita ini adalah tipikal bangsa yang santai, atau nyantai. Kita memang bukan bangsa pekerja keras (dalam tanda kutip), tidak seperti bangsa jepang, atau bangsa cina, atau bangsa-bangsa lain dibelahan bumi barat yang memang terkenal akan etos kerja kerasnya.

Lantas kenapa memangnya kalau kita adalah bangsa nyantai? Apakah dengan begitu bangsa kita adalah bangsa pemalas yang sulit untuk sukses dengan kenyantaiannya? Apakah agar bisa menjadi bangsa yang sukses maka kita harus berubah menjadi pekerja keras seperti halnya bangsa-bangsa tersebut diatas?

Sementara fakta sejarah menunjukan, meskipun bertipikal nyantai, bangsa kita pernah meraih kebesaran dan kejayaannya. Yang ditunjukan dengan warisan mahakarya semacam borobudur, dan juga termasuk bentangan luas wilayah yang pernah dikuasai kerajaan-kerajaan Nusantara kita. Artinya, harusnya ada sesuatu yang mungkin masih tersembunyi, yang harus kita pelajari dan tentu saja kita terapkan, kita kembangkan, agar generasi kekinian kita tidak hanya sekedar menjadi penikmat sejarah kejayaan serta kebesaran nenek moyang kita. Tentu saja memang tidak ada yang salah dengan hal itu, tetapi tidak bisakah kita melangkah lebih jauh lagi?

Mungkin diantara pembaca akan ada yang nyinyir dan membantah; "Moyang kita jaman Gajah Mada membangun kejayaannya dengan mengirim pasukan Majapahit ke negeri-negeri sebrang dan menakhlukkannya, lah sekarang sudah gak jaman brow main perang-perangan kayak gitu!"

Itupun memang benar juga sobat yang cerdas dan budiman. Tetapi juga bukan seperti itu yang saya bayangkan. Mari kita bayangkan seperti ini, pasukan Majapahit yang dikirim Gajah Mada, pasti juga akan sulit meraih kemenangan jika tidak didukung dengan kemampuan pasukan yang hebat, kapal-kapal yang juga hebat, senjata-senjata yang kuat, serta strategi dan pemikiran militer yang jitu. Dan kesemuanya itu adalah hasil dari olah pikir serta olah budaya yang tentu saja tidak sebentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun