Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai kurang dalam melindungi korban kekerasan seksual yang mayoritas adalah wanita. Rancangan Undang-Undang (RUU) penghapusan kekerasan seksual telah diinisiasi sejak tahun 2014 dan diharapkan mampu menjadi undang-undang yang mampu melindungi korban kekerasan seksual.Â
Namun, sampai sekarang RUU ini belum disahkan dengan berbagai alasan. Pemerintah dirasa kurang tanggap dalam mempercepat pengesahan RUU tersebut. Jika dilihat dari angka kriminalitas khususnya pada kejadian pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia, diketahui terjadi peningkatan dari tahun 2016 ke tahun 2017.
Hasil susenas 2017 dan 2018 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan kasus pelecehan seksual sebesar 0.86% dimana pada tahun 2016 sebesar 0.90% dan pada tahun 2017 sebesar 1.76%.
Selain itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah mencatat terdapat 115 kasus kekerasan seksual anak, 81 kasus prostitusi anak, dan 49 kasus eksploitasi seks komersial anak dari bulan Januari-September 2018. Komisi nasional perempuan pada tahun 2017 telah mendata terdapat 6.507 kasus kekerasan seksual dengan 3.528 kasus dilakukan oleh teman serta 2.979 kasus dilakukan oleh keluarga.
Banyak korban dari pelecehan seksual yang tidak mendapatkan keadilannya. Hal ini disebabkan karena KUHP untuk kasus pelecehan seksual yang diatur dalam pasal 285 mengenai perkosaan yang hanya terbatas dengan adanya unsur kekerasan dan ancaman serta di luar pernikahan.
Selain itu dalam penjelasannya, pelaku dikenai saksi jika terdapat unsur persetubuhan yang berarti harus terjadi penetrasi dari kelamin laki-laki ke dalam kelamin wanita. Sedangkan jika ditelaah lebih dalam, kekerasan seksual tidak hanya sebatas perkosaan.Â
RUU yang telah dirancang oleh komisi nasional perempuan yang menjadi inisiatif DPR mengandung sembilan tindak pidana kekerasan seksual diantaranya adalah ; pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Namun, rumusan ini mendapatkan revisi dari pemerintah sehingga empat poin pertama dihapuskan dan tersisa lima poin saja. Hal ini sangat disayangkan karena dirasa hasil yang dirumuskan oleh komnas perempuan telah mencakup segala aspek untuk melindungi wanita Indonesia, baik dari umur belia hingga dewasa. Semoga pemerintah mampu segera mengesahkan RUU penghapusan kekerasan seksual ini sehingga korban pelecehan seksual bias mendapatkan keadilannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H