Mohon tunggu...
Ulfi Nurhayati
Ulfi Nurhayati Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Hukum-Sarjana Hukum.

Menulis sebagai sarana berbagi ilmu dan berbagi gagasan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Putusan Penundaan Pemilu

1 Juni 2023   18:08 Diperbarui: 18 Oktober 2023   16:32 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada Hari Senin, 29 Mei 2023 Komisi Yudisial memeriksa Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait persoalan putusan sebagaimana Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dan juga Majelis Hakim PN Jakpus meminta untuk tidak melaksanakan tahapan pemilu 2024 terkait sengketa Partai Prima melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dalam hal keperdataan disebut sebagai putusan penundaan pemilu.

Putusan penundaan pemilu menjadi kontra di kalangan pakar hukum karena putusan tersebut tidak sesuai dengan beberapa pasal dalam konstitusi dan Undang-Undang Pemilu, yang mana putusan itu juga tidak sesuai dengan Perma No.2 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Mengapa putusan penundaan pemilu itu melanggar UU Pemilu dan Perma No.2 Tahun 2019?. Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang merupakan Putusan Penundaan Pemilu, memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk tidak melaksanakan tahapan pemilu sejak dikeluarkannya putusan itu. Padahal pada Pasal 22 E Ayat (1) UUD 1945 terdapat peraturan pemilu terkait dengan asas penyelenggaraan pemilihan umum dan pelaksanaannya selama lima tahun sekali. Selain itu, Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tersebut juga melanggar peraturan pembatasan jabatan presiden dan wakil presiden, karena pada Pasal 7 UUD 1945 presiden dan wakil presiden hanya menjabat selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk periode kedua.

Lalu, bagaimana menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait putusan penundaan pemilu tersebut?. Putusan penundaan pemilu hanya dapat dikeluarkan dan dilaksanakan apabila terjadi kejadian yang mengakibatkan Pemilu Susulan dan Pemilu Lanjutan. Kejadian tersebut seperti ; kerusuhan atau gangguan keamanan, bencana alam dan lain sebagainya. Hal ini perlu menjadi perhatian untuk hakim jika menangani permasalahan sengketa pemilu yang serupa. Perlu adanya pertimbangan hukum dan melihat ketentuan Undang-Undang sebelum memutus suatu perkara.

Namun sebelumnya, Pasal 431 ayat (1) UU Tentang Pemilu menyatakan, "Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan". Sementara, Pasal 432 ayat (1) UU Tentang Pemilu menyatakan, "Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan". Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Viktor Santoso Tandiasa selaku Pemohon mengatakan adanya makna frasa "gangguan lainnya" adalah tidak jelas. Frasa tersebut sangat luas artinya dan dapat berkaitan dengan banyak kondisi sebagai syarat untuk mengentikannya pemilu (penundaan pemilu).

Menurut Viktor, dampak dari Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst apabila tidak dilaksanakan, bisa saja dapat menyebabkan pelaksanaan penyelengggaraan pemilu sebagian menjadi cacat hukum. KPU sebagai Tergugat jika tidak menjalankan putusan tersebut dapat disebut membangkang. Dan ditambah lagi jika KPU tetap melaksanakan penyelenggaraan Pemilu pasca Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst kendati upaya hukum banding dilakukan.

Hasil Sidang Pengujian UU Pemilu yang digelar pada Kamis, 6 April 2023 tersebut meminta Viktor selaku Pemohon untuk menyerahkan perbaikan rumusan alasan permohonannya dan diberi waktu untuk perbaikan selama 14 hari kerja. Karena Undang-Undang tidak dapat memberi penjelasan secara rinci, maka Enny Nurbaningsih mengatakan, persentase yang menyebabkan ketidakterlaksanaannya itu karena apa? bisa jadi faktor-faktor yang ada di dalam Pasal 432 ayat (1) dan ayat (2). UU Pemilu sudah mempunyai rumusan kapan ini akan dikatakan sebagai Pemilu susulan dan kapan pemilu itu dilaksanakan?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun