Mohon tunggu...
Ulfie Hasanie
Ulfie Hasanie Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru SD

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menteri Baru, Sistem Zonasi Haruskah Dihentikan?

24 Oktober 2024   18:35 Diperbarui: 24 Oktober 2024   19:20 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed., telah dilantik sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menegah dalam kabinet baru yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto. Dia dikenal sebagai sosok berpengalaman dalam dunia pendidikan dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 

Penunjukannya diharapkan dapat membawa perubahan positif dan kebijakan yang lebih baik dalam sistem pendidikan di Indonesia. Salah satu kebijakan yang paling kontroversial adalah sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), yang telah menuai pro dan kontra sejak diterapkan. Menteri Pendidikan baru dihadapkan pada pilihan sulit: apakah mempertahankan, memperbaiki, atau bahkan menghentikan sistem ini?

Sistem zonasi dirancang untuk menciptakan pemerataan akses pendidikan dengan menekankan kedekatan geografis antara rumah siswa dan sekolah. Namun, kenyataannya, implementasi kebijakan ini telah menghadirkan sejumlah kelemahan, seperti ketidakmerataan kualitas sekolah dan keterbatasan pilihan bagi siswa yang ingin mendapatkan pendidikan terbaik. Di sisi lain, ada solusi jangka pendek dan jangka panjang yang bisa dipertimbangkan untuk memperbaiki kebijakan ini sebelum memutuskan langkah drastis seperti penghentian.

Kelemahan Sistem Zonasi

Kritik utama terhadap sistem zonasi mencakup:

  1. Ketidakmerataan Kualitas Sekolah: Meskipun zonasi bertujuan untuk memeratakan akses, tidak semua sekolah memiliki kualitas yang setara. Di perkotaan, banyak sekolah unggulan yang memiliki fasilitas lebih baik dibandingkan dengan sekolah di pinggiran atau pedesaan, sehingga siswa di wilayah tertentu kurang mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
  2. Ketersediaan sekolah tidak seimbang dengan jumlah penduduk: Di wilayah perkotaan yang padat, seperti Jakarta, jumlah sekolah sering kali tidak sebanding dengan jumlah calon siswa. Hal ini menyebabkan overkapasitas di sekolah-sekolah tertentu, sementara di daerah pedesaan, sekolah-sekolah justru kekurangan siswa. Ketimpangan ini membuat sebagian besar siswa tidak mendapat akses pendidikan yang ideal karena distribusi sekolah yang tidak merata, menghambat tujuan zonasi untuk menciptakan pemerataan akses pendidikan.
  3. Mobilitas Sosial yang Terhambat: Sistem ini mengurangi kesempatan bagi siswa berprestasi yang berada di zona dengan sekolah yang memiliki kualitas pendidikan lebih rendah. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan karena siswa tersebut tidak dapat memilih sekolah yang lebih baik.
  4. Manipulasi Data Tempat Tinggal: Banyak orang tua mencoba memanipulasi alamat untuk mendapatkan akses ke sekolah favorit di luar zona mereka, yang menunjukkan bahwa keinginan untuk mendapatkan pendidikan terbaik sering kali bentrok dengan aturan yang membatasi pilihan.
  5. Praktik nepotisme atau penyalahgunaan kekuasaan. Terdapat oknum pejabat atau oknum orang berduit untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah favorit dalam sistem zonasi juga menjadi kelemahan signifikan. Fenomena ini merusak tujuan utama zonasi, yakni pemerataan akses pendidikan. Dengan adanya praktik tersebut, kesempatan bagi siswa yang lebih layak, baik dari segi zonasi maupun prestasi, menjadi terhambat. Hal ini memicu ketidakadilan sosial dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan.

Solusi Jangka Pendek

Untuk mengatasi kelemahan tersebut, beberapa solusi jangka pendek dapat diterapkan:

  1. Penyempurnaan Zonasi: Pemerintah dapat memperluas zona atau memberikan fleksibilitas tambahan bagi siswa berprestasi untuk memilih sekolah yang lebih baik. Langkah ini sudah diterapkan di beberapa daerah dengan hasil positif
  2. Kerja Sama dengan Sekolah Swasta: Melibatkan sekolah swasta dalam PPDB dapat mengurangi tekanan pada sekolah negeri dan memberikan pilihan lebih banyak bagi orang tua dan siswa.
  3. Pengawasan Ketat: Untuk mencegah manipulasi data dan kecurangan, pengawasan yang lebih ketat serta peningkatan transparansi dalam proses penerimaan siswa harus diterapkan.

Solusi Jangka Panjang

Langkah-langkah jangka panjang juga diperlukan agar masalah ini tidak terus berulang:

  1. Pemerataan Kualitas Pendidikan: Pemerintah harus berkomitmen untuk meningkatkan mutu sekolah-sekolah yang masih tertinggal. Peningkatan kualitas tenaga pengajar, fasilitas, dan distribusi anggaran yang lebih merata bisa menjadi solusi untuk mengurangi kesenjangan antar sekolah.
  2. Desentralisasi Pendidikan: Memberikan otonomi lebih besar kepada pemerintah daerah agar mereka dapat menyesuaikan kebijakan zonasi sesuai dengan kebutuhan spesifik daerah masing-masing bisa membantu menyeimbangkan perbedaan kualitas pendidikan antar wilayah.
  3. Membangun Infrastruktur Sekolah: Pembangunan sekolah baru di daerah padat penduduk serta perbaikan fasilitas di daerah terpencil.
  4. Pemerataan Guru Berkualitas: Peningkatan kesejahteraan dan pemerataan distribusi guru berkualitas di seluruh wilayah untuk memastikan setiap siswa mendapat akses pendidikan yang sama baiknya.
  5. Evaluasi Berkala: Sistem zonasi harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa tujuan awal pemerataan pendidikan tercapai tanpa mengorbankan pilihan dan kualitas pendidikan.

Kesimpulan: Haruskah Dihentikan atau Diperbaiki?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun