Bullying merupakan masalah serius yang berdampak negatif terhadap perkembangan anak dan remaja. Berbagai penelitian yang dilakukan selama beberapa tahun terakhir telah menunjukkan dampak negatif dari bullying terhadap kesehatan mental, prestasi akademik, dan kesejahteraan sosial di kalangan generasi muda di Indonesia.
Bullying didefinisikan sebagai tindakan agresi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang yang lebih lemah. Bullying dapat berupa kekerasan fisik, verbal, atau emosional. Bullying dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental korban, pelaku, dan orang-orang yang melihatnya (Pramudita, et.al 2024)
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga pertengahan Juli 2023 mencatat 1.150 kasus bullying di Indonesia, dengan 95,4% korban diantaranya adalah siswa yang seharusnya dilindungi di lingkungan sekolah.
Selain itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) telah mempublikasikan data mengenai kasus bullying atau perundungan di sekolah tahun 2023. Sejak Januari hingga September, tercatat ada 23 kasus bullying. Dari 23 kasus tersebut, 50% terjadi di jenjang SMP, 23% di jenjang SD, 13,5% di jenjang SMA, dan 13,5% di jenjang SMK. Kasus paling banyak terjadi di jenjang SMP dan dilakukan oleh sesama siswa maupun dari pendidik.
Bullying merupakan perilaku agresif yang disengaja dan berulang, yang dapat menyebabkan kerugian fisik maupun psikologis pada korban. Dalam konteks psikologi sosial, fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori:
1. Social Learning Theory (Teori Pembelajaran Sosial) yang dikemukakan oleh Albert Bandura, yang menyatakan bahwa individu belajar dengan mengamati dan meniru perilaku orang lain. Menurut  Social Learning Theory anak-anak dan remaja dapat mengamati dan meniru perilaku bullying yang mereka lihat di lingkungan sekitar, seperti di sekolah atau media sosial. Jika perilaku tersebut mendapatkan hasil yang positif, seperti mendapatkan pujian, maka perilaku bullying cenderung berlanjut. Penelitian oleh Prastiti dan Anshori (2022) menunjukkan bahwa lingkungan sosial memainkan peran penting dalam pembentukan perilaku bullying.
2. Social Identity Theory (Teori Identitas Sosial) dari Tajfel dan Turner menjelaskan bagaimana identifikasi seseorang dengan kelompok tertentu dapat mempengaruhi perilaku mereka terhadap anggota kelompok lainnya.
Teori identitas sosial menyatakan bahwa individu yang sangat dekat dengan kelompoknya (ingroup) dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kelompok lain (outgroup), yang dapat menyebabkan diskriminasi atau bullying. Hal ini sering terjadi di lingkungan sekolah, di mana dinamika kelompok sangat kuat. Penelitian yang dilakukan oleh Lusiana dan Arifin (2022) menekankan bahwa perbedaan status sosial dan hierarki kekuasaan di sekolah dapat menjadi faktor penyebab terjadinya bullying.
Bullying memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental remaja. Korban sering mengalami kecemasan, depresi, kurang percaya diri, dan fobia sosial, yang dapat mengganggu fokus mereka dalam belajar.
Penelitian oleh Safia & Solong pada penelitiannya yang berjudul Dampak Bullying Terhadap Kesehatan Mental Dan Perkembangan Sosial Pada Anak tahun 2024 mengatakan bahwa korban bullying sering mengalami trauma dari pelaku, depresi, penurunan konsentrasi, penurunan rasa percaya diri, keinginan untuk melakukan bullying sebagai bentuk pembalasan, fobia sosial, kecemasan berlebihan, putus sekolah, dan keinginan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
Dalam penelitian yang disusun oleh Purnama dan Nurbayti pada tahun 2025 menyebutkan bahwa dampak bullying pada remaja antara lain yaitu dampak psikologis berupa depresi dan kecemasan, pemikiran atau tindakan bunuh diri, dampak sosial kesulitan menjalin hubungan dan penarikan diri dari aktivitas sosial, dampak akademis penurunan prestasi akademis, absensi tinggi dan putus sekolah.
Selain dampak psikologis, bullying juga berdampak negatif terhadap prestasi akademik. Siswa yang terlibat dalam perundungan terus-menerus merasa tidak aman di lingkungan sekolah dan menghambat partisipasi aktif dalam kegiatan belajar. (Paramudita, et.al 2024)
Tanda-tanda awal bahwa seorang anak mungkin menjadi korban bullying di sekolah atau lingkungannya meliputi rasa takut untuk pergi ke sekolah, menangis sebelum dan sesudah sekolah, tidak tertarik dengan kegiatan sekolah, mengalami perubahan perilaku yang drastis, menjadi pendiam, keras kepala, atau menyendiri (Munawarah, 2022).
Dampak Bullying
1. Korban
Mengalami berbagai masalah psikologis, seperti stres, kecemasan, depresi, dan rasa tidak percaya diri. Selain itu, korban juga dapat mengalami gangguan fisik, seperti sulit tidur dan sakit kepala. Penelitian oleh Prastiti dan Anshori (2022), korban perundungan cenderung merasa tidak aman, takut, atau tertekan dengan tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
2. Pelaku
Pelaku bullying menunjukkan empati yang minim dalam interaksi sosial dan perilaku yang tidak biasa. Mereka juga berisiko mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi dan gejala psikologis yang tinggi, serta memiliki perilaku antisosial. Menurut Lusiana dan Arifin (2022), bullying memiliki dampak negatif terhadap kesehatan mental, seperti gangguan kecemasan dan perilaku antisosial
3. Saksi
Meskipun tidak terlibat langsung, saksi bullying dapat mengalami dampak psikologis, seperti rasa bersalah, ketakutan, dan stres. Mereka mungkin merasa tidak berdaya karena tidak mampu mencegah atau menghentikan tindakan bullying yang terjadi di sekitar mereka.