Pulau Madura memiliki beraneka ragam kearifan lokal yang dapat dijumpai. Kearifan lokal yang ada tentunya memiliki nilai-nilai yang berharga, tidak hanya sekadar menjadi identitas masyarakatnya. Salah satu kearifan lokal dari Madura yang kaya akan nilai-nilai sosial di dalamnya adalah Tanean Lanjhang. Tanean lanjhang sendiri merupakan bentuk pola rumah tradisional masyarakat Madura. Taneyan lanjhang bukan sekedar susunan rumah tradisional madura tapi juga simbol keterikatan keluarga, kebersamaan, keharmonisan, dan gaya hidup yang unik. Di era modernisasi saat ini, taneyan lanjhang menjadi aspek penting bagi warisan budaya madura yang perlu dilestarikan.
Secara sederhana, tanean lanjhang berasal dari dua kata dalam bahasa Madura, yaitu taneyan yang berarti halaman, dan lanjhang yang artinya panjang. Dinamai tanean lanjhang karena memiliki pola rumah-rumah yang diatur berjejer berhadapan dan berdempetan dalam satu halaman panjang dari urutan barat ke timur yang menandakan dari yang tua ke muda. Pemukiman masyarakat Madura  diawali dengan pembangunan  rumah  induk  yang  disebut  dengan tongghuh, yaitu rumah  yang akan menjadi cikal  bakal  atau  leluhur suatu keluarga. Tongghuh sendiri dilengkapi dengan kobhung, kandhang, dan dapor (dapur). Jika sebuah keluarga  memiliki  anak  yang  berumah  tangga, terutama  anak  perempuan,  maka  orang  tua akan  membuatkan  rumah  bagi  anak  perempuannya.  Penempatan  rumah  untuk  anak  perempuan berada persis di sebelah timur rumah tongghuh (Abdul Sattar, 2015).
Pola pemukiman tanean lanjhang mencerminkan nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat Madura. Nilai-nilai sosial yang tercermin di dalamnya seperti kekeluargaan, gotong royong, kebersamaan, dan penghormatan kepada orangtua dan perempuan.  Halaman yang menjadi titik pusat yang dikelilingi oleh rumah-rumah setiap anggota keluarga kerap menjadi tempat berkumpul, bermain, dan aktivitas lainnya antar anggota keluarga. Untuk memasuki tanean sendiri harus melewati pintu yang sudah disediakan. Apabila memasuki taneyan tanpa melewati pintu maka akan dianggap tidak sopan. Orang luar, khususnya laki laki, akan berada di luar tanean apabila dalam tanean tersebut tidak ada laki laki (Abdul Sattar, 2015). Nilai sosial berupa penghormatan terhadap orangtua tercermin dari pola barisan rumah. Rumah orangtua berada di posisi utama (barat) sebagai pusat dari seluruh keluarga besar. Nantinya setelah rumah orangtua, baru akan diikuti oleh rumah-rumah anak perempuan dengan berjejer ke timur. Namun, jika lahannya kurang maka akan dibuat berhadapan dengan tetap di mulai dari ujung barat, berakhir di ujung timur. Dengan demikian, taneyan lanjhang  menjadi representasi kesatuan keluarga yang saling berada dalam jangkauan satu sama lain.
 Selain kaya akan nilai sosial, terdapat nilai budaya yang dapat dilihat dari bagaimana mayoritas anak perempuan mendiami sekaligus memiliki hak atas rumah-rumah yang ada di tanean lanjhang. Di Madura sendiri garis keturunan menggunakan sistem matrilineal. Di mana perempuan memiliki posisi yang istimewa sehingga anak perempuan memiliki hak atas kepemilikan dan tata atur rumah. Adapun anak laki-laki biasanya mendapatkan bagian kebun, ladang, atau sawah. Bentuk rumah, atap, dan ornamen pada taneyan lanjhang  juga kaya akan nilai budaya dengan makna di setiap ukirannya.
Seiring berkembangnya zaman, keberadaan tanean lanjhang kini menghadapi tantangan besar di tengah arus modernisasi. Generasi muda khususnya di Madura, semakin banyak yang merantau untuk pendidikan dan pekerjaan yang sering kali memilih untuk tinggal bahkan menetap di tempat perantauan meninggalkan pemukiman keluarga. Gaya hidup modern dan individualis juga mulai masuk dan berkembang pada generasi muda, sehingga pola pemukiman yang bergantung pada kebersamaan keluarga menjadi berkurang relevansinya. Tren-tren rumah minimalis modern yang bermunculan juga dapat mengurangi minat generasi muda terhadap desain rumah tradisional. Selain itu, pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan juga mengancam keberlanjutan taneyan lanjhang. Perubahan zaman inilah secara tidak langsung mengikis pola pemukiman tradisional taneyan lanjhang , meskipun nilainya tetap tertanam di kehidupan masyarakat Madura.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, upaya untuk melestarikan tanean lanjhang  perlu dilakukan. Untuk melestarikan warisan budaya tanean lanjhang  tentunya perlu peran dari masyarakat dan pemerintah setempat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan seperti pendokumentasian berupa foto maupun buku, dapat menjadi cagar budaya, pengadaan program pelestarian budaya, maupun dijadikan destinasi tempat wisata budaya. Tanean lanjhang  memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata budaya. Pastinya banyak sekali wisatawan, baik warga lokal maupun mancanegara yang tertarik untuk melihat dan merasakan langsung kehidupan tradisional masyarakat Madura. Apabila tanean lanjhang  dijadikan objek wisata budaya, masyarakat dapat mengenalkan makanan maupun produk lokal serta budaya Madura yang syarat akan nilai kepada dunia luar yang nantinya bisa menjadi peluang lapangan kerja baru sehingga bisa mendorong perekonomian lokal masyarakat setempat. Generasi muda Madura dengan ide-idenya yang segar dan luar biasa diharapkan dapat melestarikan tanean lanjhang melalui inovasi-inovasinya dengan menggabungkan nilai-nilai dan arsitektur tanean  lanjhang ke dalam gaya kehidupan modern, sehingga tetap relevan dan tidak tergerus perkembangan zaman.
Sumber:
Sattar, A. (2015). TANYAN Â LANJANG Pola Tata Ruang dan Kekerabatan Masyarakat Madura. Sabda: Jurnal Kajian Kebudayaan, 10(2).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H