Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum" maksud dari negara hukum disini adalah Indonesia merupakan negara yang didalamnya termuat aspek-aspek atau peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa dan memiliki sanksi pada setiap pelanggarnya.Â
Didalam negara Hukum pastinya tidak lepas dengan peranan politik yang sangat penting dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan. Indonesia adalah salah satu negara dengan konsep Civil Law atau tradisi Eropa Kontinetal yang pada prinsipnya mengutamakan pada hukum tertulis sebagai bentuk dari peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penyelenggaraan aktivitas pemerintahan.
Untuk memenuhi fungsi hukum yang dapat memberikan perlindungan, perlakuan adil, hukum yang dapat mengayomi warganya dengan jaminan atas hak-haknya, tentunya diharuskan hadirnya aturan yang dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sebagai aturan pokok yang berlangsung untuk mengatur proses awal pembentukannya hingga diberlakukan dalam masyarakat.
Seperti yang kita ketahui bahwa perkawinan merupakan salah satu topik dan perbuatan yang penting dalam kehidupan masyarakat sebagai peran utama dalam keberlangsungan kehidupan manusia. Semua agama meyakini akan kesucian dari perkawinan karna hal tersebutlah seluruh agama menjunjung tinggi dan mengatur mengenai lembaga perkawinan.Â
Dalam agama islam yang mana merupakan agama mayoritas di Indonesia mendefisinisikan perkawinan tidak hanya sekedar akad antara kedua belah pihak saja melainkan perkawinan adalah perjanjian yang kokoh nan kuat. Maka dari itu dibutuhkannya peraturan perundang-undangan yang jelas untuk mengatur mengenai bagaimana perkawinan dengan tujuan supaya masyarakat tertib dibidang hukum keluarga dan perkawinan.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkaawinan menyatakan pengertian dari perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan YME.Â
Dengan pengertian tersebut seolah menagaskan bahwa agama sebagai dasar dari suatu  perkawina sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang perkawinan tahun 1974 yang menyatakan bahwasahnya perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan. Dengan ini jika suatu perkawinan tidak disahkan oleh agama maka Undang-Undang perkawinan tidak akan mengesahkan pekawinan tersebut pula.
Dengan terciptanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak lain dibuat dengan dilatar belakangi agar supaya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal perkawinan, ada kepastian dalam bertingkah laku, sehingga terciptanya ketertiban, yang ditujukan untuk memecahkan problem dalam masyarakat diruang lingkup hukum keluarga dan perkawinan.Â
Jika mengkilas balik mengenai bagaimana aturan perkawinan sebelum terciptanya aturan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan hanya dilihat dari hubungan keperdataanya saja, hal tersebut diatur dalam pasal 26 BW dengan menyatakan bahwa:"undang-undang hanya memandang soal perkawinan dalam hubungan-hubungan perdata.
Artinya nilai-nilai religius dan hal-hal yang dianggap sakral dalam perkawinan tidak diperhatikan seperti upacara perkawinan sebagaimana hukum adat yang berlaku serta acara keagamaan, hal itu dalam perkawinan bukanlah lagi topik atau inti dari sebuah perkawinan. Hal yang mengejutkan lagi adalah pekawinan yang dilakukan secara agama atau kawin sirri tidak boleh dilaksanakan jika pencatatan dalam perkawinan belum dilakukan sebagaimana aturan tersebut tertera dalam pasal 81 BW.
Dapat ditarik kesimpulan dari keterangan diatas, dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan tidak dapat terlepas dari  peran penting politik hukum. Dinamika politik secara langsung mempengaruhi masyarakat secara timbal balik.