Sore itu, dokter memanggil saya. Jarum jam di dinding tepat pukul 17.40 WIB. Kami duduk berhadapan. Dengan suara yang tidak terlalu jelas, dia berkata, "Pilihannya hanya dua, cuci darah atau cuci darah".
Tidak ada yang lain. Jika setuju, saya diminta menandatangani sejumlah kertas. Satu di antaranya adalah persetujuan tindakan operasi dan cuci darah.
Ini (bukan) pilihan yang sulit, sekaligus menakutkan buat saya yang memang tidak pernah mengetahui seputar cuci darah. Jangankan cuci darah, mendengar ibu divonis mengalami fungsi ginjal saja, sudah membuat dengkul saya mendadak lemas. Seperti ada yang lepas di sana.
Tapi melihat kondisi ibu yang terbaring lemah dan kepayahan, sedih rasanya bila tak segera mengambil keputusan. Celakanya, saya juga tak mempunyai banyak informasi soal penanganan dengan cara lain di luar cuci darah.
Menurut dokter, fungsi ginjal ibu saya jauh menurun. Beberapa bagian tubuhnya membengkak. Ini yang akan coba dikurangi, sambil terus menurunkan kadar ureum dan kreatininnya.
"Air di dalam tubuhnya sudah masuk ke dalam paru-paru," kata dokter itu. Kasihan ibu jika airnya tak segera dikeluarkan.
Seingat saya waktu yang diberikan tak banyak. Mungkin sekitar 20 menit untuk memutuskan, mau atau tidak?
Setelah berunding dengan ketiga adik, saran itu akhirnya kami tempuh: ibu harus cuci darah secara rutin.
Awalnya, selama masa perawatan, cuci darah dilakukan setiap hari. Air yang dikeluarkan sebanyak 4.000 cc setiap cuci darah. Belakangan, setelah menjalani rawat jalan, volume air yang dikeluarkan berkurang. Kadang 2.000 cc, pernah juga 3.500 cc. Tergantung dari bertambahnya berat badan ibu.
Tak terasa, sudah tiga bulan ibu menjalani cuci darah. Sampai akhirnya kemarin menjalani operasi pemasangan semino di tangan kirinya.
Alhamdulillah, setelah tiga bulan menjalani cuci darah, kondisi ibu saya jauh membaik. Wajahnya terlihat segar. Gerakannya juga tak payah lagi. Jika dulu dia sulit turun dari tempat tidur, kini sudah bisa berjalan pelan-pelan untuk mencapai kursi di ruang tamu rumah kami.