Mohon tunggu...
Ulfa Mardiyah
Ulfa Mardiyah Mohon Tunggu... -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Kasih Bersamamu

22 Oktober 2014   15:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:08 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Megapolitan, letak posisimu sejak 56 tahun yang lalu. Walau tepatnya tak ditengah kota. Tapi kemacetan selalu ada disekitarmu. Namun sejak saat itu hingga sekarang kau selalu setia dengan posisimu. Hanya saja kau ingin tampil cantik di era baru. Sehingga kurang-lebih sekitar 3 tahun yang lalu, kau diresmikan sebagai gedung Sekolah Tinggi Ilmu Statistik yang baru. Sejak saat itu kau selalu tampil cantik dan bersih dihadapan orang-orang yang mengunjungimu. Kau terlihat lebih indah dan menawan hati. Kau pegang teguh imanmu dengan menjaga kebersihan yang berada disekitarmu.

Kau memang tak seluas lapangan sepak bola bahkan luasmu hanya setengah dari lapangan sepak bola. Namun itu tak membuatmu minder dengan kawan-kawanmu yang memiliki luas berhektar-hektar. Karena kualitasmu yang lebih unggul dari pada mereka, walaupun statusmu yang sempat terombang ambing sekitar 2 tahun yang lalu. Hingga kau ganti visi dan misimu demi memperoleh status yang pasti dari atasanmu. Para mahasiswamu bertanya-tanya tentangmu. Kenapa kau tiba-tiba mengganti visi misimu? Ada apa gerangan tentangmu? Kenapa kau tak bercerita pada kami, kami yang selalu menunggu kabar baik tentangmu? Namun apa yang terjadi? Semua menggerutu karena semua kabar kejutanmu itu. Tanpa ada kepastian bagi para mahasiswamu yang ingin sekedar tahu kabar dan kondisimu. Hanya kabar burung yang terbang sana, sini dan situ.

Panas. Terlihat dari luarmu. Hanya ada beberapa pohon yang mengelilingimu. Itu pun tak mampu menyerap polusi udara yang berkeliaran di luarmu.  Teduh. Terlihat dari sampingmu. Masjid yang berdiri kokoh untuk para mahasiswa muslimmu yang mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu. Sejuk dan nyaman. Berada dalam setiap ruangmu. Nyaman bukan karena ilmu yang disampaikan dosen untuk para mahasiswamu, melainkan air conditioner yang menderu-deru saat kuliah berlangsung. Karena ada pepatah mangatakan bahwa “jadilah orang berilmu maka hidup anda akan menjadi lebih baik dan nyaman”. Lalu gara-gara mesin pendingin ruanganmu itu yang membuat sebagian mahasiswamu memilih nyaman untuk tidur, jika dosen tak bertindak untuk mengalihkan kenyamananmu itu.

Kau memang menawan. Tapi kantin disebelahmu tak menjaga kemenawananmu. Sampah berkeliaran disekelilingnya. Dibawah meja, kursi, gazebo dan yang lebih parah lagi adalah adanya tempat sampah yang tak cukup untuk menampung semua sampah. Berserakan sana sini tak ada yang peduli. Beruntunglah kami para mahasiswa, dengan adanya program STIS bersih yang menawarkan kepada seluruh mahasiswa untuk bersedia menjadi agen kebersihan yang selalu peduli akan sampah yang berserakan disekitarmu untuk dibuang ke tempatnya. Sehingga kantin yang dulunya kotor banyak sampah, setelah adanya program tersebut menjadi lebih bersih dan nyaman.

Tiga gedung yang menampakkan kegagahanmu. Tujuh lantai, gedung tertinggimu. Tentu banyak kisah tentang siapapun yang berada digedung-gedung barumu ini meski baru 3 tahun yang lalu kau diresmikan. Kau mengerti kisah tangis, tawa dan haru bersamaku dan kawan-kawanku. Kau selalu tau apa yang kulakukan padamu. Begitupun aku tau bagaimana tampaknya kau padaku.

Kadang kau marah melihatku. Kadang kau tegas meyakinkanku. Kadang kau terharu melihat tangis bahagiaku. Semua itu memang sekedar kadang-kadang, bukan selalu atau setiap hari. Karena yang setiap hari itu hanyalah senyummu yang selalu ada dalam sanubariku. Senyum yang membuatku selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untukmu. Karena kesempatan yang telah kau berikan padaku untuk berada disisimu.

Aku tahu kenapa kau kadang marah melihatku. Aku juga tahu kenapa kau tegas meyakinkanku. Dan aku juga tahu kenapa kau terharu melihat tangis bahagiaku. Tapi tahukah kamu, kenapa senyummu selalu ada dalam sanubariku? Bukankah sebagian kawanku menggerutu gara-gara kamu? Karena kamu tak adil, semena-mena dengan segala jadwal tak terdugamu, hingga adanya organisasi barumu dan segala bentuk ke-riweuh-anmu yang membuat mahasiswa menggerutu tidak setuju. Walaupun kamu begitu.  Namun senyum indahmu dan kegagahanmu selalu ada untuk kami. Karena ini semua bukan salahmu. Tapi hanya kami yang tak mau berkontribusi untuk mendukungmu lebih maju. Hingga kami hanya mampu tersenyum untuk mendukung segala rencana yang kau buat demi memberikan yang terbaik untuk semua yang selalu mendukungmu maupun tidak.

***

Kuliah sesi pertama. Bukan kadang-kadang lagi, namun sering kali aku terlambat masuk kelas. Toleransi waktu keterlambatan 15 menit tidak lagi berfungsi untukku. Tetaplah persentase absensiku dikurangi. Minus 25 persen dari yang seharusnya 100 persen. Terpikirkan dalam benakku, kenapa aku terlambat lebih dari 15 menit? Apa yang aku lakukan 15 menit sebelumnya sehingga persentase absensiku berkurang? Kenapa aku menyia-nyiakan toleransi waktu 15 menit itu? Waktu yang cukup panjang untuk toleransi keterlambatan masuk kuliah, yang sekedar untuk jalan kaki dari kos-kosan menuju kampus.

Tidak disiplin. Menunda waktu untuk segera berangkat kuliah itu aku. Walaupun sesantai apapun aku, namun aku malu. Malu pada siapapun yang melihat ataupun tidak melihatku dan apapun yang menjadi saksi bisu tentang keterlambatanku, termasuk kamu. Memang tak seharusnya hal itu terjadi. Mungkin ini terlihat sepele, namun ini tidak sepele seperti yang terlihat. Terbesit rasa bersalah dan tak bertanggung jawab. Tiba-tiba terasa sesuatu yang seakan-akan ada tangan melayang, menamparku untuk sadar dari ketidakdisiplinanku ini. Mengingatkanku bahwa kuliah dikampus ini tidak mudah. Puluhan ribu siswa menginginkan kuliah disini. Keberuntungan yang membuatku bisa berada disini. Namun apa tanggung jawabku sekarang terhadapmu? Masuk kuliah saja sering terlambat. Dan kini aku tahu, kenapa kamu marah padaku? Ya. Benar. Karena aku sering terlambat dari toleransimu yang kau berikan padaku.

Banyak hal yang membuatku terlambat, salah satu hal yang membuatku santai saat berangkat kuliah sesi pertama, yaitu salah satu temanku selalu menyediakan (red. nge-take-in) bangku dibelakang sendiri. Karena setiap ada jadwal kuliah apapun itu, bangku belakang selalu menjadi rebutan bagi teman-teman dikelasku. Sehingga aku merasa lebih ringan berjalan dan tak terlalu terburu-buru. Charli teman dekatku dikelas, dia sering datang paling awal dikelas. Dia putih dan tinggi semampai. Tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk. Ideal. Dengan mimik wajah yang tegas dan jutek. Dia bebas memilih bangku yang dia mau, dan tak lupa aku dan Deva juga di-take-in bangku disebelahnya. Bukan keinginan kami memang. Tapi keinginan Charli sendiri yang nge-take-in bangku buat kami, dan dengan senang hati kami menerimanya. Walau terkadang tak enak hati dengan teman lainnya yang datang lebih awal tapi tidak bisa menduduki bangku belakang. Mereka seringkali menyindirku dalam gurauan.

“ Si Fami asyik bener, datang telat duduknya dibelakang. Pinter juga nyari temen yang datangnya awal.” Sindir salah satu teman sekelasku.

“ Makanya kalau mau di-take-in ntu cari temen yang datangnya paling awal. “ balasku sambil bergurau.

Itu hanya sekedar canda tawa kami dikelas. Karena sesungguhnya mereka baik dan memaklumiku. Walau kutahu, ada yang merasa iri denganku.

Datang awal di kelas memang jarang kulakukan. Hal itu hanya kulakukan jika ada misi tertentu, salah satunya adalah berebut stop kontak untuk mencharger laptop saat mata kuliah praktikum yang menggunakan aplikasi di laptop. Dengan berangkat lebih awal aku bisa memilih bangku yang berdekatan dengan stop kontak, dan berhasil menguasai stop kontak. Karena datang lebih awal, tak lupa nge-take bangku disebelahku buat temanku Charli dan Deva.

Perempuan yang tegas dan tinggi semampai itu yang sering mengirim pesan untuk sekedar mengingatkan siapapun yang berangkat duluan diantara aku dan Deva, dia minta tolong untuk di-take-in bangku.

Setiap ada jam kuliah, aku, Deva, dan Charli tak pernah terpisah tempat duduknya kecuali ketiga-tiganya datang terlambat. Bangku-bangku yang kosong tidak ada yang sejajar, sehingga aku harus berpisah dengan mereka untuk beberapa waktu. Tidak masalah bagi kami. Namun ini masalah buat kawan-kawanku yang selalu memperhatikan kami bertiga. Merekapun ramai-ramai berkata.

“Akhirnyaaa kalian bertiga terpisaaah..wkwkwkwk..” tawa kawan-kawan sekelas.

Kami bertiga saling memandang dan tersenyum geli.

***

Semangaaaat miii...!!!

Seperti ada yang meneriakiku saat aku menguap berkali-kali didalam kelas. Aku cari-cari dari mana sumber suara semangat itu? Apa mungkin dalam gelora semangat dalam sanubariku ini yang berteriak? Tapi kenapa aku tetap saja merasa kantuk sekali dengan kuliah siang ini. Ini tak mungkin terjadi jika suara itu dari sanubariku namun aku tetap merasa kantuk seperti ini. Ku tengok kanan kirik, ada yang sedang asyik dengan hp-nya, menggambar sesuatu dikertas catatannya bahkan ada yang merasakan kantuk dan tertidur dikelas. Namun jangan salah, ada juga yang setia mendengarkan dan memperhatikan dosen dan yang sibuk mencatat materi yang diberikan dosen.  Ya. Mereka semua tidak bersuara satu hurufpun. Lalu dari mana suara itu?

Aku pun tetap menguap berkali-kali hingga tertunduk dan terpejamlah kedua mataku. Kala mataku terpejam, bukan berarti aku tertidur pulas. Aku juga masih bisa mendengarkan penjelasan dosenku. Namun suara semangat itu selalu terdengar oleh hatiku bukan telingaku. Lalu kuberpikir lagi siapa yang berteriak itu? Lama kumelamun memikirkan hal itu. Hingga akhirnya aku tersadar dari lamunanku dan aku tahu siapa itu???

Ternyata kamu yang bersembunyi menyemangatiku. Ya. Kamu yang selalu menyadarkanku untuk selalu bersemangat. Meski aku bosan dan ngantuk dikelas. Tapi kamu selalu menasehatiku untuk selalu memperhatikan dosenku, meski terkadang kamu kalah dengan rasa kantukku.

Hoooammm..!!! aku masih saja ngantuk. Padahal kamu tak henti-hentinya menyemangati dan mengingatkanku bahwa aku sudah mahasiswi tingkat tiga. Selangkah lagi menjadi mahasiswi tingkat akhir. Kapan aku berubah? Berubah untuk rajin dan selalu memperhatikan guru. Seperti kawan-kawanku yang lain. Yang bisa menahan rasa kantuknya demi memperoleh ilmu. Seringkali aku menggerutu gara-gara kemalasanku. Hingga kubuat janji palsu dalam waktu luangku. Janji ini itu, namun palsu saat itu. Tugaspun terlunta-lunta karena kecerobohanku. Kadang lupa, kadang tak tahu. Namun di kampus ini hanya aku yang begitu. Bagaimana dengan kawan-kawanku? Aku tidak tahu menahu.

Deva, perempuan berwajah ayu dan sedikit gemuk selalu kuminta untuk mencubitku. Untuk sekedar menyadarkanku dari rasa kantuk. Walau kadang cubitan itu juga tak mempan. Hanya satu yang paling mempan untuk menahan kantuk. Menggambar graffiti. Seringkali saat kuliah aku menggambar grafiti di buku catatanku. Sesaat menggambar, sesaat memperhatikan dosenku. Walaupun hasilnya sama aku tidak mengerti tentang materi yang diberikan beliau, setidaknya aku masih bisa menghargai dengan pura-pura memperhatikan dan yang terpenting aku tidak tertidur.

Aku tahu kamu akan marah melihatku seperti itu. Rasa-rasanya kamu sudah lelah menasehatiku. Namun nasehat yang kau berikan secara tegas mampu buatku semangat untuk maju. Meyakinkanku dari rasa tak percaya diri untuk bisa mengerti dan memahami semua materi.

***

“Seperti yang saya janjikan minggu lalu, bahwa saya akan menunjukkan nilai hasil UTS kalian hari ini.” Terang bapak dosen kepada kami saat mengakhiri kuliah.

“Akan saya perlihatkan dilayar ini nilai kalian sekelas. Perhatikan baik-baik nomor absen kalian masing-masing” Tambah beliau.

“Waahh jangan dong pak. Temen-teman jadi tahu nilai sekelas dong pak..” Gerutu kami sekelas.

“Gimana lagi, nilainya sudah saya ketik. Masak mau dipanggil satu-satu. Jamnya juga sudah mau habis ini, gantian kelas lain yang mau masuk ruangan.” Pungkas Bapak dosen.

“Ya sudah Pak, nggak pa-pa.” Jawab kami pasrah.

Sliiinngg. Layarpun berubah menjadi angka-angka yang begitu mempesona. Semua mencari-cari nomor absen masing-masing sambil melirik dan mengingat siapa yang dapat nilai memuaskan itu dan nomor absen sekian itu punya siapa. Akhirnya nomor absenku pun ketemu. Yaaa. Syukurlah nilaiku lebih dari cukup. Lebih dari estimasiku selama ini. Walaupun mungkin teman-temanku banyak yang lebih baik dan bagus dari nilaiku. Namun untuk mendapatkan nilai yang lebih baik dari estimasiku itu aku merasa sangat beruntung. Apa lagi mata kuliah yang menjadi intinya dari jurusan statistik ini.

Air mataku pun tiba-tiba menetes di buku catatanku yang masih terbuka. Ya. Itu adalah tangis bahagiaku. Rasa kecewa memang ada karena banyak teman-teman yang lebih bagus dari nilaiku. Namun aku tetap bersyukur karena ingat akan kemampuanku dan nilai yang melebihi estimasiku. Jujur. Tidak ada apa-apanya dibanding teman-temanku memang. Tapi dengan rasa syukur kepada Alloh semua menjadi lebih indah dan memuaskan.

Saat itu juga aku teringat padamu. Kuucapkan terimakasih untukmu yang selalu membuatku bahagia. Kau seolah-olah ikut terharu melihat tangis bahagiaku itu. Jika aku boleh jujur padamu, walaupun kadang kau menyebalkan seperti kata teman-temanku, tapi ketika aku melihat paras rupawanmu itu, aku selalu merasa bahagia berada disisimu dan rasa syukur selalu menyertai pandanganku padamu. Rasa harumu membuatku ingin semakin terisak meneruskan tangis bahagiaku kala diruangan itu dan merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat Alloh yang membuat kita bisa bertemu sedekat ini.

Mataharipun ikut malu melihat tingkahku padamu. Perlahan dia mulai sembunyi dibalik gedung tertinggimu. Wajah bulat nan selalu bersinar itupun beranjak pergi. Redup kini dihadapanku. Sinar senja yang sedari tadi mengintipku sudah tak menerangimu lagi. Mungkin ini tandanya aku harus segera mengakhiri pertemuan kita disini. Dan sinar mentari esok pagi akan setia menemaniku untuk bertemu denganmu lagi, tentunya dengan semangat yang baru untuk berusaha menjadi lebih baik dan terus maju.

-The End-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun